Laporan Wartawan TribunSolo.com, Vincentius Jyestha 

TRIBUNSOLO.COM - "Sebat dulu yuk," ajak Agung Prasetyo, pria berusia 48 tahun kepada bawahannya di sebuah perusahaan swasta di Kota Yogyakarta. 

Karyawan-karyawannya yang rata-rata baru berada di usia kepala dua itu saling memandang seolah bingung mendengar ajakan sang atasan. 

Sebat merupakan akronim dari "sebatang" yang merujuk pada rokok. Kalimat itu kerap memiliki makna menghabiskan satu batang rokok terlebih dahulu, sebelum beralih melakukan kegiatan lain. 

Wajar jika generasi Z (gen Z) dan generasi dibawahnya kikuk mendengar ajakan tersebut. Sebab "sebat" merujuk pada rokok konvensional yang menghasilkan asap dari pembakaran tembakau, seperti rokok filter dan rokok kretek.

Sedangkan para anak muda ini lebih mengenal rokok elektrik yang tersedia dalam berbagai varian rasa. 

Ya, dalam kurun waktu empat tahun terakhir rokok elektrik makin populer di kalangan anak muda Tanah Air. Bahkan sebagian generasi milenial juga tercatat menjadi pengguna rokok elektrik. 

Berdasarkan Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, prevalensi rokok elektrik di Indonesia naik dari 0,3 persen pada 2011 menjadi 3 persen pada 2021.

Tercatat pula peningkatan drastis pengguna rokok elektrik macam vape hingga pods usia 15 tahun ke atas dalam 10 tahun terakhir. 

Hal ini dibenarkan Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Agus Dwi Susanto yang juga mengungkap 55,7 persen masyarakat Indonesia terpapar informasi rokok elektrik.

Sebanyak 11,9 persen di antaranya pernah menggunakan rokok elektrik, sementara 3 persen sisanya masih aktif memakai rokok elektrik.

Mengutip survei perusahaan data pasar dan konsumen Statista Consumer Insights periode Januari hingga Maret 2023, 25 persen masyarakat Indonesia pernah setidaknya menggunakan rokok elektrik satu kali.

"Angkanya lebih tinggi dari Swiss 16 persen, Amerika Serikat 15 persen, Inggris 13 persen," katanya, beberapa waktu lalu. 

Senada, Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garinda Kartasasmita juga memberikan penegasan bahwa pengguna aktif rokok elektrik di Indonesia tembus hampir 4 juta orang.

Belum lagi, adanya peningkatan orang yang telah mencoba dan beralih ke rokok elektrik.

"Benar, pengguna aktif rokok elektrik itu hampir 4 juta orang.

Bahkan, survei terakhir itu mencatat yang sudah mencoba rokok elektrik ada lebih dari 6 juta orang," kata Garinda, ketika dihubungi TribunSolo.com, Selasa (25/2/2025). 

Lantas apa faktor yang membuat rokok elektrik saat ini begitu menjamur di kalangan anak muda? 

Kesehatan dan Substitusi 

ROKOK ELEKTRIK. Penggemar rokok elektrik menunjukkan kebolehannya disela acara
ROKOK ELEKTRIK. Penggemar rokok elektrik menunjukkan kebolehannya disela acara "I Choose to be Healthier" di Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/12/2019) lalu. Berbagai macam faktor termasuk kesehatan dan lifestyle membuat rokok elektrik makin digemari.
(Wartakota/Angga Bhagya Nugraha) (Wartakota/Angga Bhagya Nugraha)

Faktor yang paling sering disebut adalah terkait masalah kesehatan. Tak bisa dipungkiri, terdapat banyak orang yang ingin berhenti merokok (rokok konvensional, - red) dikarenakan takut terkena kanker hingga komplikasi kesehatan lainnya. 

Rokok elektrik dipandang menjadi alat bantu berhenti merokok dalam sebuah studi yang dipublikasikan oleh JAMA Network pada 17 Januari 2025 bertajuk 'Prevalence of Popular Smoking Cessation Aids in England and Associations With Quit Success'. 

Disebutkan bahwa di Inggris rokok elektronik merupakan alat bantu berhenti merokok yang paling umum digunakan sepanjang tahun 2023-2024 yakni mencapai 40,2 persen dan menjadi metode dengan peluang keberhasilan berhenti merokok tertinggi jika dibandingkan dengan metode lain.

Praktisi kesehatan dr. Jeffrey Ariesta Putra menyebut tak adanya transisi atau beralihnya perokok ke produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik akan membuat perokok mengalami kesulitan dalam mengatasi ketergantungan, sehingga kemungkinan untuk kembali merokok menjadi lebih besar.

Hal itu dikatakannya juga menjadi salah satu alasan mengapa pengguna rokok eletrik makin meningkat.

"Sebagai praktisi kesehatan, saya sulit meminta pasien secara mentah untuk berhenti merokok, karena sudah menjadi kebiasaan dan edukasi terkait bahaya merokok tidak kurang banyak. Menurut saya, produk rokok elektronik merupakan alternatif yang diharapkan dapat menjadi substitusi," kata dr. Jeffrey, dalam keterangannya. 

Pengalaman terkait masalah kesehatan juga dirasakan oleh Robertus Alan (34), seorang fotografer asal Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menjadi perokok konvensional sejak SMA ternyata menimbulkan dampak negatif bagi tubuhnya.

Kebiasaannya menghirup asap tembakau dua bungkus per harinya mulai terasa pada 2016 silam.

Efek samping yang dirasakan Alan yakni tenggorokannya menjadi kering setiap pagi hari dan dahak selalu muncul. 

"Biasanya kalau pagi seperti ada keluar semacam dahak sampai darah sedikit gitu," kata Alan, kepada TribunSolo.com, Rabu (26/2/2025). 

Alan pun kemudian mencoba mencari alternatif rokok yang bisa membuatnya tak merasakan efek samping di atas. Apalagi dia sendiri mengakui telah kecandungan nikotin.

Pada 2016 pula lah Alan berkenalan dengan rokok elektrik yang kala itu sedang booming. 

"Ada penelitian katanya rokok elektrik itu tidak ada tar. Jadi uap yang dibakar dan bahan liquid dari rokok elektrik itu bahan-bahan yang dipakai untuk pembuatan sirup. Jadi mulai dari situ, coba deh aku pakai rokok elektrik, supaya nggak ada dahak dan semacamnya. Dan untungnya sekarang nggak pernah lagi merasakan tenggorokan kering, dahak hingga darah keluar," jelasnya. 

Bersahabat di Kantong

Biaya atau seberapa banyak orang harus merogoh kocek jadi faktor lain yang turut mempengaruhi makin banyaknya pengguna rokok elektrik.

Harga rokok konvensional yang semakin melambung tinggi karena cukai dan pajak yang dikenakan membuat orang berpikir ulang. 

Belum lagi, harga liquid hingga cartridge bagi pengguna vape dan pods masih dibawah harga rokok konvensional jika dihitung rata-rata per bulannya. 

Alan mengaku sebulan hanya harus mengeluarkan Rp300 ribu untuk memenuhi hasratnya menghisap pods miliknya.

Jumlah itu sudah meliputi pembelian cartridge yang dibanderol Rp35-40 ribu untuk dua minggu sekali. Sementara harga satu liquid untuk dua minggu dirinya membutuhkan Rp70-110 ribu. 

"Rokok elektrik itu buat saya lebih ekonomis. Kalau saya sih satu bulan itu rata-rata spare Rp300 ribu buat beli liquid 2 kali sama beli cartridge 2 kali," kata Alan. 

"Ya lebih murah itu sih daripada rokok konvensional yang sekarang harganya gila. Misalkan sehari satu bungkus yang harga Rp20 ribu-an. Berarti sebulan habis Rp600 ribu-an," tambahnya. 

Tren, Varian Rasa Hingga Lifestyle

ROKOK ELEKTRIK. Berbagai jenis rokok elektrik dipamerkan dalam acara
ROKOK ELEKTRIK. Berbagai jenis rokok elektrik dipamerkan dalam acara "I Choose to be Healthier" di Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/12/2019) lalu. Pengguna aktif rokok elektrik di Indonesia meningkat pesat, tembus angka 4 juta. (Wartakota/Angga Bhagya Nugraha) (Wartakota/Angga Bhagya Nugraha)

Rasa penasaran kaum milenial, gen Z hingga generasi-generasi di bawahnya terhadap rokok elektrik terjadi setidaknya karena dua hal.

Yang pertama adalah tren vape itu sendiri. Tren yang dimaksud adalah kemunculan konten hingga iklan mengenai vape itu sendiri di media sosial. 

Di awal boomingnya vape, sering kita jumpai konten mengenai trik vape membuat asap dalam berbagai macam bentuk. 

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Amurwarni Dwi Lestariningsih mengatakan, iklan di media luar ruang dan internet berpengaruh besar terhadap peningkatan perilaku anak untuk merokok, dalam hal ini rokok elektrik.

"Industri selalu membuat hal-hal yang menarik untuk mengajak anak-anak sebagai pengguna atau konsumen," katanya, seperti dikutip dari laman Kementerian Kesehatan. 

Johannes de Britto Candrabhaskara (23), mahasiswa perguruan tinggi swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta, mengakui jadi salah satu gen Z yang tertarik mencoba rokok elektrik karena pengaruh media sosial dan tren yang muncul. 

"Pertama kali tahu rokok elektrik dari internet dan dari teman-teman SMA. Dulu soalnya sering muncul di internet tentang trik-trik vape yang membuat asap dengan segala macam bentuk. Teman saya juga ngikutin berita-berita soal vape, dari situ saya tahu soal rokok elektrik," kata Aska, sapaan akrabnya, kepada TribunSolo.com, Selasa (25/2/2025). 

Tak hanya tren, alasan kedua yang membuat kaum muda ini penasaran tak lepas dari varian rasa yang dihadirkan rokok elektrik.

Selain mengemas pemasaran dalam bentuk yang menarik, industri rokok juga membuat anak-anak remaja kecanduan dengan menciptakan rokok elektrik dalam berbagai varian rasa, terutama rasa buah-buahan. 

Tak bisa dipungkiri, inovasi tersebut berhasil menarik perhatian anak muda untuk menggunakan produk tersebut.

Bahkan jika ditelaah dengan seksama, rokok konvensional juga mulai beralih dari aroma tembakau khas dan sensasi menthol dengan menghadirkan varian rasa buah pasca rokok elektrik makin mendapatkan hati di Indonesia.

"Saya cuma ingin mencoba awalnya enaknya (rokok elektrik) itu seperti apa, apalagi rasanya yang bermacam-macam. Ada yang freebase, saltnic. Yang memang berawal dari coba-coba, lama-lama jadi enak gitu, dan sekarang menjadi adiktif buat saya," tutur Aska. 

Pria yang hobi bermain game ini juga mengungkap ada beberapa kelebihan dari rokok elektrik dibandingkan rokok konvensional. Fleksibilitas salah satunya.

Ketika mengkonsumsi rokok konvensional, mau tak mau harus meluangkan waktu beberapa menit untuk menghabiskan sebatang rokok. Belum lagi jika dihadapkan dengan regulasi terkait harus merokok di area tertentu. 

"Rokok elektrik kapan saja bisa dihisap dan nggak harus ribet. Satu hisapan juga pun bisa, sedangkan rokok konvensional kalau nggak dihabiskan sayang. Itu poin plus dari rokok elektrik," katanya. 

Kelebihan lain dari rokok elektrik yakni tidak membuat bau rokok itu menempel di badan, juga tak membuat bau ruangan.

Keluhan yang kerap diterima Aska dari orang-orang terdekatnya tak jauh dari seputar hal tersebut. Belum lagi rokok konvensional meninggalkan sampah berupa puntung rokok hingga abu rokok. 

"Keluarga sih lebih suka jika saya menggunakan rokok elektrik, yang mana rokok elektrik baunya nggak menempel dan tidak sebau rokok konvensional. Juga lebih bersih karena nggak ada puntung rokok dan nggak ada abu yang berceceran," imbuhnya. 

Di sisi lain, Aska melihat rokok elektrik di kalangan muda sudah menyatu layaknya gaya hidup atau lifestyle. Lifestyle yang dimaksud di sini adalah ketika rokok elektrik dianggap perlu keberadaannya di tongkrongan, meski sebenarnya tanpa rokok elektrik pun tak masalah. 

Meski dirinya sendiri tak menganggap rokok elektrik sebagai lifestyle, kawan-kawannya di tongkrongan, terutama perempuan menganggap rokok elektrik bagian dari gaya hidupnya.

Menurutnya, ada momen di mana kawan perempuannya beranggapan vape dan pods membuat mereka makin hype dan terlihat keren. Secara, perempuan yang merokok konvensional kerap dikonotasikan sebagai perempuan 'tak benar'. 

"Buat sebagian orang, ngevape dan ngepods sudah jadi lifestyle. Selalu ditenteng kemana-mana meski kadang tak digunakan. Banyak temen tongkrongan, cewek kebanyakan, yang merasa keren dengan ngevape. Padahal awalnya nggak ngevape. Belum lagi stigma cewek kalau merokok konvensional itu yang jelek," pungkasnya.

Melihat segala faktor yang ada, mulai dari kesehatan, biaya, bahkan hingga lifestyle, perkembangan rokok elektrik di Indonesia tampaknya akan kian masif dan pengguna aktif rokok elektrik bakal terus meningkat di masa depan.

Meski demikian, masih perlu dilakukan kajian lebih mendalam terkait dampak kesehatan hingga pembuatan regulasi-regulasi yang mengatur soal rokok elektrik di Indonesia.

(*)

 

 

Baca Lebih Lanjut
Mengenal Gangguan Mata Kering yang Dipicu Perubahan Gaya Hidup di Era Digital
Acos Abdul Qodir
Orang Indonesia Tunda Beli Mobil Baru Gara-gara Ini?
Detik
Suka Es Krim Tapi Takut Gemuk? Ngobrol Yuk, Bareng Pakar di Sini
Detik
Tingkatkan Kesadaran Soal Kesehatan, DWP Kemensos Gelar Seminar Pencegahan Kanker
Dodi Esvandi
AI Bantu Ilmuwan Memahami Emosi Hewan, dari Anjing hingga Babi
Timesindonesia
Jumlah Pekerja Migran dari Jateng Tembus 66.611, Hongkong dan Taiwan Tetap Jadi Favorit!
Raka f pujangga
Tangkis Trojan, Appdome Tawarkan Sistem Keamanan Canggih Berbasis AI
Adam Rizal
Google Setop Gunakan SMS Untuk Autentikasi Dua Faktor di Gmail
Detik
Tak Hanya Produksi SUV Elektrik, Hyundai Punya Pikap Listrik Porter II EV di Korea Selatan 
Seno Tri Sulistiyono
Pakar: Meningkatnya TKDN Hulu Migas Jadi Penggerak Pertumbuhan Ekonomi
Sanusi