Laporan Kontributor TribunJabar.id Sumedang, Kiki Andriana
TRIBUNJABAR.ID, SUMEDANG - Tak ada yang terucap dari lisan Rosadi (33), Ozo (45) kakaknya, dan Nana (73) ayahnyam sebelum berangkat menjual bambu kecuali kalimat bismillahirrahmanirrahim, dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Bagi mereka, bismillah adalah aji wiwitan, jampi yang utama. Aji wiwitan juga kepanjangan dari "awi", bahasa Sunda untuk bambu, hasil alam yang mereka jual selama puluhan tahun dengan menempuh puluhan kilometer dengan berjalan kaki.
Minggu (26/1/2025), sekitar pukul 22.00, dari tempat tinggal mereka di Kampung Sumber Sari RT02/05, Desa Cipta Sari, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, mereka mulai mendorong bambu.
Masing-masing membawa satu gerobak bambu.
Gerobak bambu yang dimaksud adalah dua buah roda mobil yang telah dimodifikasi agar menjadi tumpuan bambu itu. Susunan bambu sengaja dibuat berat ke belakang, ketika akan dilajukan, bambu diangkat bagian belakangnya lalu didorong. Posisi ini juga sekaligus menjadi "rem" ketika menghadapi jalan menurun.
Di bagian tengah dekat dengan roda, disimpan sebuah obor dengan nyala yang wajar.
Bambu-bambu itu akan dibawa ke Rancaekek, Kabupaten Bandung. Sekitar 20 kilometer rute yang ditempuh dari Pamulihan ke Rancaekek via Jatinangor (dengan perhitungan jarak jalur kereta buatan SS atau Staatsspoorwegen yang menghubungkan Tanjungsari-Rancaekek membentang sepanjang 11 kilometer).
Di Rancaekek, bambu akan dijajakan di pinggir jalan, di depan Masjid Agung (Kaum) Rancaekek.
Minggu tengah malam itu, ketika TribunJabar.id mendapati serumpun keluarga ini, mereka baru sampai di sekitar Tungturunan, Desa Gudang, Tanjungsari, sedang beristirahat dari lelah berjalan dan cuaca yang gerimis.
"Bambu dijual ke Rancaekek, dijual ke konsumen saja, belum ada yang pesan. Dijua ke daerah Rancaekek dan sekitarnya," kata Rosadi, membuka pembicaraan.
Rosadi adalah ayah dua anak, dia telah menjual bambu selama 17 tahun. Kakanya Ozo sudah 30 tahun berjualan bambu, ayahnya Nana lebih lama lagi, 50 tahun jualan bambu.
Bambu dibeli dari pemilik kebun bambu di kampung mereka. Dibersihkan ranting-rantingnya, lalu dirapikan untuk dijual. Satu batang bambu dijual Rp25 ribu. Mereka memilih menjualnya langsung ke konsumen, untuk menjual ke toko material bangunan mereka berpikir ulang sebab harga jualnya akan sangat murah.
Bambu yang mereka jual biasanya diperuntukkan sebagai bambu perancah (steger, esteger) dalam dunia kontruksi. Bisa juga sebagai tiang antena TV, tiang pengeras suara, dan keperluan lainnya.
"Tidak setiap malam (berjualan), dua hari sekali atau seminggu dua kali, tidak tentu. Ya selalu bertiga kalau berangkat. Saya bawa 21 batang bambu," kata Rosadi.
Jika berangkat pukul 22.00 dari Pamulihan, sejam lebih kemudian mereka akan tiba di Tanjungsari untuk beristirahat sejenak. Mereka akan melanjutkan perjalanan dan beristirahat untuk terakhir kalinya di Jatinangor. Konvoi bambu ini akan tiba di Rancaekek biasanya pukul 04.00 subuh.
"Beli di orang, di kebun orang. Kalau ada rejekinya, alhamdulillah habis kalau tidak namanya juga jualan. Kalau tidak habis disimpan di depan kaum saja, tidak pernah ada yang mencuri," katanya.
Jalanan Menanjak, Berkelok, Menurun
Jalan yang ditempuh dari Pamulihan ke Rancakek via Jatinangor adalah jalan yang tidak enteng. Bukan jalan datar seperti di area pesisir, melainkan jalan menanjak, berkelok, dan menurun khas pegunungan.
Berjalan kaki sekitar 20 kilometer tanpa beban saja tentu melelahkan, ini dengan beban super berat yang mereka dorong di sepanjang rute itu, pastilah perjalanan bukan sembarangan orang bisa melakukannya.
Padahal, mobil pikap atau truk sudah banyak di zaman sekarang, tetapi mereka masih memilih berjalan kaki.
"Sudah bagiannya begini, bukan tidak banyak mobil, sudah terbiasa didorong ini. Ya untuk dipajang juga bambu di sana (dengan gerobak itu, bambu menjadi estetis untuk dijajakan)," kata Rosadi.
Rombongan konvoi bambu ini akan pulang pada siang harinya, atau sore harinya seusai berjualan. Namun, kadang pulang menjadi tidak tentu waktunya sesuai dengan habis-tidaknya bambu terjual.
Ajaib, keluarga ini bertahan puluhan tahun menempuh puluhan kilometer. Di kampungnya di Ciptasari, hanya keluarga ini yang bertahan sebagai penjual bambu dengan cara "ekstrem" ini.
"Di kampung saya, sekarang tidak ada lagi, tinggal keluarga saya saja, bertiga. Bambu dari Pamulihan. (Kalau jalan pegal?) Tetap saja pegal, tapi ya mencari nafkah untuk anak dan istri,"
"Anak sekarang (ada yang) SMP kelas 1," katanya seraya menyebut kalau bambunya habis segerobak, keuntungannya sekitar Rp150-200 ribu.
Di piggir Rosadi, duduk Ozo. Ozo tidak banyak bicara, dia konsentrasi penuh menikmati tembakaunya. Waktu ditanya berapa jumlah bambu yang dibawa, dia menjawab 21 batang, sama dengan isi gerobak lainnya.
"Saya sudah 30 tahun berjalan kaki jualan bambu, tapi sekarang ini dalam seminggu dua kali jualan saja. Di jalan tidak pernah ada yang malak. Aman saja," kata Ozo.
Jika tidak jualan, Ozo tidak melakukan pekerjaan lain. Dia tidak memilih profesi lain, karena merasa telah terbiasa dengan berjualan bambu dan merasa cukup dengan hasilnya.
Kadang-kadang istrinya mengomel soal penghasilannya, tetapi dia tidak gusar dengan omelan itu, sebab dia sadar bahwa mengomel bagian dari karakter perempuan yang menjadi istrinya itu.
"Alhamdullilah cukup untuk menghidupi keluarga. Ya namanya juga bibir perempuan, sering dijawab ya da kumaha kieu darmana, rejekinya begini, yang besar tidak ada yang penting halal," kata ayah anak satu ini.
Nana, yang paling senior di antara ketiga penjual bambu ini lebih sunyi lagi. Dia hanya tersenyum waktu ditanya apakah dengan umur 73 tahun dirinya masih kuat?
"Masih," katanya. (*)