Kejaksaan Agung (Kejagung) masih menelusuri sisa aliran uang kepengurusan vonis lepas atau ontslag perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta.
Seperti diketahui dari total Rp 60 miliar, Arif membagikan uang itu untuk tiga majelis hakim yang menangani perkara tersebut sebesar Rp 22,5 miliar untuk menjatuhkan vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi.
Ketiga hakim yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka itu yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim dan Agam Syarif Baharudin serta Ali Muhtarom sebagai hakim anggota.
Dengan jumlah tersebut praktis masih terdapat sisa senilai Rp 37,5 miliar yang kini belum diketahui kemana aliran uang tersebut.
Mengenai hal ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengatakan pihaknya masih mendalami sisa aliran uang itu.
"Itu akan terus kami dalami. Tapi kan sesuai rilis yang kita sampaikan bahwa ini dijanjikan oleh AR (tersangka Ariyanto) itu kan 20 (Miliar). Lalu setelah dikomunikasikan dengan MAN naik jadi Rp 60 (miliar)," kata Harli kepada wartawan, Selasa (15/4/2025).
Ia juga menjelaskan bahwa penyidik masih bakal menelusuri apakah total Rp 60 miliar yang diberikan MAN dari pengacara Ariyanto hanya untuk ketiga majelis hakim atau tidak.
"Nah apakah 60 ini semua atau ini hanya jatah untuk majelis dan seterusnya ini masih akan terus didalami," jelasnya.
Sebelumnya, tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disebut menerima uang senilai Rp 22,5 miliar dalam kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag terhadap tiga terdakwa korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) Abdul Qohar mengatakan total uang tersebut diterima para tersangka sebanyak dua tahap.
Pertama para tersangka menerima uang dalam bentuk dollar sebesar Rp 4,5 miliar.
Uang tersebut diberikan oleh tersangka Muhammad Arif Nuryanta mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat yang dimana asal uangnya bersumber dari advokat Ariyanto Bakri.
"Setelah terbit surat penetapan sidang, Muhammad Arif Nuryanta memanggil DJU selaku ketua majelis dan ASB selaku anggota. Lalu Muhammad Arif Nuryanta memberikan uang dollar bila di kurskan ke dalam rupiah Rp 4,5 miliar," kata Qohar dalam jumpa pers, Senin (14/4/2024) dini hari.
"Dimana uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca berkas perkara dan Muhammad Arif Nuryanto menyampaikan kepada dua orang tersebut agar perkata diatensi," jelasnya.
Setelah menerima uang tersebut, Agam Syarif dikatakan Qohar memasukkannya ke dalam godie bag yang kemudian dibagikan untuk dirinya, Djuyamto dan Ali secara merata.
Lebih jauh dijelaskan Qohar, pada medio September atau Oktober 2024, Arif Nuryanta kembali menyerahkan uang kepada Djuyamto sebesar Rp 18 miliar.
Uang miliaran itu selanjutnya dibagikan oleh Djuyamto kepada Agam dan Ali di depan Bank BRI wilayah Pasar Baru, Jakarta Pusat.
"Dengan porsi pembagian sebagai berikut, ASB menerima sebesar uang dollar jika dirupiahkan sebesar Rp 4,5 miliar, kemudian DJU menerima uang dollar atau jika dirupiahkan sebesar Rp 6 miliar, dan AL menerima uang berupa dollar Amerika jika dirupiahkan setara Rp 5 miliar," kata Qohar.
Alhasil jika ditotalkan uang yang diterima oleh ketiga tersangka terkait kepengurusan perkara ini senilai Rp 22,5 miliar.
Untuk informasi, dalam perkara suap vonis onslag ini Kejagung telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka.
Awalnya penyidik menetapkan empat orang sebagai tersangka.
Empat tersangka tersebut adalah MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat.
Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.
Abdul Qohar menjelaskan jika suap tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara korporasi sawit soal pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.
"Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN) diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah," ujar Abdul Qohar.
"Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, dimana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG," imbuhnya.
Putusan onslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu. Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp17 triliun.
Dalam perjalanannya, Kejagung juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka. Ketiganya merupakan majelis hakim yang memberikan vonis onslag dalam perkara tersebut.
Ketiganya yakni Djuyamto sebagai Ketua Majelis Hakim, Ali Muhtarom sebagai Hakim AdHoc dan Agam Syarif Baharudin sebagai Hakim Anggota.