Kematian dua pendaki perempuan di Gunung Carstensz, yang diduga akibat hipotermia, menarik perhatian publik. Insiden tragis itu memicu perbincangan tentang tantangan mendaki gunung salju abadi di Papua ini, yang dikenal dengan cuaca ekstremnya.
Meninggalnya Lilie Wijayanti (60) dan Elsa Laksono (60) adalah korban hipotermia di Gunung Carstensz yang berada di Papua Tengah. Penyelidikan masih dilakukan, cuaca buruk diduga jadi penyebab mereka hipotermia.
Sebagai satu-satunya gunung salju di Indonesia dan masuk dalam daftar World Seven Summit atau tujuh puncak tertinggi di dunia, Gunung Carstensz memang menggiurkan untuk didatangi. Dengan karakteristik, ketinggian, jalur, dan lokasinya, Gunung Carstensz memiliki keistimewaan dan keunikan yang seharusnya dipahami oleh para pendaki.
detikTravel melakukan wawancara dengan seorang pendaki profesional, Fandhi Achmad, yang juga atlet ultra trail Indonesia pada Senin (3/3). Fandhi juga sudah mendaki gunung itu 30 kali. Dia mengatakan pengalaman pertama kali mendaki Carstensz pada tahun 2005.
Ia sudah mendengar tentang kabar dua pendaki yang tewas itu. Kebetulan, pemandu kelompok tersebut berasal dari asosiasi yang sama dengannya, sehingga ada sedikit kecewa yang terasa saat ia bercerita.
"Saya baca kronologinya, kalau menurut saya cuaca bukan faktor utama, kalau ke gunung salju, ya pasti hujannya salju. Kalau kita sering ke Carstensz itu, hampir bisa dibilang 80 persen di atas jam 10 pagi itu hujan, biasanya di bawah hujan air, di atas 4.500 mdpl hujan es, di atasnya lagi salju," kata dia.
Ia menceritakan bagaimana seluk beluk dari Carstensz. Menurut pendapatnya mendaki gunung tidak boleh tergantung cuaca. Sebab, jika pendaki pasrah terhadap cuaca maka gunung hanya akan menjadi kuburan massal.
"Kalau cuaca bagus selamat tapi cuaca buruk mati, ya kalau gitu enggak usah mendaki," ujar dia.
Pengalamannya di Carstensz mengajarkan sesuatu, yakni bahwa gunung itu memang tidak ramah kepada siapa pun, termasuk pendaki. Jika disimpulkan dari catatan pendakiannya, hanya ada 20 hari yang masuk dalam kategori cuaca bagus selama 100 hari.
Ia menegaskan bahwa cuaca di Carstensz tidak dapat disalahkan karena memang itulah karakteristiknya. Ini mengapa pendakian ke Carstensz tidak boleh asal atau hanya punya pengalaman 'naik gunung'.
Fandhi memiliki pendapat soal hipotermia yang menyerang para pendaki Gunung Carstenz itu. Ya, Lilie dan Elsa serta tiga pendaki lain terkena hipotermia.
Sebagai seorang pendaki sekaligus pemandu, dia menyimpulkan bahwa hipotermia yang dialami oleh pendaki adalah efek domino dari rangkaian kesalahan yang diawalii dari banyaknya jumlah pendaki dalam rombongan.
"Hipotermia itu kondisi di mana tubuh tidak memproduksi panas tubuh, biasanya orang itu berhenti (dalam keadaan diam). Kalau orang berjalan itu kecil kemungkinan dia terkena hipotermia," kata Fandhi.
Dia kembali menegaskan bahwa hampir selalu turun hujan di Carstensz, sehingga butuh banyak persiapan untuk bisa selamat dari jalur pendakiannya. Pasrah pada cuaca bukanlah pilihan.
"Di Carstensz hujan bisa berjam-jam, se-waterproof apa pun jaketnya pasti tembus.
Nah, penggunaan tali-temali itu memang harus dikuasai oleh pendaki. Fandhi mengatakan Carstensz adalah gunung dengan karakter climbing peak, semua pendakian terhubung dengan tali.
Fandhi yakin bahwa rombongan tersebut bermasalah dengan tali-temali, sehingga mereka harus antre untuk bisa ascending, yang berbuntut berhentinya kegiatan, lalu tubuh terkena hipotermia.
"Semakin banyak pendaki kemungkinan trouble-nya berjam-jam. Semakin banyak trouble, semakin lama antreanya dan dia harus diam nunggu di atas," kata dia.
Ia menegaskan bahwa cuaca hanyalah salah satu faktor, bukan penentu nasib pendaki. Mereka yang mau menjajal gunung ini harus melatih diri dan mempersiapkan hal yang buruk. Dalam 3o kali pendakian, ia bisa menghitung hanya 5 kali mendapat cuaca bagus.
"Kalau cuma berharap naik gunung dengan cuaca yang bagus, itu sudah salah. Naik gunung itu gimana kita mempersiapkan menghadapi cuaca buruk," dia menegaskan.