TRIBUNJATIM.COM - Video pengantin lempar celana dalam, viral di media sosial.
Aksi ini dipercaya bisa menjadi ritual menghentikan hujan.
Lantas benarkan lempar celana dalam bisa menjadi cara menghentikan hujan di acara pernikahan?
Berikut penjelasan dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo,
.
Aksi pengantin lempar celana dalam ini salah satunya dibagikan oleh akun Instagram @_thinksmart*** pada Rabu (19/2/2025).
Dalam video viral tersebut memperlihatkan sebuah keluarga yang sedang menyelenggarakan hajatan pernikahan.
Di tengah hujan yang mengguyur deras, pengantin perempuan diarahkan untuk melepas celana dalam dan melemparkannya ke genteng.
Dalam video dinarasikan bahwa tak sampai 5 menit setelah celana dalam dilempar ke atap, hujan mereda.
"Akhirnya, ternyata terang benderang wes, ndak hujan," terang perekam video tersebut.
Dalam video tersebut juga dibubuhkan caption yang menerangkan ritual tersebut dipercaya oleh sebagian orang yang mengadakan hajatan seperti pernikahan hingga khitanan untuk menolak hujan.
Saat dimintai tanggapan, dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, beranggapan ritual tersebut merupakan bagian dari tradisi yang berkembang di masyarakat.
Fenomena itu, menurutnya, sebagai sebuah tradisi atau tindakan yang berdasarkan pengalaman masa lampau dalam bentuk relasi atau komunikasi dengan alam dan para penguasa alam.
"Ada berbagai cara yang secara tradisi itu memang diturunkan, diberikan kepada anak-anaknya dari orang-orang yang hebat. Misalnya yang terkait dengan mengubah hujan atau juga menyangkut terkait ekonomi (pesugihan)," terang Drajat kepada Kompas.com, Jumat (21/2/2025).
Menurutnya, dalam konteks fenomena pawang hujan, celana dalam di sini berperan sebagai sejenis mantra atau atribut untuk menangkal hujan.
Dalam kasus lain, ada juga masyarakat yang menggunakan cabai, bawang merah, hingga sapu lidi yang dibalik.
"Nah itu mereka percaya bahwa ini adalah peralatan-peralatan yang bisa dipakai semacam antena untuk menghubungkan dengan kekuatan-kekuatan lain pengendali alam. Kalau secara modern kan sekarang dengan cara tabur garam menggunakan pesawat atau modifikasi cuaca," imbuh Drajat.
Menurut dia, dalam melakukan tradisi itu, masyarakat bisa saja mendapatkan apa yang diharapkan maupun tidak.
Orang-orang yang masih melakukan tradisi lempar celana dalam ke atap kemungkinan di masa lalu secara kebetulan selalu menyaksikan keberhasilan, yakni hujan berhenti.
Ia melihat, ada juga kelompok masyarakat yang kini sudah tidak mempercayai ritual semacam itu.
Sebab, kini sudah muncul juga komparasi yang bisa diterima secara rasional untuk memodifikasi cuaca, termasuk adanya teknologi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
"Sehingga tradisi pawang hujan entah itu menggunakan celana dalam, tabung resonansi, dan atribut lainnya sudah dianggap sebagai tindakan yang tak bisa dimengerti atau irrasional," jelas Drajat.
Menurut dia, terjadinya perdebatan soal fenomena pawang hujan lumrah jika menimbulkan perdebatan.
Ia memandang, perdebatan ini disebabkan oleh ada sebuah gap pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu.
"Gap pengetahuan tidak sekedar jenjang tinggi rendah tapi ini soal kategorial pengetahuan A dan pengetahuan B," imbuhnya.
Di satu sisi, orang-orang yang masih mempercayai atau melakukan tradisi pawang hujan mendasarkan diri pada pengetahuan teologis.
Di sisi lain, mereka yang tidak menerima tradisi pawang hujan mendasarkan diri pada pengetahuan positif yang mengedepankan sebab-akibat.
"Tradisi pawang hujan kan mereka memanipulasi cuaca iklim dengan mantra-mantra. Beberapa hal memang tidak bisa dipahami karena memang basis habitus pengetahuannya berbeda," terangnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Guswanto, menyebut kebiasaan melempar celana sebagai upaya menangkal hujan merupakan kearifan lokal.
Menurutnya, tradisi tersebut sudah cukup lama terdengar dan dilakukan khususnya oleh masyarakat suku Jawa.
"Biasanya, tradisi itu dilakukan saat hari pernikahan," jelas Guswanto.
Ia pun mengaku telah mendengar ada beberapa kearifan lokal lain yang telah dilakukan masyarakat dalam menangkal hujan.
Itu termasuk, membalikkan sapu lidi, melempar pacul, sapu dan sabit ke luar rumah, tidak mandi saat menyelenggarakan acara, menancapkan bawang merah, bawang putih dan cabe, dan sebagainya.
Guswanto menegaskan, tindakan itu tentu sangat berbeda dengan modifikasi cuaca yang dilakukan oleh BMKG.
Modifikasi cuaca adalah tindakan memanipulasi atau mengubah cuaca secara sengaja.
"Bentuk modifikasi cuaca yang paling umum adalah penyemaian awan, yang meningkatkan curah hujan, biasanya untuk tujuan meningkatkan pasokan air setempat atau mengurangi intensitas hujan tidak ekstrem sehingga tidak menyebabkan bencana hidrometeorologi," papar Guswanto
Pada prinsipnya, lanjut Guswanto, teknologi modifikasi cuaca yang dilakukan BMKG berbasis sains dan teknologi.
Salah satu metode paling umum digunakan BMKG adalah cloud seeding atau penyemaian awan, dimana bahan kimia tertentu seperti perak iodida atau natrium klorida (garam) disebarkan ke dalam awan.
"Harapannya mempercepat proses pembentukan hujan melalui pemberian inti kondensasi dari bahan semai yang digunakan," bebernya.