Tuku, menjadi salah satu jenama kopi paling dicintai; setidaknya bagi warga Jakarta, dalam beberapa waktu terakhir. Nyaris tak pernah ada outlet Tuku di Jakarta yang sepi dari antrean muda-mudi pecinta kopi.
Meski dimulai dari sebuah kios kopi mini; jika tak ingin disebut amat kecil, di Cipete, Jakarta Selatan, namun Tuku tumbuh dengan perlahan tapi pasti sebagai sebuah brand kopi.
Dan kini, setelah 10 tahun berdiri, Tuku menancapkan posisinya sebagai salah satu jenama kopi ternama Tanah Air dengan membeli hak penamaan stasiun MRT Jakarta di Cipete Raya. Asal tahu saja, sebelum Tuku, jenama yang melakukan hal serupa adalah perusahaan-perusahaan kakap sekelas BCA, BNI, Mandiri, Astra, Mastercard, hingga Grab dan Indomaret.
Di tengah membanjirnya kedai-kedai kopi di Indonesia, bagaimana Tuku bisa menjadi salah satu yang paling diminati? Apa strategi dan formula jitu yang dipakai Tuku hingga sebesar sekarang? Dan apa pula tujuan Tuku setelah 10 tahun bertetangga?
Kepada detikcom, Tyo menceritakan mula-mula tebersitnya keinginan jalin kerja sama dengan perusahaan transportasi itu, sampai kisahnya membawa Tuku merangkak naik hingga punya cabang di Belanda dan Korea Selatan saat ini. Berikut petikan wawancara lengkapnya.
Tuku, kopi lokal fenomenal yang baru saja beli hak penamaan Stasiun MRT. Cerita dong, kenapa sampai beli nama itu, dan sejak kapan sebenarnya proses pembelian hak penamaan Stasiun MRT itu?
Dimulai karena ini adalah tahun 2025, yang merupakan tahun ke sepuluhnya toko Kopi Tuku. It's a celebration, internal celebration.
Aku sebagai warga Cipete juga looking forward bisa merubah dengan kehadiran MRT. Jadi ada mimpi-mimpi, bayangan terhadap melihat ada coffee shop di MRT Station, kayak di luar negeri. So, it starts from there, back then. Kita cuma bisa lucu-lucuan saja, berkhayal. Even tidak cuma aku, beberapa brand dari Cipete pun kita juga mencoba kayak begitu soalnya. Keren kali ya kalau kita bisa begini, bisa begitu. Tetapi bukan masalah penamaannya, masih di MRT-nya. Bagaimana kita utilize MRT lebih.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya kita tahu ada naming rights tersebut.
Jadi, memang enak kalau kita benar-benar menjadikan MRT Cipete Raya Tuku ini it's not only about marketing, maybe as a naming rights, tapi lebih karena sebuah simbol baik bahwa sebuah proses pasti butuh waktu, dan akhirnya one of MRT Cipete Raya Tuku ini menjadi bukti bahwa proses itu butuh waktu.
Menabungnya. Tetapi sebenarnya kemarin pas kita tidak kayak, 'Oh ya sudah, pokoknya kita kapan bisa langsung (beli naming rights), ya.' Tidak segitunya juga sih, tapi pada saat kita bahas itu, malah momennya kayak coba yuk cek, possible tidak ya kita? Lalu, kita do pros and cons, dan akhirnya ulang tahun ke-10 nih bagus momennya. Padahal mungkin kalau dibilang kondisi makro 2025 mungkin kita harusnya lebih berhati-hati gitu.
Kita utamakannya adalah perayaan ulang tahun kita, meskipun ulang tahunnya masih Juni besok. Tetapi, yang kedua itu tadi, kita percaya namanya simbol baik itu bisa memberikan positivity di tengah ketidakjelasan yang ada. Tetapi ya kita mencoba melakukan apa yang menurut kami baik. Alhamdulillah, betul ternyata, begitu banyak yang dari energi positif yang diberikan kepada kami.
At that moment, aku pribadi kalau ditanya orang, aku maunya begini-begini saja, karena yang aku nikmatin adalah engagement-nya memang. It's not about jadi kopi paling enak, tapi the way kita explore kualitas kopi Indonesia itu bisa sampai mana, yang katanya kopi itu hanya peminumnya cowok saja, kopi itu mahal, dan sebagainya.
Ternyata, pas jadi barista, ngobrol sama tetangga Tuku, banyak eksplorasi bikin Kopi Susu Tetangga. Kemudian banyak cerita-cerita seru di toko, dan itu ternyata kasih kita tingkat kenyamanan tersendiri, yang akhirnya aku bilang kayak, tidak usahlah, begini-begini saja kayaknya sudah lebih asik.
Menjadi chain kayaknya akan ribet. Tetapi, along the way ternyata kalau kita melihatnya lebih luas, helicopter view, kita zoom out, ternyata banyak peran-peran yang harus kita, sebagai stakeholder, isi untuk punya dampak lebih besar dan industri yang lebih sustain. So, ya sudah, aku memberanikan diri untuk membuang idealismeku terhadap stand alone store yang aku ingin, jadi aku tidak apa-apa jadi chain, tapi what kind of coffee chain yang akan aku bentuk merepresentasikan komersilnya kopi Indonesia.
Setahun kemudian aku bukanya di Ruci's Joint, waktu itu di Blok S, itu adalah istilahnya sebuah komunal. Tetapi kita tidak lama rencananya, karena di area itu terlalu prime buat kami. Seru banget di sana, cuma akhirnya kami geser sedikit ke Pasar Santa.
Beda, sih. Kalau dulu, 'kan kita memang dari cuma satu, berpikir menambah dua, menambah tiga. Testing the water, kalau marketnya di area lain, suka apa tidak, dan sebagainya. Terus mulai dapat opportunity-opportunity. Begitu kita kerja sama-sama BP Gas Station, ternyata itu semakin terasa bahwa brand ini (Tuku) sudah mulai dilirik, sudah mulai dilihat. Terus ternyata kita bisa mengubah yang tadinya gas station yang tidak banyak habit untuk ngopi, tapi jadinya bisa sekarang.
Akhirnya, kayak gitu-gitu yang menjadi trigger kita buat mencari apalagi brand yang harus diambil. Sampai kita collab dengan Disney misalnya kemarin, terakhir juga sama Uniqlo, terus bikin mobil bareng Toyota, lipstick juga sama BLP. Jadi, kita percaya bahwa kita punya hashtag Tuku Tiap Hari, karena orang ngopi tiap harinya. Tetapi, seiring berjalan waktu, ternyata perasaan Tuku Tiap Hari itu tidak hanya karena ngopi, karena itu sudah terjadi pas aku biasa jaga toko. Aku misalnya ada tamu datang, aku tanya, 'Mbak, ngapain ke sini? 'Kan mbak lagi hamil, tidak minum kopi.' 'Tidak apa-apa, aku pengin ke sini saja, pengin merasa comfort ketemu orang-orang."
Itu ternyata terus bergulir sampai sekarang, sehingga misalnya kita mengeluarkan produk non-coffee pun, non-F&B pun ternyata banyak belief yang baik, impact baik juga. Jadi, aku kayak merasa "nagih" saja, sih, kita di tim Tuku buat do something bigger together.
I'm not sure aku punya formula atau tidak, tapi the way framework aku berpikir, pilihan aku cuma dua, berpikir purpose yang sangat jauh, atau berpikir yang sangat kecil, yaitu the customer experience. Jadi, pilih saja.
Itu situasinya tergantung, let's say pas aku bikin Tuku, aku ngomong purpose dulu. Tetapi pas ngomong purpose, buat mendapatkan cara product market kita bisa dapat, ternyata aku harus mikirin hal detail. Experiencing coffee bukan harus yang paling enak, paling mahal, tapi the way we serve, terus dikasih di toko yang seperti apa, barista service yang seperti apa, dan akhirnya jadilah Tuku.
Tetapi yang jelas, setiap aku create something, bikin apapun itu, mau bikin toko, mau bikin produk baju nanti, I think artinya antara dua itu. Kenapa orang harus beli ini? Kenapa Tuku ini harus lebih besar lagi dan sebagainya? Itu framework yang pasti aku pakai as pribadi, namanya sebagai Tuku, pada prinsipnya kami ingin jadi mood booster sebenarnya.
Engagement, sih, memang. Misalnya dari produk saja, orang dari minum saja, dulu affordable luxurious. Jadi, kayak merasa mau merayakan, hari ini sudah achieve target kerjaan, sudah selesai, aku mau minum Tuku. Atau kebalikannya, aku butuh boosting diriku karena misalnya habis kena marah di kantor, aku perlu minum Tuku.
Affordable luxurious. Jadi, bukan masalah luxurious, tapi feel luxurious tidak harus sama sesuatu yang mahal. Tapi kita merasa grateful dengan apapun yang ada, yang kita bisa punya. Ya sudah begitu, kayaknya itu adalah hal yang paling mengubah mood mereka, jadi feels like affordable luxurious.
Banyak, mas. Aku kemarin mondar-mandir di Jogja, Malang, Surabaya. Top 1, top 3-nya aku tidak paham, tetapi yang sudah pasti kita tahu, harga sewa sudah pasti. Kalau aku pribadi, sering melihatnya product market fit-nya tidak 'ketemu'. Teman-teman kadang saking cintanya, saking ingin bantunya ke petani kopi Indonesia, menguliknya mengulik teknis tapi ternyata how to wrap the product, how to communicate the product ke market-nya tidak pas. Jadinya tidak "ketemu". Atau, nanti yang sudah ketemu produknya, market-nya sudah jadi, tapi pas scaling up ternyata salah pilih partner, salah cara melakukan scaling, salah mengolah pendanaan, dan sebagainya.
Tidak. Sendiri semuanya, tidak memilih partner, pendanaannya pakai punya sendiri, jadi kita pakai konteks alon-alon asal kelakon.
Aku mengerti sih ada pembahasan ke arah situ, tapi sebagai penggiat kopinya, sebagai pelaku industrinya, aku menghindari topik tersebut karena tidak semuanya tahu fakta aslinya. Aku mengerti kita lebih gampang melihat 'kayaknya gini, kayaknya gitu.' Tetapi, di konteks Indonesia yang kita lagi ingin bangun, kita perlu kompak, kita perlu banyak hal-hal positif.
Sepertinya, kita mending focusing on tadi, bagaimana banyak pelaku usahanya yang sangat idealis as a project. Nah, itu tadi udah bagus, karena dia udah into ke sana, tapi biasanya konteksnya tentang dia. Kalau itu kita tambahin dan ubah, colek dikit konteksnya, menjadi tentang customer-nya, tentang captive market yang ada, maka mungkin passion itu, idealisme tersebut bisa di-translate. Supaya itu bisa relevan ke target market-nya, bukan tentang apa yang aku ingin buat.
Pasti tidak menjamin, karena banyak juga yang besar dengan modal seadanya. Dengan modal seadanya, kita jadi ada efek kepepet, kita jadi lebih mindful terhadap cara kita menggunakan uang. Tetapi yang (modal) besar juga, starting point setiap orang itu berbeda-beda. So, kadang ada yang bilang, enak punya kafe-nya besar karena lu punya lokasi di situ, atau karena punya partner-nya siapa. Percayalah, kalau kita dikasih kesempatan itu, privilege itu belum tentu hasilnya akan sama. Karena itu kembali tentang bagaimana kita mengeksekusi, mengatur, dan mengembangkan.
Jadi, aku sih tidak berani bilang, misalnya tadi ada yang bilang cuci uang, itu mungkin karena partner orang besar. Kasihan, orang besar juga punya proses buat dia menjadi orang besar. Begitu dia berkolaborasi dengan teman-teman lain, terlihatnya jadi seperti cuci uang. Terlalu jump on conclusion juga sih buat aku.
Kalau kata buku-buku di toko buku, banyak ya, tentang exploring. Tapi aku setuju pada bagian: kalau tidak ngerti pembukuan, tidak usah bikin bisnis. Karena aku tidak bisa menerima kalimat bahwa, "Karena gue bukan orang keuangan, gue tidak mengerti kondisi keuangan bisnis." Mendingan jangan, karena banyak yang bilang begitu.
Yes, aku tidak bisa bilang banyak, tapi beberapa lah. Karena semuanya kebanyakan seru dengan passion-nya itu sendiri. Tapi when it comes to investment, risk-nya seperti apa, kurang detail atau lupa mencatat dan sebagainya. Itu aku rasa yang paling mendasar, karena kemarin di aku pribadi, idealisku juga banyak. Aku juga berangkat dari specialty coffee, sangat artisan. Aku punya certain product yang ingin aku jual, punya certain machine yang ingin aku pakai demi mencapai yang aku inginkan.
Ada begitunya, pasti. Tapi tadi budget-ku terbatas, skill-ku terbatas, purpose-ku juga berbeda nampaknya. So, aku harus bikin orang yang tidak minum jadi minum, yang jarang jadi sering, jadi semua orang harus berani masuk. So, aku tidak boleh intimidatif tempatnya, ya sudah tuh.
Biasanya orang kopi itu pengin mesin kopinya yang ini, aku juga spesifik, aku mau yang itu. Tetapi aku tahu konsekuensinya, kalau aku mau mesin itu, aku harus jualan sekian cup sehari. Mungkin kalau aku pakai mesin yang tidak aku pengin, mungkin aku cuma cukup jualan 50 cup, 70 cup, sudah balik modal sehari untuk operating day harian. Tetapi karena aku beli mesin itu, harus 300 cup sehari, jadi itu numbers, itu kan pembukuan, keuangan itu 'kan kasih guidance, kasih navigasi kita.
Yang kedua, konsumen sih buat aku, relevansi. Semua hal banyak yang bisa benar, tapi yang benar pun bisa jadi salah di konteks berjualan, berdagang. Karena masalah tepat atau tidak, dibutuhkan atau tidak, menguntungkan atau tidak. Jadi, mau bilang makanan ini paling enak dibuat oleh chef terbaik pun, dikasih ke orang yang salah bisa jadi tidak enak. Sudah dikasih ke orang yang benar pun, orang yang bilang enak, tapi ternyata cost-nya tidak masuk, bisnisnya jadi tidak sehat. Sudah cost-nya masuk pun, tetapi tidak dilakukan dengan sistem yang baik, akhirnya tidak konsisten dan bisnisnya juga goyang.
Aku percaya bahwa fundamental itu cukup penting. Menjawab kebutuhan market dulu, itu satu hal. Yang kedua, berpikir scaling itu dari awal, masalah bertahapnya kecil tidak apa-apa. Tetapi berpikir mau sebesar apa, itu nampaknya harus cukup clear di awal. Supaya kita step by step-nya, karena nanti sudah sambil jalan. Sambil jalan biasanya sambil beberes, tapi sambil 'mobil'-nya jalan kan susah, mungkin kira-kira begitu analoginya.
Kalau dulu ada sebuah rasa yang dianggap wajar, dianggap comfort. Tetapi, kalau until now masih begitu, I believe itu berarti hasil kerja keras the whole timku. Karena cara bertumbuh orang, bisa aja Tuku mau bikin seratus, mau bikin seribu, kayaknya semuanya ada caranya masing-masing. Namun kami tetap memilih sampai di detik ini, kita tidak sampai 60 cabang saja belum, total 59 cabang.
Kita memilih dengan seperti ini, kita memilih punya tim yang ada seperti sekarang ini, culture-nya kita pilih seperti itu, dan secara tidak langsung pasti membentuk sebuah sistem, sebuah standarisasi yang akhirnya tetap untuk mencari produk yang tetap relevan, mencari how to communicate yang tidak intimidatif, tapi juga clear misalnya. Terus melakukan banyak engagement bersama komunitas dan sebagainya, untuk mencari what's next yang bisa kita lakukan bareng. Alhamdulillah, karena kami diberkahi untuk bisa tumbuh perlahan, jadinya kami punya waktu lebih untuk melakukan engagement-engagement tersebut.
Tidak, semuanya pilihan. Buru-buru kejar numbers-nya tidak apa-apa, karena nanti ada kondisi sebuah persaingan yang memang itu cepat-cepatan. Memang itu tidak akan sustain, tidak akan lama, ada kan ada business model yang seperti itu juga. Namun, at least pada saat kita memilih, itu tetap harus dalam kondisi ya tadi, kalau mau cepat berarti konsekuensinya timnya harus bagaimana. Misalnya sekarang, kalau mau cepat berarti memimpin tidak bisa aku, mungkin perlu orang lain yang bisa seperti itu, dan men-treat timnya dari peraturan akan berbeda.
Tapi memang momentumnya tepat banget sih, jadi wajar kalau beberapa brand yang lain pun tumbuh secara eksponensial. Even the investors yang juga yang nge-backup itu semua kan berusaha supaya, momentum ini jadinya harus diambil. Tetapi, perasaan kami bisa bertumbuh seperti ini, kami memastikan bahwa apa yang mau kita kejar itu long last. Ternyata, meskipun kami tidak cepat-cepatan di ekspansi, tapi kami memberanikan diri di naming rights, itu sama-sama bold move yang dilakukan dari setiap brand.
Sejauh ini kita masih sendiri, kalaupun ada funding dari luar itu pun sifatnya sementara, bukan VC (venture capital), bukan equity.
Insyaallah, kalau ngobrol-ngobrol pasti banyak teman-teman yang kita ajak explore, tapi ternyata beda momen beda kebutuhannya. At this moment, kita belum menggunakan VC, tapi kita tidak menutup itu.
Every year kita pasti akan menanyakan itu, karena kami akan bertanya, it's not about aku sebagai founder mau kemana lagi, tapi lebih ke arah Indonesia butuh Tuku buat tugas apa yang harus diambil. Makanya, tahun ini kita mencoba eksplorasi lebih banyak di Pulau Jawa, kita eksplorasi di negara-negara lain. Kita lagi mau cari masalah lain gitu, yang harus diselesaikan, mencari sebab baru untuk bertumbuh, mencari hal besar untuk kita kejar bareng-bareng. Not as company saja, tapi juga yang one day itu bisa jadi kebanggaan Indonesia juga.
Lima (tahun) sih ada, cuma it's very numbers I think, itu tidak terdefinisikan secara besaran mimpinya, tapi kalau cuma kisaran-kisaran sih kita ada.
At this moment kita sempat sudah consider IPO, namun by situasional sekarang ini, kita tetap memilih untuk tidak dulu pada akhirnya. Bukan mundur, mungkin berhenti. Kita sudah menjalani sebuah proses, tapi kita berhenti dulu. Karena kita melihat begitu banyak situasi di lapangan yang masih harus dirapikan. Kita percaya kalau untuk IPO, nampaknya itu pergerakannya sudah harus sangat-sangat cepat dan harus lebih settle. That's why kita kita stop dulu, karena ternyata PR di hulu dan di hilir masih banyak sekali.
Di hulu, let's say kita untuk menjaga kualitas, kita perlu pohon kopi dengan kualitas yang sama. Perlu pohon kopi dengan produktivitas yang sama, cukup besar supaya bisa meng-cater pertumbuhan kami dan juga pertumbuhan coffee shop lain. Kami perlu membenahi banyak hal, even di hilir kita juga harus mengurangi sampah, mungkin kita harus melihat konteks ESG kita lebih baik lagi.
Tidak punya (kebun kopi). Kita punya teman yang sudah berkoordinasi langsung, biasanya kita akan bilang spec-nya kita butuh seperti ini. Misalnya, kemarin kita main ke Gayo, kita main ke Garut, itu semuanya sudah ada teman-teman kita. Namun, kita tidak punya kebun sendiri sih.
Aku tidak hafal. Mungkin 15 juta lebih sehari, sepertinya. Atau mungkin secara tonase, kita menghabiskan 50 ton biji kopi per bulannya.
Menurut aku cukup seru, karena itu menjadi sebuah penetrasi baru. Mengenalkan orang lebih banyak lagi tentang potensi kopi Indonesia, meningkatkan habit-nya lebih baik lagi. Namun aku percaya bahwa yang dicari orang lebih dari sekadar kopinya. Yang dicari orang ada part seperti engagement tadi. Kualitas rasa yang mau dikejar, bukan sekadar manis. Jadi aku justru menganggap pergerakan kopi keliling ini bagus, seru banget.
Tetapi nampaknya, kita seluruh pemain kopi dan juga para konsumen juga perlu menaikkan levelnya lagi. Karena ini kan bukan cuma sekedar kita beli karena kopi keliling. Tapi cerita apa yang dibawa, cita rasa apa yang kita coba present, kemudian flavor kopi apa yang akan kita kejar sebenarnya. Tidak cuma brand-nya jadi makin banyak, tapi semakin banyak brand yang muncul, semakin banyak jenis kopi yang tereksplor. Semakin banyak agrikultur kita yang juga terpakai. Jadi, kopi keliling atau sepedaan itu 'kan sebenarnya sebuah channel. Aku berharap ini malah tidak membuat industri kopi kita berhenti, karena semakin banyak pergerakan-pergerakan seru.
Bisa aja nanti sepeda keliling makin besar, atau berubah lagi formatnya ke channel-channel yang lain. Tapi yang jelas, apapun itu, aku cuma berharap banyak pelaku industri, terutama putra-putri daerah, di setiap daerah, bisa mengeksplorasi budidaya, sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Dikemas sedemikian rupa dengan budaya yang ada, sehingga setiap kita main ke daerah, itu akan punya cerita kopi yang berbeda-beda, dengan kudapan yang berbeda, dengan musik yang berbeda, dengan interior yang berbeda gitu.
Karena secara teori, orang sudah bermain persaingan-persaingan sempurna akan cost leadership, murah-murahan (harga jual). Habis ini, orang akan bersaing secara diferensiasi. Nah, aku pikir itu saatnya UMKM di Indonesia harusnya lebih mudah melihatnya. Karena banyak sekali raw material yang bisa diolah, dan juga budaya yang bisa dimainkan. Tinggal soal bagaimana kita mengemas dan mencari relevansi untuk mendapatkan product market fit-nya.
Sepertinya itu bagian dari cara kita bertumbuh. Pada saat itu sudah ada, kita tidak tahu orang itu sukanya karena apa. Habis ini orang tetap akan sepedaan (kopi keliling), atau mengubah sepedanya menjadi lebih nyaman. Tetapi yang jelas, ayo fokus pada apa yang sudah baik, apa yang bisa dihasilkan rather than sebuah masalah yang mungkin nanti akan muncul. Yang jelas, selama kita peminumnya dan pelaku usahanya cukup mindful dan memikirkan orientasinya tidak cuma profit, pertamanya boleh soal profit, tapi beyond dari itu memikirkan dampak. Aku pikir kita juga tidak perlu membahas ini akan ke mana, karena kita lebih baik fokus pada apa yang akan terjadi.
Yang paling sederhana, kalau kopi ternyata kopi punya kafein yang membuat kita jadi lebih semangat, biarkanlah itu jadi kesempatan anak muda seru-seruan membuat sesuatu hal yang berdampak baik buat negara. Itu biasanya diobrolin di sebuah warung kopi.
Rancangan jangka panjangnya juga belum clear banget. Aku justru butuh banyak support Tetangga Tuku lagi, aku berterima kasih kepada Tetangga Tuku karena sampai 10 tahun di sini aku punya banyak berbagai mimpi, keseruan karena menjawab harapan-harapan dari Tetangga Tuku semua.
Aku percaya apa yang aku alami, aku dapat, dan aku jalani bersama tim ini tidak mudah dan adalah sebuah privilege. Jadi, kami mau menggunakan ini sebaik-baiknya, makanya menyentuh dan support industri kopi lokal Indonesia. Kita cari cara terus bukan hanya sebagai brand, tapi juga sebagai holding kopi yang kita juga punya beragam eksplor kopi dan gula aren kita.
Jadi, kita berharap itu bisa menyuplai dan mendukung industri kopi lokal. Kita roasting sendiri, gula arennya juga sendiri. Akhirnya, kita juga menyiapkan diri buat ke global. Ini bukan soal kita mau jadi yang terbaik, tapi yang jelas kita ingin memberikan warna baru untuk global. Tuku minimal ingin menjadi one of the biggest global coffee chain yang have our own natural resources. Karena kita punya natural resources yang bisa buat jadi coffee chain yang berbeda, yang menunjukkan keseruan Indonesia tanpa harus bicara "This is Indonesia's brand", tapi apa yang kita punya itu mungkin tidak bisa ditiru sama tempat lain.
Semoga itu salah satu alasan dan cara buat kita menunjukkan seberapa yakin dan bangganya kita sama Indonesia.
Kalau spill sebenarnya teman-teman sudah banyak yang tahu, karena kita sudah ada pop up (gerai) di Belanda dan Korea Selatan. Tapi untuk sekarang kita masih dalam tahap bertetangga baik dulu, kenalan, cari kesempatan baiknya. Semoga itu bisa kita kejar dan realisasikan segera.
Regional kita akan tetap jalan. Tapi kita percaya global harus segera dimulai, aku percaya kalau kita udah mulai, kalau nanti jatuh bisa kita buru-buru benerin. Karena waktu terus berjalan, momentum bisa saja hilang. Yang jelas saat ini, aku yakin kopi Indonesia bisa memberikan warna lebih seru lagi buat Industri kopi di global.