Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Sulvi Sofiana
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Prosedur pengajuan guru besar menjadi sorotan banyak pihak karena kecurangan yang melibatkan asesor dalam memberikan penilaian pada calon guru besar.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah membenarkan praktik janggal terhadap proses permohonan guru besar.
Masalah ini terjadi mulai dari tingkat kampus hingga proses asesmen di Kemendikbudristek.
Calon guru besar lolos asesmen meski jumlah artikel di jurnal internasional tak terpenuhi dan angka kredit dosen tak terpenuhi.
Selain itu, ada juga calon guru besar lolos asesmen meski memiliki pelanggaran akademik.
Menanggapi hal ini, Rektor Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Moh Nasih SE MT Ak mengungkapkan perlu perbaikan sistem dalam pengajuan gelar guru besar.
Perbaikan ini bisa dilakukan dengan meminimalisasi peran individu dalam proses penilaian dan menggantikannya dengan sistem mesin seluruhnya.
"Saya nggak yakin pembayaran itu dilakukan untuk proses profesornya. Menurut hemat kami untuk bisa mencegah harus digitalisasi. Tidak perlu melibatkan orang untuk mencapai syarat guru besar,"
Dengan demikian calon guru besar tidak perlu bertemu dengan petugas ataupun asesor untuk dinilai. Melainkan sistem yang bisa menseleksi apakan persyaratan calon guru besar sudah memenuhi persyaratan atau tidak.
"Tidak perlu ketemu orang by orang, jadi nanti sistem bisa menseleksi sendiri nantinya judul jurnal discontinue akan ditolak. Kemungkinan ada kasus ini karena masih melibatkan orang. Makanya perlu minimalisasi orangnya. Jadi kalau memang sudah waktunya dan memenuhi tindak perlu tanda tangan menteri bisa langsung di print,"tegasnya.
Dengan demikian, puncak dari sistem ini adalah dihapuskannya asesor sebagai penilai calon guru besar karena telah digantikan mesin.
"Tentunya investasi sangat besar tetapi jangan sampai ketemu orang per orang. Karena keemu orang per orang pasti ada nggak enaknya, sungkannya dan lainnya,"lanjutnya.
Sementara terkait respon desakralisasi gelar profesor, menurutnya tidak akan dilakukan di lingkungan Unair. Pasalnya jabatan profesor atau guru besar merupakan jabatan tertinggi di bidang akademik yang pantas mendapat kehormatan.
"Kalau ada kesalahan jangan sampai merusak semuanya. Kemuliaan dan martabat harus tetap dilakukan. Bukan dengan desakralisasi tetapi memposisikan kapan gelar profesor digunakan,"paparnya.
Di Unair, untuk acara administratif gelar profesor tidak diperlukan. Tetapi untuk acara akademik seperti wisuda, pengukuhan guru besar maka diperlukan gelar profesor tersebut. Apalagi dalam kegiatan pengujian atau pengajaran, gelar guru besar wajar disampaikan.
"Misal urusan lainnya tidak diperlukan jika memang bukan tugas akademik kalau memang tidak ada hubungannya dengan kegiatan akademik. Jadi tidak perlu desakralisasi. Tidak semua orang bisa mencapai gelar ini, jadi salah satunya ya saringannya jangan sampai meloloskan yang belum waktunya,"pungkasnya.