SURYA.CO.ID I BOGOR - Inilah duduk perkara dugaan penyiksaan yang dialami pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) di Taman Safari Indonesia (TSI).
Dugaan penyiksaan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) itu bahkan sudah ditangani Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sejak tahun 1997.
Kini, kasus ini mencuat lagi setelah dua eks pemain sirkus OCI buka suara tentang penyiksaan yang dialami.
Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) hingga kepolisian juga angkat suara terkait masalah ini.
Berikut duduk perkara selengkapnya:
Eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), Vivi dan Butet menceritakan pengalaman kelam saat mengalami dugaan penyiksaan.
Keduanya mengaku kerap disiksa oleh pria bernama Frans dan Jansen yang diduga merupakan pemilik saham Taman Safari Indonesia (TSI).
Vivi menceritakan, selama jadi pemain sirkus, dirinya tinggal bersama sang bos.
"Waktu di sirkus, Frans sama Pak Yansen, yang sering nyiksa," kata Vivi dikutip dari Youtube Forum Keadilan TV, Kamis (16/4/2025).
Menurut Vivi, saat usianya belasan tahun, Vivi yang tidak pernah tahu siapa orangtuanya itu nekat kabur karena sudah tidak tahan dengan penyiksaan.
Ia sempat sembunyi di rumah seorang karyawan TSI di daerah Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun saat dirinya hendak pergi ke tempat yang lebih jauh lagi, Vivi keburu ditemukan oleh security TSI.
"Saya kenal security itu bernama Bapak Odo," jelasnya.
Vivi lalu dibawa oleh security itu dengan iming-iming tidak akan dipukuli. Setelah dibawa kembali ke pos security TSI, dirinya dijemput oleh Frans dan istrinya untuk dibawa pulang.
Vivi kemudian dibawa pulang oleh Frans dengan menaiki mobil menuju ke rumahnya. Selama perjalanan, Vivi mengaku dipukuli oleh Frans.
"Sampai rumah saya diseret, ditarik dari mobil dibawa ke kantornya, nggak lama dia ambil setruman panjang. Saya disetrumin badan saya, sampai ke alat kelamin saya," bebernya.
Setelah lemas usai dipukuli oleh bos Taman Safari itu, Vivi pun terjatuh dan meminta ampun.
"Saya ditarik rambutnya, ditendang perutnya sampai ngompol," kata Vivi menahan tangis.
Tak cukup sampai di situ, ia pun kembali dihukum dengan cara dipasung. "Dipasung selama dua minggu, nggak boleh ke mana-mana. Selama dua minggu dirantai di tempat tidur," katanya.
Setelah dua minggu, Vivi kemudian dibebaskan dari pasung dan dipaksa latihan sirkus seperti biasa lagi.
"Saya masih merasa tertekan, sempet pengen minta tolong ke pengunjung tapi nggak berani, takut tidak ada yang percaya," ungkap dia.
Beruntung, Vivi dibantu oleh karyawan TSI yang sempat jadi guru silatnya hingga akhirnya dibawa kabur ke Semarang, Jawa Tengah.
Sama seperti Vivi, Butet pun sering mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh bos TSI.
Penyiksaan terparah yang dialami oleh Butet yakni saat dirinya ketahuan hamil oleh karyawan.
"Saya pacaran dengan karyawan, sekitar usia 18 tahun, terus ketahuan, dan saya juga sampai hamil," kata Butet.
Mengetahui Butet hamil dan berhubungan dengan karyawan, bos TSI pun langsung menyiksanya menggunakan balok kayu.
"Bekasnya masih ada, dipukulin pakai balok sampai patah, oleh Frans," ungkapnya.
Setelah itu, Butet kemudian dirantai selama dua bulan setiap malam hari.
"Setiap habis selesai show, saya dirantai. Sampai saya melahirkan pun dipisahkan dengan anak saya," ungkapnya.
Bukan itu saja, Butet juga mengaku sempat dipaksa makan kotoran gajah karena ketahuan mengambil daging empal.
"Saya pernah kenakalan anak-anak, saya ngambil empalnya satu, dia langsung jejelin saya kotoran gajah," kata dia.
2. Pemilik TSI Membantah
Pemilik Taman Safari Indonesia (TSI) Tony Sumampau, membantah terdapat eksploitasi, perbudakan serta penyiksaan pada pemain sirkus di OCI.
Tony pun mengaku akan membawa kasus tuduhan dugaan praktik eksploitasi ke ranah hukum.
Tony menegaskan, proses latihan di sirkus memerlukan kedisiplinan tinggi, hingga bisa saja berujung pada tindakan tegas.
Namun klaim Tony, tindakan tersebut tergolong wajar.
"Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal," ujarnya, saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
Tony menegaskan, pihaknya justru mencium adanya provokator yang diduga sengaja menggiring mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif.
"Ya, di belakang semua ini memang ada sosok provokator yang memprovokasi mereka. Kita sudah tahu siapa, karena sebelumnya juga dia sempat minta sesuatu kepada kami," ujar Tony.
Tony menyebut, pihaknya tidak berniat memperkarakan para mantan pemain sirkus, yang disebutnya sudah seperti anak sendiri.
Namun, berbeda dengan "aktor" yang berada di balik tuduhan tersebut.
"Kalau anak-anak, ya kasihan. Tapi, kalau provokatornya, itu lain cerita. Kita sedang mengupayakan langkah hukum terhadap pihak yang memanfaatkan mereka," kata Tony.
Menurut Tony, pihaknya telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
"Kita memang tidak merespons, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita enggak mau cederai mereka. Tapi, siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami," ungkap Tony.
Tony mengaku, sebagian bukti sudah dikantongi, meskipun dengan beberapa korban ia belum sempat bertemu langsung.
"Sebagian bukti sudah ada. Kalau mereka (anak-anak) yang kemarin itu, saya belum pernah ketemu lagi. Mungkin karena merasa malu setelah ramai bicara seperti ini," ujar dia.
3. Ada Pelanggaran HAM
Komnas HAM menemukan sejumlah pelanggaran HAM mencakup pelanggaran terhadap hak anak, khususnya yang menjadi pemain sirkus di Sarua, Bogor, Jawa Barat.
"Komnas HAM telah menangani kasus ini sejak 1997 dan saat itu menemukan dugaan pelanggaran hak asasi manusia," kata Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing dalam keterangannya, Jumat (18/4/205).
Temuan Komnas HAM pada saat itu meliputi empat bentuk pelanggaran yakni hak anak untuk mengetahui asal-usul dan identitasnya, kebebasan dari eksploitasi ekonomi, hak atas pendidikan umum yang layak, serta hak atas perlindungan keamanan dan jaminan sosial.
Komnas HAM menilai meski telah berjalan puluhan tahun, kasus ini belum memperoleh penyelesaian yang tuntas.
Atas hal ini, Komnas memberikan dua rekomendasi.
Pertama, Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI.
Kedua, Komnas HAM meminta agar asal-usul para pemain sirkus OCI segera dijernihkan.
“Hal ini sangat penting untuk mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan kekeluargaannya,” kata Uli.
4. Komnas PA Siap Beri Perlindungan
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Agustinus Sirait mengaku prihatin atas kasus dugaan eksploitasi dan kekerasan yang dialami oleh mantan pemain Sirkus OCI (Oriental Circus Indonesia) yang tampil di Taman Safari Indonesia.
Agustinus menilai kasus ini sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap hak-hak anak dan pekerja anak yang tidak dapat ditoleransi dalam bentuk apa pun.
Banyak hak anak yang dilanggar, mulai hak atas identitas, eksploitasi ekonomi, hak bermain, hak mendapatkan perlindungan, hak mendapatkan makanan, dan sebagainya, meskipun pihak yang diduga korban dan melapor saat ini sudah berusia dewasa.
"Kami pun mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus ini, betapa ironis," kata Agustinus, Kamis (17/4/2025).
Agustinus mengatakan setiap orang pasti bangga dan senang ketika membawa keluarganya berwisata ke sana.
"Kita takjub atas keahlian para pemain circus tersebut bisa menghibur kita, Namun, di balik itu sesungguhnya pekerja anak tersebut menyimpan peristiwa luar biasa mengalami kekerasan dan eksploitasi bertahun-tahun," kata dia
Dia menambahkan Komnas PA siap memberikan pendampingan hukum maupun pemulihan psikososial bagi para korban.
"Kasus ini harus menjadi momentum penting untuk memperkuat komitmen seluruh elemen bangsa dalam melawan segala bentuk eksploitasi dan kekerasan terhadap anak," kata dia. Tidak boleh ada toleransi sedikit pun pada praktik-praktik yang merampas masa depan generasi muda Indonesia," katanya.
Dia menyebut Komnas PA akan terus memantau perkembangan kasus ini hingga tuntas.
"Ini demi memastikan keadilan benar-benar ditegakkan dan membuka saluran pelaporan pengaduan kekerasan atau eksploitasi anak di no.hotline : 021- 87791818 / 8416157/58," katanya.
5. Polri Tunggu Laporan
Terkait kasus ini, Polri akan melakukan pendalaman jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan membuat laporan polisi.
"Selama ada aduan atau laporan, pasti akan kami tindak lanjuti dan dalami kasusnya," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro saat dikonfirmasi, Kamis (17/4/2025).
Hingga kini, belum ada laporan polisi yang masuk terkait kasus tersebut.
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Pemberantasan Perdagangan Orang (PPA-PPO) Brigjen Nurul Azizah mengatakan saat ini tim yang dipimpin Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tengah bekerja.
"Untuk permasalahan tersebut saat ini sedang difasilitasi oleh Kemen PPPA dgn melibatkan Komnas Perempuan, Komnas HAM dan Dit PPA-PPO," ucapnya.
Nurul menjelaskan pelaku eksploitasi terhadap pemain sirkus tidak bisa diterapkan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang peristiwa tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Karena asas non-retroaktif menyatakan bahwa UU itu tidak berlaku surut.
"Non retroaktif adalah asas hukum yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat berlaku surut. Asas ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat," tuturnya.
6. Wamen HAM Mediasi
Terkait hal ini, Wakil Menteri HAM Mugiyanto mengaku telah melakukan mediasi.
Jadi memang hari ini kami mendengarkan (keluhan) mereka.
"Kami sudah membaca dan mendengar, karena kasus ini memang sudah viral tentang apa yang terjadi pada mantan karyawan Oriental Circus Indonesia. Mereka minta audiensi, dan kami terima serta dengarkan," ujar Mugiyanto, Selasa (15/4/2025) dikutip dari Tribun Jabar.
Mugiyanto mengatakan, testimoni para korban menunjukkan bahwa ada banyak hak asasi yang dirampas, termasuk kekerasan.
“Ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana, banyak kekerasan"
"Salah satu yang penting adalah soal identitas. Identitas seseorang adalah hak dasar, dan beberapa dari mereka bahkan tidak tahu siapa orang tuanya," ujar Mugiyanto.
Dalam audiensi itu, Mugiyanto juga meminta maaf kepada para korban karena harus menyampaikan testimoni yang memilukan dan membuat korban traumatik.
Namun, pihaknya berjanji akan mengupayakan peristiwa serupa tidak terulang.
"Setelah mendengar laporan dari para korban, kami juga akan mencari keterangan dari pihak yang dilaporkan sebagai pelaku."
"Ini harus kami lakukan secepatnya untuk mencegah hal yang sama terulang,” kata Mugiyanto