Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Tak hanya berwisata religi, berkunjung ke Makam Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen juga bisa melihat sisa peninggalan benda bersejarah.
Di sudut kompleks Makam Butuh, terdapat kotak kaca yang berisikan kayu tua, di luarnya terdapat keterangan bertuliskan Getek Bersejarah.
Ya, kayu tua itu bukan kayu sembarangan, yang mana kayu tersebut merupakan bagian dari getek atau rakit yang digunakan sebagai perahu oleh Raden Joko Tingkir bersama ketiga sahabatnya.
"Peninggalan yang dimuseumkan disini adalah sebagian dari kayu getek yang dulu dipakai oleh Raden Joko Tingkir waktu perjalanan di Sungai Bengawan Solo, bersama Mas Monco Nagoro, Mas Wilo Marto, dan Mas Wuragil," kata Juru Kunci Makam Butuh, Muhammad Aziz kepada TribunSolo.com.
Dalam keterangan tertulis, perahu getek itu digunakan untuk mengarungi Sungai Bengawan Solo dari kediaman Ki Ageng Kebo Kanigoro di Jatingarang, Weru, Sukoharjo menuju Butuh, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen.
Setelah menyusuri Sungai Bengawan Solo, Raden Joko Tingkir dan ketiga sahabatnya berlabuh di pinggir sungai yang lokasinya 100 meter dari Makam Butuh ke selatan.
Raden Joko Tingkir kemudian menuju rumah orang tuanya, yang saat ini menjadi Makam Butuh.
Persinggahan Raden Joko Tingkir tersebut, untuk memohon doa restu kepada orang tuanya, karena akan mengabdi ke Kerajaan Demak.
Bagian kayu getek tersebut diperkirakan usianya sudah 400 tahun, jika dihitung dari masa Kerajaan Pajang kisaran tahun 1546-1587.
Selain sisa getek Raden Joko Tingkir, juga ada peninggalan bersejarah lainnya yakni Masjid Butuh.
Lokasi Masjid Butuh berada tepat disamping kompleks Makam Butuh.
Menurut Aziz, masjid tersebut peninggalan Ki Ageng Butuh.
Didalamnya terdapat mimbar yang terbuat dari kayu, yang bertuliskan angka Arab 1852.
"Kondisinya belum seperti itu, itu yang memugar Raja Solo, kalau 1852 itu kalau tidak salah raja ke-6 atau ke-7," terangnya.
"Dulu masih dibawah permukaan jalan fondasinya, terus diangkat, ditingikan sampai seperti sekarang, pemugaran terakhir tahun 2005," sambungnya.
Menurutnya, bagian yang masih asli yakni mimbar, kayu penyangga, dan bedug.
"Luasnya ada penambahan sayap kanan, kiri, dan depan, itu desainnya mirip Masjid Solo, Jogja, cuma ini lebih kecil," terangnya.
"Masih aktif sampai sekarang, awal-awalnya kalau Jumatan keisni semua waktu saya masih kecil, yang dari seberang sungai juga kesini, karena dulu belum banyak masjid," pungkasnya.
(*)