WARTAKOTALIVE.COM, KARAWANG - Siapa yang tidak mengenal Sate Maranggi, terutama milik Hj Yetty di Purwakarta, Jawa Barat?
Setiap kali pengunjung menikmati sate di tempat ini, mereka akan terpesona oleh ramainya pembeli dan delapan panggangan sate yang panjang, dipenuhi dengan sate siap dibakar.
Menurut Ahmad, salah satu karyawan, Sate Maranggi Hj Yetty bisa menghabiskan satu ton daging sapi dan kambing dalam sehari.
Jumlah ini meningkat drastis saat musim libur, mencapai 2 ton, atau lebih dari 50.000 tusuk sate pada hari-hari tertentu.
Dengan harga Rp 5.000 per tusuk, Sate Maranggi menjadi salah satu kuliner yang sangat diminati.
Sate maranggi tidak hanya terkenal di Purwakarta, tetapi juga banyak dijumpai di Kabupaten Karawang, terutama di wilayah Cilamaya Wetan.
Di sana, penjual sate menjajakan dagangannya di restoran, kios sederhana, hingga menggunakan gerobak panggul yang berkeliling.
Namun, di balik kesuksesan tersebut, ada tantangan yang dihadapi para pengrajin tusuk sate.
Dalam acara penyerahan mesin pembersih bambu di Kantor Desa Cilamaya pada Kamis (19/9/2024), diinisiasi oleh Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) dan PT Jawa Satu Power (JSP), harapan muncul bagi para pengrajin tusuk sate di wilayah ini.
Kepala Desa Cilamaya, Ali Hamidi, menyebutkan bahwa di desanya terdapat dua dusun, yakni Dusun Tanggul Pertamina dan Karanganyar, yang menjadi pusat pengrajin tusuk sate.
Aktivitas ini sudah ada sejak tahun 1970 dan dilakukan secara turun-temurun.
Namun, pendapatan mereka seringkali tidak menentu.
Alasannya karena pembuatan tusuk sate masih dilakukan secara konvensional.
Batang-batang bambu dipotong menggunakan gergaji untuk kemudian diserut dengan golok.
“Utamanya itu teknologinya, karena selama ini masih manual. Ditambah, pemasarannya juga masih perlu dibantu,” kata Ali.
Ali optimis jika kampung pengrajin tusuk sate mendapat perhatian lebih, mereka akan mampu bersaing dengan pengusaha tusuk sate modern, terutama dengan tingginya permintaan dari daerah yang terkenal dengan sate maranggi.
Sebab, kebutuhan tusuk sate maranggi sangat tinggi.
Apalagi daerahnya ini dikenal dengan sate maranggi, belum lagi wilayah tetangga yaitu Purwakarta.
Bukan tak mungkin, pengrajin tusuk sate Cilamaya bisa mensuplai kebutuhan tusuk sate di Sate Maranggi Hj Yetty Purwakarta.
"Warga saya mampu, cuman terbatas alat, modal, dan itu pemasarannya. Saya berharap adanya bantuan ini dapat meningkatkan pendapatan para pengrajin tusuk sate," katanya.
Kendala Produksi
Pengrajin tusuk sate, Kamilah (31) warga Dusun Karanganyar, Desa Cilamaya mengaku sejauh ini tusuk satenya hanya dijual di pasar dan pedagang sate maranggi deket tempat tinggalnya.
Bukan tak mampu memasarkan atau menjual lebih luas lagi. Tapi, banyak kendala dialami para pengrajin tusuk sate.
Mulai dari bahan baku, alat produksi hingga minimnya jaringan pemasarannya.
Awalnya, dia juga enggan menjadi pengrajin tusuk sate karena penghasilannya yang sangat minim.
Dirinya lebih memilih kerja di pabrik.
Akan tetapi, setelah menikah memutuskan menjadi pengrajin karena ingin meneruskan usaha orangtuanya maupun kakeknya yang lebih dulu menggeluti usaha tersebut.
Apalagi di dusun tempat tinggalnya itu hampir seluruhnya merupakan pengrajin tusuk sate.
Diperkiraan kampung atau dusun Karanganyar sejak tahun 1970 warganya sudah menjadi pengrajin tusuk sate.
Kamila sendiri membuat tusuk sate disela-sela tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
Dalam sehari, dirinya mampu mengolah satu bambu menjadi ratusan tusuk sate.
Satu bambu itu dapat menghasilkan 25 iket tusuk sate.
Satu ikatnya itu ada sekitar 200 tusuk sate. Sehingga total bisa membuat sekitar 4.800 tusuk sate setiap bambunya.
Dia melanjutkan, satu ikat tusuk sate dijual dengan harga Rp 3.000.
Total ada 25 ikat tusuk sate dari satu bambu, sehingga jika terjual semua mendapatkan uang sebesar Rp 75.000.
Jumlah itu masih pendapatan kotor, karena belum dipotong biaya membeli bambu seharga Rp 10-15 ribu dan biaya tambahan pemotongan bambu menjadi kecil-kecil seharga Rp 7.000.
Total modal itu Rp 17-22 ribu per bambu yang menjadi 25 ikat tusuk sate itu.
"25 ikat dikali Rp 3 ribu itu Rp 75 ribu, dipotong modal ya untung bersihnya kira-kira Rp 53 ribu tapi itu kan dua hari, satu hari proses produksi dan satu hari proses penjualan," kata dia.
Ingin Naik Kelas
Untuk itu, Kamila dan pengrajin tusuk sate lainnya di Cilamaya menaruh harapan besar setelah adanya bantuan berupa mesin pembersih bambu dari PUPUK dan PT JSP melalui program inovatif melalui Livelihood Restoration Project (LERES) baru-baru ini.
Kehadiran mesin itu diharapkan mendorong peningkatan pendapatan pengrajin tusuk sate secara signifikan.
"Ya mudah-mudahan ada mesin bisa jadi lebih cepat produksinya, karena sebelumnya pakai manual. Pakai kaki sama paha pada lecet juga," katanya.
Harapan para pengrajin tusuk sate dijawab Kepala Bidang Pemberdayaan UMKM Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Karawang, Agus Jalani.
Oleh karena itu, dirinya menegaskan pentingnya dukungan terhadap pengrajin tusuk sate.
Ia baru mengetahui tentang pusat pengrajin di Cilamaya dan berencana untuk melaporkan kepada pimpinan untuk memberikan bantuan.
Dia juga menilai kehadiran dan perhatian dari PUPUK dan PT Jawa Satu Power punya arti penting untuk kemajuan ekonomi lokal.
Dengan adanya insentif teknologi ini, para pengrajin tusuk sate tidak hanya terbantu dalam hal produktivitas, tetapi juga mendapatkan pelatihan terkait manajemen keuangan usaha yang akan memperkuat daya tahan mereka dalam jangka panjang.
"Program ini sangat tepat sasaran dan kami dari dinas koperasi siap mendukung keberlanjutannya,” kata Agus.
Agus juga menambahkan, Pemkab Karawang melalui Dinas Koperasi dan UKM bakal turut membantu pengrajin tusuk sate.
Bantuan itu berupa akses permodalan hingga pemasaran tusuk sate tersebut.
"Bahkan kita akan berupaya ini menjadi brand, ingat tusuk sate ingat cilamaya," katanya.
Pendampingan Usaha
Direktur Eksekutif PUPUK Bandung Bastian Annas Saputra, menjelaskan, lembaganya mendapatkan kepercayaan dari PT JSP dalam membantu pemberdayaan masyarakat.
Pihaknya berperan sebagai pendamping masyarakat, dalam hal ini pengrajin tusuk sate mulai dari proses hulu sampai ke hilir.
"Jadi kami pupuk berperan jadi pendamping pengrajin, dari proses hulu sampai hilir, kira-kira ada problem atau masalah apa," katanya.
Berdasarkan pemetaan, ada sejumlah kendala bagi pengrajin tusuk sate di Cilamaya. Mulai dari sulitnya bahan baku bambu, proses produksi hingga pemasarannya.
Terkait bahan baku, sudah dapat diselesaikan dengan menggandeng sejumlah petani bambu agar dapat mensuplai kepada pengrajin tusuk sate di Cilamaya.
Lalu, terkait produksi. Selama ini pengrajin tusuk sate di Cilamaya memproduksinya gunakan alat manual.
Selain prosesnya membutuhkan waktu yang panjang, hasilnya produksi kurang memuaskan.
Sehingga, pihaknya memberikan alat produksi.
Alat itu sangat sederhana, yakni menggunakan mesin pompa air sebagai penggeraknya. Kemudian, ada lingkungan paralon dan karet sebagai sarana memperhalus tusuk satenya.
"Maka itu ada bantuan alat modifikasi khusus dalam bantu proses pembuatan tusuk sate," katanya.
Humas PT Jawa Satu Power, Fadhil mengatakan teknologi pembersih bambu ini tidak hanya akan meningkatkan produktivitas para pengrajin, tetapi juga menekan biaya produksi, sehingga memberi dampak positif jangka panjang.
"Kami sangat mendukung program ini karena sejalan dengan visi perusahaan untuk turut berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah operasional PT Jawa Satu Power," ujar Fadhil.
Jadi, ketika gigit sate maranggi saat makan. Saya selalu ingat ada sebuah kehidupan dan harapan dari para pengrajin tusuk sate, khususnya di wilayah Cilamaya, Karawang. (MAZ)