Oleh: Kristia Ningsih - Penulis Lepas
BARU-baru ini, penulis mengirim pesan kepada seorang teman. Intinya memintanya untuk mengundang buka puasa bersama teman sekolah lain yang ternyata tinggal di satu kota. Pertama, karena penulis tidak punya kontak teman lain tersebut. Kedua, karena hanya teman ini memang yang terhubung dengan teman lain tersebut.
Kemudian, bagi kami yang tidak lagi tinggal di kampung halaman, bertemu lagi seperti ini di tempat baru sepertinya menyenangkan. Dapat bernostalgia kisah rok abu-abu serta bila bertukar kabar terbaru. Memang, setelah bukber beberapa tahun silam, penulis belum pernah bertemu kesemuanya lagi.
Akan tetapi, rupanya itu hanya bayangan penulis. Pesan WhatsApp tadi berbalaskan, “…Cuma entah mereka bakal sempet atau enggak.” Pesan tersirat pesan ini seterang matahari pagi. Sebagai orang timur, menolak secara langsung tentu sulit dilakukan. Penulis pun paham. Tentu ada beragam alasan di balik keengganan itu.
Misalnya, peran seorang ibu sangatlah vital menjelang buka puasa di rumah masing-masing. Terlebih bila dengan anak-anak masih kecil dan jika jumlahnya lebih dari satu. Kemudian, jikapun pertemuan di restoran atau kafe, hitunglah berapa harga makan dan minum untuk empat orang keluarga kecil misalnya. Belum lagi ditambah alamnya anak-anak yang 100 persen harus dipantau ketat di muka umum.
Lalu, baik itu bagi yang berpenghasilan tetap ataupun yang berpenghasilan fluktuatif seperti penulis, keuangan bulan puasa, ada baiknya diketatkan untuk persiapan isi meja untuk Lebaran. Plus, jika selalu ada budaya baju baru tiap Lebaran. Fakta ini memang tidak bisa disanggah.
Kalaupun kami setuju, para wanita tanpa anak, tanpa suami saja, toh tentu pasti ada yang akan resah. Sebagai ibu berbalita dan berbatita, penulis sendiri sangat tidak nyaman bila menikmati makanan sendiri yang sudah alamnya selalu makan bersama keluarga. Ini sama sekali tidak bermaksud menentang pendapat umum me-time para wanita. Sederhananya, balasan pesan itu pun memengertikan penulis seterang matahari siang.
Hingga akhirnya pesan kepada teman ini tidak penulis tindak lanjuti. Hasilnya, penulis hanya bukber dengan teman yang paling sering berkomunikasi dengan memilih rumah sebagai destinasi. Anak-anak kami bebas berlarian di rumah tanpa justifikasi bila mereka di muka umum seperti restoran. Mereka bisa bersosialisasi dengan alam anak-anak. Lebih-lebih jika disediakan tontonan ala anak-anak. Orang tua dapat tenang makan di waktu singkat dan anak-anak dapat duduk tertib. Itu sudah lebih dari cukup.
Sekilas, bahasan di atas tampak seperti overthinking. Akan tetapi, jika sebenarnya ini berkaitan dengan komunikasi dengan teori relevansi (Sperber & Wilson, 1986). Dengan menggunakan kognitif alias akal, bila seseorang cukup peka lantas mengerti probabilitas situasi dan kondisi, insyaallah miskomunikasi akan terhindar.
Teori relevansi seperti dalam situasi seseorang berkata, “Aku lapar.” Artinya ia bukan hanya berujar melainkan ada pesan yang mengatakan bahwa ia ingin makan. Sederhananya menurut teori ini, komunikasi bukan hanya tentang makna sesungguhnya sebuah pernyataan, tetapi juga pesan apa yang ingin disampaikan secara tidak langsung.
Dahulu, dalam pelajaran bahasa Indonesia SD, ada bahasan makna tersirat dan makna tersurat. Rupa-rupanya inilah teori komunikasinya. Tidak terlalu teoretis juga, tetapi justru praktis untuk kehidupan. Lebih-lebih pada bulan Ramadan, menjauhkan dari sangka-sangkaan.
Demikianlah kisah di bulan puasa ini. Semoga pengalaman ini dapat juga berguna untuk pembaca. Jika teori relevansi makna tersirat makna tersurat diterapkan, kita dapat lebih terdorong pada pemahaman lebih. Kepekaan seperti ini bisa berguna untuk banyak hal. Pastinya menghindari baper. (*)