TRIBUNSOLO.COM, LOMBOK BARAT - Inilah kisah Aan, seorang pria asal Solo, yang memilih mencari uang sebagai manusia silver di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Demi mencari uang untuk makan sehari-hari, Aan saban hari berpindah dari satu SPBU ke SPBU lainnya.
Dirinya mengharapkan uang dari para pengunjung yang melintas.
Dengan penampilan yang lusuh, Aan mengenakan baju dan celana yang tampak kumuh.
Dia mengecat kulitnya dengan warna perak dari kaki hingga wajah, menandakan harapannya untuk mendapatkan uang receh.
Di tangannya, ia memeluk erat sebuah kotak kardus berisi uang receh yang diberikan oleh pengunjung SPBU di Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat.
Awalnya, Aan berniat datang ke Lombok sebagai sopir truk.
Namun, dirinya malah kehilangan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Bali, yang memupuskan harapannya untuk bekerja di Bumi Gogo Rancah.
Dalam dua hari tanpa pekerjaan dan makanan, serta istri dan tiga anaknya yang menunggu kiriman uang di kota asal, Aan terpaksa mencari alternatif lain.
"Dua hari tidak ada buat makan. Jadi teman mengarahkan, daripada nganggur mending nyilver saja," ungkap Aan sambil duduk mengistirahatkan kakinya yang lelah berdiri.
Tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya, Aan terpaksa menyembunyikan profesinya sebagai manusia silver.
Meski demikian, ia bersyukur bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya dengan mengirim setengah dari pendapatannya setiap malam pukul 21.00 Wita.
"Kadang Rp 70.000 (pendapatan), kadang kalau ramai Rp 100.000 lebih," jelasnya.
Dari pendapatan tersebut, Aan harus menyisihkan uang untuk membeli cat atau pilok yang digunakannya untuk mengecat kulitnya menjadi silver.
Ia memperkirakan, setiap hari ia mengeluarkan biaya sekitar Rp 20.000 hingga Rp 35.000 untuk keperluan tersebut.
"Itu sekali pakai dari modal pendapatan hari kemarin," katanya sambil tersenyum tipis.
Saat ditanya mengenai perasaan terhadap profesinya, Aan mengaku merasa malu.
Ia merasa pekerjaan itu bertolak belakang dengan harapannya, namun keadaan memaksanya untuk melakukannya.
Mencari pekerjaan di daerah yang baru ia huni bukanlah hal yang mudah, sementara keluarganya membutuhkan nafkah.
"Kalau bilang enaknya, ya kayak begini. Tidak ada enaknya sebenarnya. Tapi disyukuri aja, yang penting bisa makan dan ngirim," ungkap ayah tiga anak itu.
Meskipun demikian, Aan merasa bersyukur bisa melakukan pekerjaan ini di Lombok, yang menurutnya memiliki sosial yang baik dan aman.
Ia berharap, profesinya ini hanya bersifat sementara.
Dengan harapan dapat kembali berkumpul bersama keluarganya saat bulan puasa tiba, Aan berencana untuk mengumpulkan uang dan membuat SIM agar bisa kembali bekerja sebagai sopir.
(*)