Laporan Wartawan TribunMadura.com, Ahmad Faisol
TRIBUNMADURA.COM, BANGKALAN – Sejak usia remaja, dunia sepak bola memang sudah terpatri dalam diri Imam Syafii (58), warga Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Bangkalan.
Dari kecintaannya terhadap si kulit bundar itulah, mengantarkan dosen Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut meraih jabatan akademik tertinggi, yakni Guru Besar di bidang Kepelatihan Sepak Bola Usia Dini.
Sebagaimana umumnya bocah di pelosok desa, Prof Dr Imam Syafii, M Kes tumbuh dan berkembang di lingkungan yang masih banyak menyajikan hamparan lahan untuk sekedar bermain sepak bola kampung.
Bahkan di sisi kanan rumahnya, terdapat lapangan sepak bola di pinggir jalan kabupaten, lengkap dengan papan nama bertuliskan, ‘Lapangan Persejap (Persatuan Sepak Bola Jaddih Pasar)’.
Dari klub sepak bola kampung pada era tahun ‘80-90 an itulah, Prof Imam yang berposisi sebagai pemain gelandang mulai menapaki jalan menuju klub profesional Persebaya.
Namun karir sepak bola alumnus SDN 1 Jaddih dan SMPN 1 Socah itu hanya mentok di kompetisi internal Persebaya.
Setelah tamat dari SMAN 2 Bangkalan di tahun 1985, Prof Imam memilih lebih fokus kuliah di Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya.
Di tahun 1989, ia menyandang predikat lulusan terbaik dan memulai dunia kerjanya sebagai jurnalis surat kabar Harian Karya Dharma di tahun 1991 hingga 1994.
Namun karir Prof Imam sebagai wartawan berakhir setelah bapak dari empat orang anak itu memilih berkarir sebagai dosen di IKIP Surabaya.
“Saat itu saya seperti berada di tengah persimpangan, namun akhirnya saya lebh memilih sebagai dosen hingga sekarang,” ungkap anak pertama dari pasangan almarhum Abd Fatah dan Sumiati itu kepada Tribun Madura, Rabu (11/12/2024).
Sambil mengajar mata kuliah Pendidikan Kepelatihan Olahraga di Unesa, dosen muda Prof Imam juga menimba pengalaman berorganisasi di dunia sepak bola.
Di sela menjabat sebagai Sekretaris Pengda PSSI Provinsi Jawa Timur selama 5 periode, Pengurus PSSI Provinsi Nusa Tenggara Barat 1 periode dan Pengurus PSSI Pusat 1 periode.
Di sela kesibukannya berorganisasi, Prof Imam mampu menyelesaikan Program Magister atau di Universitas Airlangga Surabaya pada 1998-2000 serta Program Doktoral pada 2001-2007 di Unesa.
Ia kini menjabat sebagai Guru Besar Bidang Kepelatihan Sepak Bola Usia Dini di Unesa.
Gelar profesor diraih itu diraih berdasarkan Sertifikat Uji Kompetensi Jabatan Akademik Dosen bernomor : 04663/E4/DT.04.01/JAD/2024 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi tertanggal 14 November 2024.
“Gelar ini merupakan tanggung besar bagi saya, baik secara pribadi maupun sebagai dosen senior. Semua ini tidak lepas dari dukungan keluarga, kerabat, serta semua teman-teman di lingkungan di manapun saya berada,” tutur anak pertama dari 11 bersaudara itu.
Bagi Imam, meraih gelar profesor membutuhkan perjalanan panjang dan berliku.
Setelah menyelesaikan Program Doktor atau S3 di tahun 2007, ia wajib membuat jurnal ilmiah penelitian berkaitan dengan Kepelatihan Sepak Bola Usia Dini yang terpublikasi internasional terIndeks Scopus.
Prof Imam pergi ke beberapa negara untuk memperdalam ilmu kepelatihan dalam studi banding tentang pengelolaan pembinaan akademi usia dini.
Salah satunya ke Stanford University USA pada 2011.
Pengabdiannya terhadap sepak bola tidak sebatas itu, Imam juga pernah dipercaya oleh Real Madrid Foundation Spanyol untuk menjadi penanggung jawab utama atau Person in Charge (PIC) sekolah sepakbola di Sidoarjo.
Pada tahun 2013, Imam mendatangi markas klub sepakbola Inggris, Arsenal untuk mempelajari Arsenal Academy dan dilanjutkan ke Fandi Ahmad Academy di Singapura.
Ia pun kerap diundang sebagai keynote speaker di sejumlah otoritas sepakbola luar negeri, di antaranya di Thailand Chiang Mai Academy, Buntonom Academy, dan Anuzon Academy.
Saat ini pun, Imam masih aktif mendalami ilmu sepak bola modern melalui diskusi-diskusi dengan beberapa pelatih profesional dalam negeri seperti Jacksen F Tiago, Indra Sjafri, pelatih luar negeri asal Skotlandia sekaligus Direktur Teknik Youth Development Bhayangkara FC, Simon Alexander McMenemy, hingga berdiskusi terkait pembinaan usia dini dengan pemain profesional asal Argentina, Gustavo Lopez.
Pada tahun 2013, Prof Imam terpilih sebagai pendamping tim sepak bola Indonesia dalam program Indonesia Amerika Soccer Exchange di San Francisco Amerika Serikat.
Kembali ke tanah air, ia terus menekuni pembinaan sepak bola usia dini dengan mendirikan 4 akademi sepak bola.
“Pertama yang saya dirikan Indonesia Soccer Academy (ISA) di Sidoarjo, Mataram Soccer Academy (MSA) di Kota Mataram NTB, Bangkakan Soccer Academy (BSA) di Bangkalan dan Surabaya Soccer Academy (SSA) di Surabaya,” paparnya.
Hingga saat ini, banyak pemain sepak bola hasil binaannya yang bermain di klub besar seperti Persebaya, Persis Solo, Madura United, Bhayangkara FC, PSM Makassar dan Deltras Sidoarjo.
Seperti Alvin Sukron BSA, Moh Arif Rahman BSA, dan Firly Jauzi BSA di Madura United U-16.
Alvin Sukron yang merupakan warga Kelurahan Kraton, Kota Bangkalan pernah mewakili Jawa Timur dalam Seleksi Pemain Tim Nasional U-17 World Cup di tahun 2023.
Sementara di Borneo FC, bercokol nama Daffa Stefano dari BSA
Bahkan ada 11 pemain yang sudah berhasil menembus tim nasional seperti Marcelino Ferdinand, Hugo Samir, Brylian Aldama, Marcel Januar Putra, Arsa Ramadhan Ahmad, Januarius Toa Meka, Chrystna Bhagascara dan Imam Faudji.
Karena dedikasinya yang luar biasa terhadap pembinaan sepak bola usia dini, Prof Imam dinobatkan sebagai People of Year oleh Jawa Pos di tahun 2016.
Baru-baru ini, Prof Imam membawa 30 siswa BSA U-11 dan U-12 berlaga di turnamen berskala internasional bertajuk, ‘JSA International NFDP Master Open’ di Selangor, Malaysia pada awal Juni 2024.
Ia menyatakan, dibutuhkan pembangunan kultur sepak bola yang kokoh sejak dini, karena jika melihat pembinaan usia dini di negara-negara yang sepakbolanya maju, hasil akhir dari setiap kompetisi sepak bola usia dini tidak pernah dihitung.
“Dalam pembinaan, mereka mengesampingkan hasil dalam setiap turnamen. Tetapi di Indonesia beda, menang dan menang yang sangat membebani anak-anak."
"Akhirnya apa?, pencurian umur dan tindakan tidak fair lainnya tersaji, itu yang terus tertanam kepada siswa,” pungkas anak dari mantan Kepala Desa Jaddih itu.