TRIBUNNEWS.COM - Bulan April lalu, sempat ada polemik yang ramai mewarnai dunia maya, yaitu penggunaan Artificial Intelligence atau AI untuk menghasilkan gambar layaknya anime dari Studio Ghibli, yang dikenal sebagai ikon di industri animasi.
Maraknya tren tersebut membuat warganet mulai ikut memanfaatkan teknologi canggih ini untuk menghasilkan ilustrasi Ghibli sesuai keinginan mereka.
Di sisi lain, mulai ada yang menyuarakan sudut pandang berbeda, terutama kalangan pekerja seni, seperti ilustrator, aktor, dan sutradara film. Menurut mereka, tidak seharusnya AI digunakan untuk menghasilkan karya seni dan meniru gaya seniman lain.
Memang kenapa sih tren Ghiblifikasi oleh AI ini bikin banyak pekerja seni resah dan marah?
Mungkin banyak yang belum tahu, tapi Hayao Miyazaki, pendiri dari Studio Ghibli memang sudah pernah mengungkapkan kritiknya terhadap penggunaan AI pada karya seni.
Eits, namun masalah ini bukan cuma sekadar soal Ghibli! Ada hal-hal yang perlu kamu tahu kenapa tren gambar Ghibli AI-Generated ini menimbulkan keresahan bagi sejumlah pihak.
Masalah Estetika
Jika kamu seorang penggemar karya animasi, fotografi, dan film, biasanya kamu akan lebih ‘peka’ dengan keanehan pada gambar, foto, ataupun video yang dihasilkan oleh AI.
Hasil karya AI memang cenderung terlihat kaku, ‘kosong’ dengan berbagai kekurangan yang bisa dilihat oleh mata jika dibandingkan hasil karya manusia, karena mereka merupakan hasil karya yang dihimpun oleh data.
Melansir Kompas.id, John Berger dalam Ways of Seeing menyebut bahwa seni tidak boleh dipahami sebagai produk yang begitu saja bisa direplikasi, karena seni selalu melibatkan konteks emosional dan refleksi pengalaman manusia.
Ini juga menjadi salah satu hal yang dikritik Miyazaki atas penggunaan AI. Menurutnya, proses kreatif dan produksi animasi bukanlah sekadar menciptakan gambar bergerak semata, melainkan juga tentang menghidupkan dan menjadikan gambar bergerak tersebut memiliki jiwa dan perasaan.
Maka itulah, tanpa adanya refleksi emosi dan pengalaman manusia, nilai estetika dari karya seni pun seakan berkurang, atau bahkan nihil.
Perkara Etika
Mengutip Budiawan Sidik A dan Zikrina Ratri dalam sebuah tulisan di Kompas.id, makin terbukanya akses pengembangan teknologi menjadikan mesin AI makin terlatih dan dapat “mempelajari” karya-karya yang telah ada tanpa adanya persetujuan maupun kompensasi bagi pemilik asli karya bersangkutan.
Hasilnya, tak sedikit pihak yang mulai menyalahgunakan AI dan mulai melanggar etika dalam penciptaan karya seni. Padahal, setiap karya seni melibatkan proses yang memanfaatkan bakat, menguras keringat, serta dipicu oleh semangat pembuatnya.
Contohnya bisa dilihat pada sebuah adegan berdurasi 4 detik dari film Studio Ghibli yang berjudul 'The Wind Rises'. Mengutip akun @sakugacontent di X.com, ternyata animator Studio Ghibli, Eiji Yamamori, membutuhkan waktu 1 tahun dan 3 bulan untuk menyelesaikan adegan 4 detik ini. Menakjubkan bukan?
Inilah alasan mengapa gambar Ghibli yang dibuat dengan AI begitu ditentang. Memanfaatkan AI untuk mengimitasi atau meniru gaya seniman lain, terlebih secara instan, menjadi sebuah pelanggaran etika. Boleh dibilang, itu sama saja dengan mencuri karya seni orang lain.
Tak hanya itu, penyalahgunaan Ai ini juga bisa menimbulkan ancaman lain, terutama dengan adanya fenomena deepfake, yang memungkinkan penyebaran misinformasi dengan menggunakan wajah dan suara orang lain.
Menurunnya Lapangan Kerja
Apa kamu merasa akhir-akhir ini susah cari kerja? Hal ini juga banyak dirasakan oleh para pekerja seni.
Sedikit banyak, AI punya keterkaitan dengan jumlah lapangan kerja yang kian menurun. Mengutip TheGuardian.com, hal ini telah dialami oleh Jenny Turner, seorang ilustrator freelance asal Inggris.
Ia merasakan menurunnya pesanan gambar dengan makin meningkatnya penggunaan AI. Terlebih, gambar-gambar yang dibuat dengan AI ini dijual dengan harga yang jauh lebih murah, yaitu di bawah 10 pound sterling, membuat ilustrator seperti Turner sulit untuk bersaing. Padahal, Turner telah belajar gambar sejak kecil dan menempuh pendidikan tinggi di bidang seni untuk dapat menjadi ilustrator.
Kisah Turner yang tetap terdampak meski sudah lama berkecimpung di bidang seni hanyalah satu dari segelintir contoh bagaimana lapangan pekerjaan perlahan-lahan tergantikan oleh AI. Bukan tidak mungkin di masa depan nanti pekerjaan yang berhubungan dengan produksi film, animasi, komik, buku, dan bahkan konten, menghilang karena direnggut oleh AI.
Itulah mengapa penyalahgunaan AI untuk karya seni menjadi masalah dan tentunya membuat pekerja seni resah.
AI memang memberi banyak manfaat di kehidupan sehari-hari. Di tengah banyaknya yang menentang penggunaan AI pada karya seni, tidak bisa dipungkiri bahwa ada yang tetap pro dengan alasan kepraktisan dan efisiensi.
Ingat, AI hadir di tengah-tengah kita untuk mengoptimalisasi dan memudahkan pekerjaan, bukan agar kamu dapat berdiam diri dan tidak perlu lagi mengerjakan apapun. Karena itu, yuk tetap dukung pekerja seni dan manfaatkan AI dengan bijak!
Penulis: Anniza Kemala | Editor: M. Fitrah Habibullah