Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini menjadi 4,9%. Padahal berdasarkan proyeksi sebelumnya, ekonomi Indonesia diperkirakan bisa tumbuh 5,2% di 2025.
Hal itu terungkap dalam laporan terbaru OECD Economic Outlook, Interim Report March 2025 'Steering to Uncertainty' yang dirilis 17 Maret 2025. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ini sejalan dengan disrupsi ekonomi di beberapa negara berkembang lainnya, terutama yang masuk ke dalam kelompok G20.
"Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang G20 secara umum diproyeksikan melambat," tulis OECD dalam laporannya, dikutip Selasa (18/3/2025).
Meski begitu, OECD melihat perlambatan ekonomi Indonesia tidak akan sesignifikan China. Hal itu karena didukung oleh potensi pertumbuhan ekspor akibat efek ekskalasi perang dagang yang terjadi belakangan.
"Perlambatan tersebut diproyeksikan tidak terlalu terasa di India dan Indonesia, dengan kedua ekonomi tersebut mengalami beberapa dukungan untuk pertumbuhan ekspor karena mereka menarik bisnis baru yang dialihkan dari negara-negara pengekspor yang menghadapi kenaikan tarif yang lebih tajam," jelas OECD.
Selain itu, OECD memperkirakan tingkat suku bunga acuan Indonesia alias BI Rate akan tetap stabil untuk menjaga inflasi tetap rendah dan menghindari arus modal keluar (capital outflow) akibat kebijakan suku bunga tinggi di Amerika Serikat (AS).
OECD memperkirakan inflasi Indonesia akan berada di angka 1,8% pada 2025. Angka tersebut lebih rendah 0,3% daripada proyeksi OECD pada Desember 2024.
Secara umum OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,2% pada 2024 menjadi 3,1% pada 2025 dan 3% pada 2026. Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya sebesar 3,3% untuk 2025 dan 2026.
"(Disebabkan) hambatan perdagangan yang lebih tinggi di beberapa ekonomi G20, meningkatnya ketidakpastian geopolitik dan kebijakan yang membebani investasi serta pengeluaran rumah tangga," beber OECD.