SURYA.CO.ID - Aksi heroik seorang bidan menyelamatkan ibu melahirkan di perahu saat cuaca ekstrem, viral di media sosial.
Sosok bidan itu adalah Eni Susanti (37), bidan di Puskesmas Kampung Laut, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah.
Saat itu hujan deras dan petir menyambar daerah Cilacap.
Bidan Eni harus segera membawa seorang ibu yang hendak melahirkan menuju fasilitas kesehatan menggunakan perahu.
Namun, perahu tidak bisa melaju cepat karena terkendala cuaca ekstrem.
Akhirnya, ibu hamil itu terpaksa melahirkan di atas perahu. Tentu bukan perkara mudah karena fasilitas di dalam perahu yang tidak memadai.
Proses persalinannya bukan hal yang mudah karena dilakukan di tempat yang tidak semestinya.
“Meskipun ada partus set atau set pertolongan persalinan, proses pertolongan persalinan di perahu bukan hal yang mudah karena tidak dilakukan di tempat yang semestinya."
"Misal tempat yang sempit, kondisi ibu yang panik, cuaca yang yang dingin karena malam hari dan hujan."
"Kondisi kami pada saat itu basah karena hujan dan angin. Alhamdulillah kondisi ibu dan bayi sehat dan selamat untuk selanjutnya dilakukan pemantauan di fasilitas kesehatan,” ucap Eni, dikutip dari Kompas.com.
Perjuangan Bidan Eni
Selama bertugas di Puskesmas Kampung Laut, bidan Eni harus menempuh perjalanan yang cukup panjang.
Dari rumah di Kelurahan Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap menuju menuju Puskesmas Kampung Laut, bidan Eni harus menempuh perjalanan laut sekitar 1,5 jam dengan jarak tempuh 20 kilometer.
Eni harus menggunakan perahu untuk menuju puskesmas tempatnya bekerja.
Dari rumah, Eni berangkat jam 06.00 WIB lalu naik motor hingga ke Dermaga Sleko.
Setelah menitipkan kendaraannya di parkiran, ia lalu menggunakan perahu menuju puskesmas.
“Perahu yang kami gunakan adalah perahu inventaris yang hanya beroperasi pada hari Senin sampai Jumat,” kisah Eni lagi.
Jika ia piket di hari Sabtu dan Minggu, maka Eni terpaksa menggunakan perahu regular dengan biaya sendiri.
Namun, perahu itu tidak sampai Puskesmas Kampung Laut, hanya sampai Desa Ujung Alang, desa sebelah puskesmas itu.
Eni dan rekan-rekannya terpaksa harus mencarter perahu lagi untuk dapat sampai ke puskesmas, dengan lama perjalanan 30 menit. Biayanya kurang lebih Rp 72.000 sekali berangkat.
Eni kembali ke rumah sekira pukul 16.30 WIB.
Namun, jika terjadwal piket Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED), Eni harus menginap di puskesmas dan kambali ke rumah lagi besok sorenya.
“Dalam 1 pekan kami terjadwal 2 kali piket PONED."
"Lamanya jam kerja 1 kali piket kurang lebih selama 30 jam."
"Karena tidak bisa dibagi shift, jadi jam piket disesuaikan dengan jam kerja selama 2 hari, dengan pertimbangan sulitnya transportasi yang tidak ada sewaktu waktu, geografis yang sulit, dan jumlah tenaga yang tidak mencukupi,” ujarnya lagi.
Pengalaman membantu kelahiran di atas perahu bukan satu-satunya pengalaman tak terlupakan bagi Eni selama 15 tahun bertugas di Kampung Laut.
Pengalaman Evakuasi Pasien Pakai Sarung
Pada tahun 2014, misalnya, Eni pernah membantu evakuasi pasien yang ditandu menggunakan kain sarung.
Saat itu, kisah Eni, ada ibu hamil dengan tinggi badan 134 sentimeter yang enggan dirujuk ke rumah sakit dengan alasan jarak yang jauh dan kesulitan biaya.
Meskipun ia sudah berkoordinasi dengan kepala desa untuk membantu pembiayaan di rumah sakit, sang ibu dan keluarganya tetap bersikukuh mau melahirkan di rumah saja dengan dukun.
Saat masuk fase persalinan, kader memberi informasi pada Eni bahwa ibu hamil itu sudah mulas-mulas.
Eni pun berangkat dibantu juru malaria desa (JMD).
“Namun medan untuk sampai ke rumah pasien tersebut cukup sulit, tidak bisa ditempuh dengan motor, hanya bisa ditempuh dengan perahu, itu pun hanya bisa setengah jalan karena harus melewati semak-semak"
"Sehingga kami harus berjalan kaki dan bergelut dengan lumpur,” kenang Eni.
Benarlah, sampai di lokasi rumah pasien, ibu hamil itu sudah dalam kondisi kesakitan karena sudah bukaan 3 sentimeter.
Dengan kondisi yang berisiko, seperti tinggi badan ibu 134 cm, ada beberapa kemungkinan seperti panggul sempit, persalinan yang sulit dan lama, serta risiko lain, maka harus dilakukan rujukan ke RS. Akhirnya pasien dan keluarga setuju untuk dirujuk ke RS.
“Karena sudah tidak kuat jalan jauh, apalagi jalanan lumpur dan sudah merasakan kontraksi, akhirnya pasien ditandu dengan alat seadanya, menggunakan kain sarung, digotong oleh suaminya dan dibantu JMD, menuju ke tempat sandaran perahu kecil atau perahu jukung, untuk kemudian menuju ke dermaga menggunakan perahu yang lebih besar lagi dan dilakukan rujukan ke RS,” cerita Eni.
Tak menyangka
Eni telah mengabdi sebagai bidan di Puskesmas Kampung Laut, Kabupaten Cilacap sejak 2009.
Pengabdiannya bermula sejak ia lulus seleksi bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan ditempatkan di Kampung Laut.
Wilayah kerja yang dipisahkan oleh Segara Anakan membuat para tenaga kesehatan yang bertugas di sana memiliki kekuatan tersendiri dibandingkan tenaga kesehatan yang tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan lain di Kabupaten Cilacap.
Eni mengalami masa-masa di mana Kampung Laut belum memiliki akses listrik, tidak ada sinyal handphone sampai sekarang tersedia jaringan listrik.
Pada 2009-2016, Eni adalah bidan desa yang siaga di lokasi. Dia hanya pulang ke rumah seminggu atau 2 minggu sekali.
Tugas Eni di masyarakat antara lain melakukan pemeriksaan kehamilan, termasuk memantau kesehatan psikis ibu, pelayanan kesehatan bayi dan balita, pelayanan KB, konsultasi dan edukasi, kesehatan reproduksi , serta pelayanan kesehatan ibu dan anak lainnya.
Saat itu, persalinan masih dilakukan di rumah warga karena belum tersedia sarana dan prasarana yang memadai di puskesmas. Jika ada persalinan, Eni datang ke rumah warga, pertolongan persalinan dilakukan di rumah warga, menggunakan penerangan seadanya karena belum ada akses listrik.
“Bahkan persalinan dilakukan hanya dengan dua tangan karena kondisi geografis yang sulit untuk mencari bantuan sejawat bidan lain,” kata Eni lagi.
Selain fokus kesehatan ibu dan anak, Eni juga melakukan pelayanan umum, seperti mengobati pasien yang sakit.
“Karena pada saat itu tenaga kesehatan di Kampung Laut masih kurang dan kami adalah satu satunya tenaga kesehatan di desa, sehingga kami dituntut untuk bisa semuanya,” katanya.
Keluarga
Sebagai seorang istri dan seorang ibu, Eni mengaku kehilangan banyak waktu dan momen bersama keluarga.
“Namun saya harus bisa menjalani keduanya dalam waktu yang bersamaan walaupun jelas tidak bisa seimbang dan sempurna,” ujarnya.
Salah satu yang bisa dilakukan Eni agar peran keduanya tetap berjalan adalah dengan menjaga komunikasi yang baik dengan keluarga,
“Di sela sela pekerjaan, saya sempatkan waktu untuk berkomunikasi dengan chat, video call atau media sosial lain. Karena bagi saya sangat penting untuk mengetahui keadaan dan perkembangan keluarga, begitu juga sebaliknya mereka harus tahu kondisi saya ketika jauh di luar rumah,” ujar Eni yang sering meninggalkan buah hati karena harus bertugas.
Penghargaan
Pengabdian Eni diganjar penghargaan sebagai Tenaga Kesehatan Teladan Nasional tahun 2024 kategori Pengabdian Tanpa Batas.
"Dari penghargaan ini tentu saya juga mempunyai tanggung jawab untuk menjadi role model bagi tenaga kesehatan lain."
"Bahwa pengabdian, dedikasi dan semangat tinggi menjadi faktor penting dalam melayani masyarakat di bidang kesehatan agar masyarakat bisa merasakan dampak positif dari pelayanan yang kita berikan," ujar Eni yang mendapat hadiah studi banding ke Singapura.
Sementara di mata Kepala Puskesmas Kampung Laut, Oktaryan Eko Arrianto, Eni adalah sosok yang inspiratif dan menjadi acuan rekan-rekannya.
Tidak hanya di terampil bidang medis, Eni juga memiliki kemampuan lain di bidang non medis seperti misalnya mengendarai perahu.
"Mbak Eni juga bisa berprestasi ditempatkan di berbagai posisi dari mulai bidan desa sampai sekarang menjadi Pj UKM yang mengorganisir kegiatan puskesmas yang bersentuhan langsung dengan masyarakat."
"Eni juga terlihat dekat sekali dengan masyarakat, hal ini bisa dilihat saat beliau melakukan pelayanan di kepada ibu hamil," ujar Oktaryan.
===
Klik di sini untuk untuk bergabung