Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Berikut 5 mitos seputar glaukoma, penyakit mata yang menyebabkan kebutaan terbanyak nomor dua di dunia beserta faktanya.

Apa saja mitos dan fakta seputar glaukoma?

Berikut penjelsan konsultan oftalmologi di JEC Eye Hospitals and Clinics DR. Dr.  Iwan Soebijantoro, SpM(K).

1.       Mitos: Glaukoma hanya menyerang orang tua

Faktanya: Glaukoma dapat terjadi pada siapa saja, termasuk anak muda dan bahkan bayi yang lahir dengan glaukoma kongenital.

Dokter Iwan menuturkan, glaukoma kongenital yang terjadi pada bayi merupakan kelainan bawaan.

Di sisi lain ada juga glaukoma juvenile yang biasanya terjadi pada usia remaja.

“Glaukoma bisa terjadi pada usia berapa saja. Dari bayi hingga lansia. Untuk bayi itu glaukoma kongenital atau bawaan,” ungkap dia dalam media edukatif bertajuk ‘Waspada Si Pencuri Penglihatan: Mitos, Fakta, Risiko, & Deteksi Dini!’, di Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Faktor risiko seperti riwayat keluarga dan penyakit tertentu seperti diabetes juga bisa meningkatkan kemungkinan terkena glaukoma lebih awal.

2.       Mitos: Sering main gadget atau membaca dalam gelap menyebabkan glaukoma

 

Faktanya: Penggunaan gadget dalam waktu lama memang bisa menyebabkan mata lelah, tetapi tidak secara langsung menyebabkan glaukoma.

 

Penyakit ini lebih berkaitan dengan tekanan bola mata yang meningkat dan kerusakan saraf optik.

“Glaukoma merupakan kondisi neuropati optik progresif yang disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan di dalam bola mata yang dapat merusak saraf optik dan berdampak pada penurunan fungsi penglihatan, bahkan kebutaan,” tutur dia.

Glaukoma merupakan penyakit mata yang sering kali berkembang tanpa gejala di tahap awal, sehingga banyak penderita baru menyadari ketika sudah mengalami gangguan penglihatan yang permanen.

PENGLIHATAN PASIEN GLAUKOMA -Konsultan oftalmologi di JEC Eye Hospitals and Clinics DR. Dr.  Iwan Soebijantoro, SpM(K) saat media edukatif bertajuk ‘Waspada Si Pencuri Penglihatan: Mitos, Fakta, Risiko, & Deteksi Dini!’, di Jakarta, Kamis (13/3/2025) menyampaikan 5 mitos seputar glaukoma, penyakit mata yang menyebabkan kebutaan terbanyak nomor dua di dunia beserta faktanya.
PENGLIHATAN PASIEN GLAUKOMA -Konsultan oftalmologi di JEC Eye Hospitals and Clinics DR. Dr. Iwan Soebijantoro, SpM(K) saat media edukatif bertajuk ‘Waspada Si Pencuri Penglihatan: Mitos, Fakta, Risiko, & Deteksi Dini!’, di Jakarta, Kamis (13/3/2025) menyampaikan 5 mitos seputar glaukoma, penyakit mata yang menyebabkan kebutaan terbanyak nomor dua di dunia beserta faktanya. (Rina Ayu)

3.       Mitos: Jika terkena glaukoma, pasti akan buta

 

Faktanya: Dengan deteksi dini dan pengobatan yang tepat, banyak penderita glaukoma dapat mempertahankan penglihatannya selama bertahun-tahun.

Pemeriksaan mata rutin adalah kunci utama untuk mencegah kebutaan akibat glaukoma.

“Karena glaukoma sering berkembang tanpa gejala di tahap awal, deteksi dini menjadi sangat penting. Pemeriksaan mata secara rutin, terutama bagi individu dengan faktor risiko, adalah langkah utama dalam mencegah dampak glaukoma yang lebih serius,” ungkap dokter Iwan.

Glaukoma tidak dapat direhabilitasi, namun bisa dicegah dampak fatalnya yaitu berupa kebutaan permanen.

4.       Mitos: Glaukoma bisa disembuhkan dengan obat herbal atau terapi alternatif

 

Faktanya: Saat ini, belum ada obat herbal atau metode alternatif yang terbukti secara ilmiah bisa menyembuhkan glaukoma.

 

Pengobatan yang dianjurkan oleh dokter, seperti obat tetes mata, laser, atau operasi, adalah langkah medis yang terbukti efektif dalam mengendalikan penyakit ini.

 

“Glaukoma ini tidak bisa disembuhkan. Glaukoma hanya bisa dicegah dan bisa dipertahankan sisa-sisa penglihatan atau memperlambat kebutaan. Penting bagi pasien untuk patuh pada pengobatan medis dan pasien bersedia melakukan pemeriksaan berkala,” ujar dia.

 

Mitos: Glaukoma bukan penyakit keturunan
 

Faktanya: Glaukoma memiliki faktor genetik yang signifikan. Jika seseorang memiliki anggota keluarga dengan glaukoma, risikonya untuk terkena penyakit ini menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu, orang dengan riwayat keluarga glaukoma disarankan untuk melakukan pemeriksaan mata secara rutin.

Selain faktor keturunan, beberapa kondisi lain juga dapat meningkatkan risiko seseorang terkena glaukoma, di antaranya: usia di atas 40 tahun, tekanan bola mata tinggi (hipertensi okular), penyakit penyerta seperti diabetes dan hipertensi, miopi (rabun jauh) atau hipermetropi (rabun dekat) tinggi, cedera pada mata atau penggunaan obat kortikosteroid dalam jangka panjang.

“Banyak orang berpikir orang yang diabetes pasti terkena glaukoma. Bukan seperti itu. Diabetes bukan faktor langsung glaukoma atau tidak langsung mempengaruhi. Tapi orang diabetes berisiko tinggi terkena glaukoma,” kata dokter Iwan.

Deteksi Dini Penting

Guru besar FKUI sekaligus Head of Glaucoma Service, JEC Eye Hospitals and Clinics Prof. DR. Dr. Widya Artini Wiyogo, SpM(K) menuturkan, screening dan penanganan glaukoma kini sudah berkembang.

Beberapa teknologi yang digunakan meliputi: Optical Coherence Tomography (OCT), Visual Field Test (Perimetri), Tonometri Non-Kontak (Air Puff Test) & Goldmann Applanation Tonometry – Teknik modern untuk mengukur tekanan bola mata dengan lebih akurat, dan Gonioskopi.

“Sebagai salah satu jaringan rumah sakit mata terkemuka di Indonesia, kami terus meningkatkan kesadaran dan akses terhadap layanan kesehatan mata. Melalui kampanye edukatif dan fasilitas pemeriksaan mata yang lengkap, kami berharap dapat membantu lebih banyak masyarakat dalam mendeteksi dan mengelola glaukoma lebih awal,” jelas Prof Widya.

Tahun ini peringatan World Glaucoma Week 2025: “Uniting for Sight”, menekankan kolaborasi global dalam mencegah kebutaan akibat glaukoma.

Menurut data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023, dari 39 juta kasus kebutaan di dunia, sebanyak 3,2 juta disebabkan oleh glaukoma dan prevalensi glaukoma mencapai 0,46 persen, atau sekitar 4 hingga 5 orang per 1.000 penduduk.

Sebanyak 80 persen kasus glaukoma tidak memiliki gejala, kebanyakan pasien terdiagnosa secara tidak sengaja saat tes kesehatan atau di saat skrining. Namun jika muncul gejala sakit kepala hebat, pandangan tiba- tiba kabur, mual, muntah, dan kesakitan hebat, masyarakat perlu waspada.

Pasien yang menderita glaukoma akut, memiliki waktu 2 x 24 jam untuk segera menurunkan tekanan bola mata, jika terlambat, kelainannya akan menjadi permanen.

 

 

Baca Lebih Lanjut
Hari Glaukoma Sedunia: Sayangi dan Lindungi Mata
Detik
Mbok Yem Pemilik Warung Legendaris di Gunung Lawu Alami Komplikasi, Dirawat 3 Dokter Spesialis
Nanda Lusiana Saputri
Sosok Mbok Yem 'Penjaga' Gunung Lawu yang Dirindukan Pendaki, Kini Ditangani 3 Dokter Spesialis
Fitriadi
Kondisi Terkini Mbok Yem, Penjaga Gunung Lawu, Masih Sesak Napas, Tubuh Bengkak, Dirawat 3 Dokter
Anita K Wardhani
Dokter Naturopati: Begini Cara Wajah Menunjukkan Tanda Konsumsi Wajah Gula, Gluten, dan Susu, Anggur
Tim TribunStyle
Tips Dokter Agar Kulit Sehat dan Glowing saat Lebaran, Terapkan 5 Langkah Ini di Rumah
Anita K Wardhani
Singsot Magrib, Mitos Siul Kematian
Timesindonesia
Mata Anak Panda Terluka karena Terlalu Semangat Bermain
Detik
Benarkah Saat Haid Dilarang Keramas? Ini Penjelasan Ilmiahnya
Konten Grid
Penanganan Stroke yang Cepat dan Tepat, Meminimalkan Kerusakan Otak dan Kecacatan
Erik S