-

Sebuah desa biasanya berkaitan dengan unsur segala yang tradisional dan penggunaan teknologi belum maksimal. Namun, berbeda dengan sebuah desa adat di Sukabumi yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi, tapi sanggup memanfaatkan teknologi untuk kehidupan sehari-hari.

Desa adat tersebut adalah Ciptagelar atau disebut juga wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Kampung adat ini terletak di Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, berada disisi Barat Gunung Halimun dengan ketinggian sekitar 1050 meter di atas permukaan laut.

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dihuni oleh sekitar 300 kepala keluarga. Di Ciptagelar, warganya masih menjalankan tradisi leluhur yang diwariskan sejak 6 abad silam.

Warganya yang disebut masyarakat Kasepuhan, memiliki tradisi yang turun temurun untuk menjaga kelestarian hutan, yang hidup berdampingan dengan manusia.

Hutan juga menjadi tempat bagi "Pusat Kasepuhan Adat Ciptagelar", tepatnya berada di pedalaman hutan yang termasuk wilayah kelola Perum Perhutani dan Taman Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).

\n

Kesadaran sebagai Manusia yang Jadi Bagian dari Alam Semesta

Dijelaskan dalam buku Budaya Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi Jawa Barat oleh Ayatullah Humaeni, dan kawan-kawan, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki kepercayaan dan pemikiran yang turun temurun. Hal ini terutama berkaitan dengan cara pandang kehidupan manusia dengan alam.

Bagi masyarakat adat Kasepuhan, manusia hanya merupakan bagian dari beberapa makluk yang mendiami alam jagad raya ini.

Ini artinya, masyarakat adat memiliki penghormatan bagi makhluk selain manusia, terutama bumi dan langit.

Pengormatan tersebut, yakni "Ibu Bumi, Bapak Langit" alam semesta atau seperti penghormatan terhadap Ibu dan Bapak. Bagi mereka, pandangan terhadap alam semesta harus selalu dihubungkan dengan diri manusia.

Konsep penghormatan ini, yaitu "Jagat Leutik, Jagat Gede - Jagat leutik sanubari, Jagat gede bumi langit."

Artinya, dunia kecil/mikrokosmos, dunia besar/ makrokosmos - dunia kecil kesadaran, dunia besar alam semesta.

Dalam hal ini, alam semesta dengan berbagai isinya harus dipandang sebagai makhluk. Ketika berinteraksi dengan manusia, maka bukan hanya manusia saja yang berhak menentukan nasib semua makhluk lainnya.

Kesadaran akan kepercayaan ini, diterjemahkan sebagai konsep hidup yang hati-hati terhadap alam, termasuk mengelola sumber daya alam harus berdasarkan hati sanubari.

Masyarakat Kasepuhan mewujudkan ini dengan prinsip pengelolaan terhadap bumi yang turun temurun. Salah satunya adalah sistem pertanian tradisional yang khas.

Tak seperti wilayah lain yang bisa menanam padi dengan konsep dan aturan sendiri, menanam padi bagi masyarakat Ciptagelar harus dijalankan sesuai petunjuk kasepuhan. Hal ini karena menanam padi harus sesuai tuturan (tuntunan).

"Dalam hal ini, masyarakat adat Ciptagelar meyakini bahwa kasepuhan mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menanam padi. Masyarakat adat Ciptagelar ini hanya menanam padi satu kali pertahun. Walaupun tidak dipaksakan, tetapi hampir seluruh masyarakat Ciptagelar menanam padi sesuai dengan adat tradisi leluhur mereka," tulis peneliti dalam buku yang terbit di Bantenologi tersebut.

Unsur Tradisi yang Hidup Bersama dengan Tekonologi

Salah satu tradisi yang diwujudkan turun temurun di Ciptagelar adalah pengelolaan dalam menjaga kelestarian hutan.

Masyarakat Kasepuhan memiliki keyakinan dengan leuweung tutupan yang diwujudkan dengan sebuah kepercayaan terhadap hutan larangan. Ini menjadi hal penting agar hutan tetap terjadi sebagai sumber air yang vital bagi masyarakat Kasepuhan.

Selain itu, mereka juga memiliki tradisi menanam pohon setiap awal tahun baru yang disebut melak tangkal tahun anyar. Tujuannya adalah untuk menjaga hutan, air, dan alam agar tetap lestari.

Tak hanya tradisi yang terjaga, masyarakat adat Ciptagelar juga memanfaatkan teknologi untuk kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini diketahui berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada tahun 2023, yakni Dimas Aji Saputra (filsafat), Berliana Intan Maharani (sosiologi), Ilham Pahlawi (antropologi), Gita Dewi Aprillia (psikologi), dan Masiroh (ilmu komunikasi).

Mereka yang tergabung dalam tim Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan penelitian mengenai tradisi kearifan lokal di Kasepuhan Ciptagelar yang menggunakan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di desanya.

Dalam penelitiannya, mahasiswa UGM mengungkapkan bahwa masyarakat Kasepuhan telah memanfaatkan energi terbarukan dengan aliran air sungai. Energi ini menghasilkan listrik yang bisa dipakai untuk kehidupan sehari-hari seperti televisi, jaringan internet, dan sebagainya.

"Yang menarik, di wilayah Kasepuhan Ciptagelar ini keperluan energi listrik dihasilkan lewat Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) yang memanfaatkan sumber energi terbarukan berupa aliran air sungai," kata peneliti, sebagaimana dikutip dari laman resmi UGM, Sabtu (8/12/2024).

Diketahui, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar bisa membangun desa mandiri energi dengan menggunakan ilmu pengetahuan lokal, kepercayaan, pandangan hidup, dan adat istiadat yang bersandar pada nilai dan norma warisan leluhur.

Jika biasanya energi listrik dari aliran sungai sangat bergantung dari sebuah alat atau generator penggerak, maka masyarakat Ciptagelar menjaganya dengan terus menjaga aliran sungai. Salah satunya dengan menjaga kelestarian hutan sebagai sumber air ke sungai.

"Mereka memanfaatkan sumber daya alam dan menyesuaikannya dengan aktivitas keseharian. Jadi, PLTMh justru belum tentu bisa berjalan hanya dengan generator penggerak. Ada aliran sungai dan hutan yang perlu dijaga," ungkap Masiroh, anggota tim mahasiswa UGM yang terlibat di lapangan.

Dengan pemanfaatan teknologi ini, masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar membuktikan bahwa mengikuti perkembangan zaman bukan berarti harus meninggalkan adat dan tradisi yang dititipkan oleh para leluhur.

Meski zaman terus berkembang, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih tetap menjaga filosofi hidup yang turun temurun. Mulai dari kehidupan yang menjaga hutan, ketahanan pangan yang dijaga melalui panen setahun sekali, hingga pemikiran hidup untuk selalu menghormati orang tua.



Baca Lebih Lanjut
Bey Ungkap 176 Desa Terdampak Pergerakan Tanah Sukabumi, 10 Orang Meninggal
Detik
Terdampak Bencana, Kemendikdasmen Sarankan Pembelajaran di Sukabumi dan Cianjur Secara Online
Dewi Agustina
Bencana Banjir dan Longsor di Sukabumi, Sudah 10 Orang Tewas Termasuk Polisi saat Membantu Warga
Ravianto
Viral 6 Mobil Terseret Banjir Bandang di Sukabumi
Detik
Jembatan di Sukabumi Ambles, Simpang Loji-Puncak Darma Terputus, Dinas BMPR: Segera Diperbaiki
Januar Pribadi Hamel
Diterjang Hujan Deras, 9 Wilayah Sukabumi Longsor dan 1 Korban Tewas Tertimbun
Sindonews
DMC Dompet Dhuafa dan Dompet Dhuafa Jabar Evakuasi Warga Terdampak Banjir Sukabumi
Sindonews
Ada 20 Kecamatan di Sukabumi Terdampak Banjir-Longsor
Detik
Banjir Bandang dan Tanah Longsor Terjang Sukabumi, Satu Orang Meninggal
Binti Mufarida
BAZNAS RI Dirikan Dapur Umum dan Dapur Air Bersih bagi Penyintas Banjir Sukabumi
Sindonews