TRIBUN-MEDAN.COM, MEDAN – Lomang atau Lemang Bambu Srikaya kembali menjadi primadona masyarakat Kota Medan saat bulan Ramadan tiba.
Makanan tradisional ini memiliki cita rasa manis dan gurih, dipadukan dengan aroma khas dari bakaran bambu dan daun pisang muda yang menggoda selera. Tak heran, banyak orang yang tergiur untuk mencicipinya.
Nursalim Lubis, pemilik usaha UD. Lomang Panas Jaya di Jalan Flamboyan Raya, Medan, mengungkapkan bahwa selama Ramadan, usahanya mampu menjual 150-200 batang lemang setiap harinya. Dengan harga Rp 40.000 per batang, lemang buatannya menjadi pilihan utama warga Medan yang ingin menikmati hidangan khas ini.
“Tahun ini penjualan masih stabil, belum ada kenaikan signifikan. Setiap harinya kami memproduksi 150-200 batang lemang,” kata Nursalim kepada Tribun Medan, Selasa (4/3/2025).
Yang membuat Lemang Panas Jaya istimewa adalah tambahan selai srikaya yang diproduksi sendiri. Selai ini memberikan sentuhan rasa unik dan menjadi ciri khas lemang buatannya.
“Srikaya kami buat sendiri dengan proses yang tetap dipertahankan sejak awal. Bahkan, banyak pelanggan yang kembali setelah beberapa tahun dan mengatakan bahwa rasa lemang kami tidak pernah berubah,” ujar Nursalim bangga.
Selain menjadi hidangan favorit saat berbuka puasa, lemang bambu srikaya ini juga sering dijadikan sebagai oleh-oleh khas Medan. Banyak pelanggan dari luar daerah yang membelinya untuk dibawa pulang.
“Banyak yang beli dari luar kota karena lemang kami sering dijadikan oleh-oleh. Kami buka dari pagi karena kebanyakan pembeli ingin membawanya sebagai oleh-oleh. Praktis, lemang bisa dibawa langsung dengan bambunya,” jelasnya.
Lomang Mandailing: Tradisi yang Tak Terpisahkan
Lomang atau lemang memiliki akar sejarah yang kuat dalam budaya Mandailing. Bagi masyarakat Mandailing, lemang bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari tradisi yang tidak bisa dipisahkan, terutama saat perayaan Lebaran.
“Bagi orang Mandailing, kalau tidak ada Lomang, nggak Lebaran namanya. Dari situlah muncul ide untuk menjual lemang. Awalnya, ini hanya usaha rumahan kecil-kecilan,” cerita Nursalim.
Usaha Lemang Panas Jaya yang dirintis sejak 2007 ini telah bertahan selama 16 tahun. Bermula dari kebiasaan keluarga menyajikan lemang saat Lebaran, Nursalim akhirnya memutuskan untuk mengembangkannya menjadi usaha yang lebih besar.
Kini, lemang buatannya tidak hanya dinikmati oleh warga Medan, tetapi juga menjadi oleh-oleh yang diburu oleh para pelancong.
Proses pembuatan lemang di UD. Lomang Panas Jaya masih mengandalkan cara tradisional. Bambu yang digunakan sebagai wadah diisi dengan beras ketan dan santan, kemudian dibakar hingga matang. Aroma khas dari bakaran bambu dan daun pisang muda menjadi daya tarik tersendiri.
“Kami mempertahankan proses pembuatan secara tradisional untuk menjaga cita rasa aslinya. Ini yang membuat pelanggan setia selalu kembali,” ujar Nursalim.
Dengan cita rasa yang konsisten dan proses pembuatan yang tetap tradisional, Lemang Panas Jaya berhasil mempertahankan eksistensinya sebagai salah satu kuliner khas Medan yang selalu dinanti-nantikan, terutama saat bulan Ramadan tiba.
(cr26/www.tribun-medan.com).