Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Eko Cahyanto buka suara soal program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang berlanjut tapi harganya naik. Perubahan harga sebelumnya disampaikan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
Dalam perencanaannya, akan ada dua skema berbeda yang menentukan besaran HGBT. HGBT untuk penggunaan bahan baku ditetapkan sekitar US$ 6,5 per MMBTU, sementara untuk kebutuhan energi menjadi US$ 7 per MMBTU.
Adapun kebijakan HGBT sebesar US$ 6 per MMBTU telah berakhir tahun 2024. Namun menurut Eko, tidak semua industri penerima HGBT menerima harga US$ 6 per MMBTU.
"Pada kenyataannya memang tidak seluruhnya mendapatkan US$ 6 per MMBTU, ada yang lebih. Ini bergantung kepada skema pasokan dan sumber dari pasokannya. Ada yang lebih tinggi dari US$ 6," ujarnya di Kantor Kementerian Perindustrian, Jumat (24/1/2025).
Namun lewat kebijakan baru HGBT yang sedang disusun, industri akan mendapatkan kepastian berkaitan dengan harga. "Tapi dengan kebijakan yang baru ini, ini akan lebih memberikan kepastian bagi industri dalam menerima harga gasnya," imbuhnya.
Sebagai informasi, tujuh sektor industri penerima manfaat HGBT, antara lain pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Menurut Eko, Kemenperin terus mendorong penerima manfaat HGBT diperluas ke sektor lainnya.
Eko menambahkan, saat ini industri membayar harga gas dengan harga komersil. Hal itu berimbas pada meningkatnya biaya produksi.
"Di awal tahun ini memang ketika HGBT belum diputuskan untuk masing-masing perusahaan, perusahaan industri memang harus menanggung biaya produksi lebih tinggi karena harga gasnya yang disalurkan kepada industri cukup tinggi," tuturnya.
Eko menilai program gas murah untuk industri turut berkontribusi untuk mendatangkan investasi. Secara jangka panjang, gas murah industri juga akan mendongkrak penerimaan bagi negara.
Ia juga menyinggung soal benefit pemberlakuan HGBT yang ditetapkan lebih dari satu tahun. Meskipun tetap perlu ada evaluasi yang dilakukan setiap setahun sekali. Adapun hal itu juga memerlukan revisi Perpres Nomor 121 tahun 2020.
"Kami berharap keputusan atau kebijakan penetapan harga ini bisa lebih lama, periodenya dari yang sekarang satu tahun. Mengapa demikian? Karena dengan periode yang lebih panjang, ini akan memberikan kepastian bagi investor, kepastian bagi industri, dan bisa lebih mudah dari perencanaannya," tutupnya.