Jangan abaikan kesehatan di masa muda, Banyak yang menyesal di kemudian hari karena kebiasaan buruk yang merugikan tubuh.
TRIBUNSTYLE.COM - Lutut kiri saya terasa nyeri luar biasa, membuat setiap langkah terasa menyiksa. Rasa sakitnya menjalar ke paha dan pergelangan kaki. Duduk atau berdiri tak memberi perbedaan bahkan es hanya meredakan sesaat.
Sudah lama sejak terakhir kali saya merasakan ini, tapi seharusnya saya sudah menduganya.
Sebulan lalu, saya mulai kembali berlari, perlahan. Beberapa mil di sana-sini, sering kali lebih seperti jalan cepat daripada lari. Saya menghargai gerakan intuitif dan tak mau memaksakan diri seperti dulu.
Tapi ketika musim semi tiba, saya tak bisa menahan diri untuk keluar dan berlari lagi. Bekerja dari rumah membuat saya semakin menghargai pentingnya bergerak.
Namun, bagi saya, berlari adalah pedang bermata dua. Dulu, saya berlari bukan hanya untuk kebugaran, tapi untuk melarikan diri dari rasa sakit, dari emosi yang sulit dikendalikan.
Saya terjebak dalam kecanduan olahraga, ditambah gangguan makan yang membayangi hidup saya.
Apakah baik memprioritaskan kalori yang terbakar dibanding waktu bersama orang tersayang? Apakah masuk akal menyalahkan diri sendiri hanya karena melewatkan satu sesi olahraga?
Tentu tidak. Saya masih muda, tapi tubuh saya terasa tua. Saya sering mengabaikan peringatan dokter dan terapis fisik bahwa saya harus belajar beristirahat. Jika tidak, saya bisa berakhir di kursi roda sebelum usia 30 tahun.
Tapi saya tak tahu bagaimana caranya berhenti. Yang saya tahu hanyalah terus berlari, sampai suara di kepala saya mengatakan sudah cukup setidaknya untuk hari itu.
Kini, meskipun saya lebih berdamai dengan tubuh saya, dampak dari masa lalu tetap terasa. Tubuh saya menanggung akibatnya.
Pinggul dan lutut saya lemah, lelah setelah bertahun-tahun dipaksa melebihi batas. Sekarang, tubuh saya berkata, Cukup. Kita butuh keseimbangan.
Saya sudah menerima kenyataan bahwa saya tak bisa berlari seperti dulu. Saya berusaha bersyukur karena masih bisa menikmati berbagai bentuk aktivitas lain yoga, pilates, jalan kaki, hiking, bahkan berkebun.
Tapi tiba-tiba, rasa sakit ini muncul. Saya tak yakin penyebabnya. Saya memang berlari minggu lalu, tapi tidak seintens dulu. Lutut saya membengkak begitu saja, tanpa peringatan.
Bahkan yoga terasa terlalu menyakitkan. Kini, lutut kanan saya juga mulai terasa nyeri karena saya cenderung mengandalkan satu kaki lebih banyak dari yang lain.
Saya sudah mencoba segalanya: es, pijatan, garam Epsom, terapi fisik. Namun, tubuh saya seakan menolak semua usaha saya.
Tentu saja, ada godaan untuk mengabaikan rasa sakit ini. Apalagi baru-baru ini saya mengungkapkan pada pasangan saya bahwa saya merasa berat badan saya naik dan tubuh saya tidak dalam kondisi terbaiknya.
Ingat, tubuhmu bukanlah hal terpenting tentang dirimu, katanya. Itu adalah nasihat yang sering saya berikan pada orang lain. Namun, menerapkannya pada diri sendiri tak pernah semudah mengatakannya.
Apa yang saya pelajari dari semua ini? Masa lalu tak bisa dihapus. Luka-luka itu tetap ada, menjadi bagian dari kisah hidup saya.
Mungkin rasa sakit ini bukan sekadar ketidaknyamanan, tapi sebuah pengingat. Sebuah kesempatan untuk tumbuh dan menyembuhkan diri lebih dalam. (TribunSytle.com/Aris/yourtango.com)