TRIBUNNEWS.COM - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Eri Purnomohadi mengaku bingung ketika PT Pertamina (Persero) Tbk mengimpor bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite atau RON 90 dari Singapura meski negara tersebut tidak memproduksinya.
Eri mengaku pihaknya baru mengetahui adanya kejanggalan tersebut setelah penetapan tersangka dalam kasus mega korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang pada PT Pertamina Patra Niaga periode 2018-2023.
Dia mengatakan, kilang minyak di Singapura hanya memproduksi BBM RON 92, 95, dan 97.
"Kami juga baru ngeh ya seminggu ini. Data yang kami dapat itu impornya itu dari data resmi Kementerian ESDM (Pertamina impor RON) 90."
"Padahal kenyataan di Singapura di mana Mean of Plattes Singapura itu publish setiap hari, (produksi RON) 92, 95, 97," kata Eri dalam acara Industrial Summit 2025 bertajuk Kasus Pertamina vs Kepercayaan Publik yang ditayangkan di YouTube Kompas TV, Rabu (5/3/2025).
Eri pun mempertanyakan modus tersangka dalam melancarkan aksinya dalam melakukan korupsi.
Dia pun berharap Kejaksaan Agung (Kejagung) bisa mengungkap modus dari para tersangka tersebut.
"Jadi ini yang memang menjadi pertanyaan juga, bagaimana sih ini patgulipat di Patra Niaga karena kan tidak tahu. Kita hanya mendapat informasi yang dirilis dari Kejaksaan Agung," tuturnya.
"Data tadi (impor BBM Pertamina) bisa diakses website resmi ESDM, di Dewan Energi Nasional, itu impornya (RON) 90, padahal di sana (Singapura) adanya RON 92," sambung Eri.
Tren Impor BBM Pertamina Tahun 2021-2023 Naik, Pertalite Paling Banyak
Pada kesempatan yang sama, Eri juga memaparkan terkait tren impor BBM oleh Pertamina pada tahun 2021-2023 yang terus meningkat.
Adapun pada tahun 2021, BBM RON 90 atau Pertalite menjadi impor tertinggi yaitu mencapai 8,15 juta kiloliter.
Lalu, impor Pertalite meningkat terus pada dua tahun selanjutnya, yakni 2022 dan 2023.
"Trennya itu meningkat, RON 90 itu 8,15 juta kiloliter. Tahun 2022, RON 90 itu 15,11 juta kiloliter. Impor produk minyak bumi (Pertalite) tahun 2023 itu 16,12 kiloliter," katanya.
Sementara, kata Eri, impor BBM RON 92 atau Pertamax justru sangat kecil dalam kurun waktu 2021-2023.
Bahkan, dalam pemaparannya, tidak menyampai 1 juta kiloliter tiap tahunnya.
Adapun pada tahun 2021, impor Pertamax hanya 0,10 kiloliter. Lalu, di tahun 2022, cuma 0,12 kiloliter, dan tahun 2023 sebesar 0,27 kiloliter.
Di sisi lain, tren impor BBM RON 95 atau Pertamax Green mengalami penurunan di mana di tahun 2021 mencapai 9,84 juta kiloliter, lalu pada tahun 2022 menurun menjadi 6,39 juta kiloliter.
Penurunan kembali terjadi pada impor Pertamax Green yaitu menjadi 4,67 kiloliter pada tahun 2023.
Tentang hal ini, Eri mengungkapkan seluruh impor BBM tersebut berasal dari kilang Singapura.
Pasalnya, imbuh Eri, kilang dari Singapura mampu memproduksi minyak mentah mencapai 800 ribu barel per hari dan dianggap dapat memenuhi kebutuhan Indonesia.
"Di dalam dunia impor mengimpor BBM, Indonesia rujukannya adalah beli dari Singapura melalui MOPS atau Mean of Platts Singapore."
"Kita ketahui kilang Singapura itu hampir 800 ribu per barel produksinya per hari. Jadi Indonesia sangat tergantung atau Singapura senantiasa mengekspor produk kilangnya ke Indonesia," jelasnya.
Eri menuturkan adanya impor BBM tersebut karena produksi kilang di Indonesia masih rendah yaitu hanya 600 ribu barel per hari.
Padahal, imbuhnya, kebutuhan BBM dalam negeri selalu meningkat tiap tahunnya.
"Di dalam kemampuan kilang dalam negeri, kita tidak bisa memenuhi konsumsi BBM yang terus meningkat."
"Jadi kita 50 persen mengimpor BBM, 50 persen kita mengimpor crude bahkan lebih. Karena apa? Produksi crude kita hanya 600 ribu per barel menurut APBN," pungkasnya.
(Yohanes Liestyo Poerwoto)