Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Priguna Anugerah Pratama, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi, menjadi sorotan publik.
Menyikapi hal ini, dokter dan pakar keamanan kesehatan global, sekaligus anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Dicky Budiman, menyarankan sejumlah langkah konkret untuk mencegah kejadian serupa terulang.
Menurut dr. Dicky, setidaknya ada empat langkah strategis yang perlu segera dilakukan oleh pemangku kepentingan, khususnya di bidang pendidikan kedokteran:
“Kementerian Kesehatan dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) harus mewajibkan semua institusi pendidikan dokter spesialis memiliki Standard Operating Procedure (SOP) etik dan pengawasan profesional yang jelas,” ujar Dicky, Selasa (15/4/2025).
SOP tersebut, lanjutnya, harus mencakup sanksi tegas atas pelanggaran berat, termasuk kekerasan seksual.
Dicky juga mendorong pembentukan platform pelaporan kekerasan yang anonim dan independen di tingkat nasional.
“Tujuannya untuk memotong budaya tutup mulut dan menghindari tekanan internal dalam lingkungan pendidikan kedokteran,” jelasnya.
Setiap peserta didik PPDS, kata Dicky, wajib masuk dalam sistem supervisi klinis yang aktif, termasuk logbook dan evaluasi berkala terhadap perilaku profesional.
“Supervisi tidak boleh sekadar administratif. Harus bersifat observasional, korektif, dan melibatkan organisasi profesi,” tegasnya.
Pasien, menurut Dicky, perlu mendapatkan edukasi tentang hakhaknya, termasuk hak untuk menolak tindakan medis jika merasa tidak aman atau tidak nyaman.
“Rumah sakit harus menjamin hak ini secara eksplisit dan terbuka,” tambahnya.
Lebih lanjut, Dicky menyebut bahwa kasus kekerasan seksual oleh peserta PPDS maupun dokter praktik adalah alarm serius bagi dunia kedokteran Indonesia.
“Perlu ada penguatan dalam kecakapan klinis, dimensi etika, dan sistem pengawasan dalam pendidikan kedokteran,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa tes kesehatan mental memang penting, namun hanya bagian dari permukaan.
“Yang lebih esensial adalah perubahan budaya, seleksi masuk yang ketat, serta pengawasan etik berkelanjutan di rumah sakit pendidikan,” kata Dicky.