TRIBUNNEWS.COM - Sejauh ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sebanyak sembilan tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produksi kilang PT Pertamina Patra Niaga.
Dalam kasus ini, mereka melakukan pengoplosan minyak mentah RON 92 alias Pertamax dengan minyak yang kualitasnya lebih rendah.
Kasus tersebut terjadi di lingkup PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023 lalu.
Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp193,7 triliun.
Terbaru, ada dua tersangka yang ditetapkan Kejagung, yakni Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations.
Maya dan Edward terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama dengan tujuh tersangka yang sebelumnya sudah lebih dulu ditetapkan.
Berikut daftar lengkap sembilan tersangka:
Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar menjelaskan bahwa RS bersama SDS dan AP memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum.
Sementara itu, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, RS kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (Ron 92).
Namun, sebenarnya, hanya membeli Pertalite (Ron 90) atau lebih rendah. Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92.
Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan.
Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.
Dalam hal ini, negara mengeluarkan fee sebesar 13 hingga 15 persen secara melawan hukum, sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi."
"Sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN."
"Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari berbagai komponen," demikian keterangan Qohar, dilansir Kejagung.go.id, Senin (24/2/2025).
Sementara itu, peran dua tersangka baru yakni Maya dan Edward, dijelaskan oleh Qohar, mereka melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah dengan harga RON 92 dengan persetujuan Direktur Utama atau Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan.
“Kemudian tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending (mencampur) produk kilang pada jenis RON 88 (Premium) dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92,” jelas Qohar, Rabu (26/2/2025), dilansir Kompas.com.
Pembelian tersebut menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas barang.
“Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga,” jelasnya.
Selain itu, Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang dengan menggunakan metode spot atau penunjukan langsung berdasarkan harga saat itu.
Perbuatan tersebut membuat PT Pertamina Patra Niaga membayar impor kilang dengan harga yang tinggi ke mitra usaha.
Padahal, pembayaran seharusnya dilakukan dengan metode term atau pemilihan langsung dengan waktu berjangka supaya diperoleh harga yang wajar.
Tak hanya itu saja, Qohar juga menjelaskan bahwa Maya dan Edward mengetahui dan memberikan persetujuan terhadap mark up dalam kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Keterlibatan Maya dan Edward dalam mark up itu menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee 13–15 persen secara melawan hukum.
“Fee tersebut diberikan kepada tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka Dimas Werhaspati (DW/tersangka) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” jelas Qohar.
(Rifqah) (Kompas.com)