Penggunaan banner #DESPERATE mengemuka usai Courtney Summer Myers memperkenalkannya di portal dan media sosial pencari kerja LinkedIn beberapa pekan lalu. Dengan badge merah muda, para penggunanya dapat lebih mudah terlihat oleh calon pemberi kerja di platform tersebut.
Salah satu yang mencobanya adalah Tania (21 tahun, bukan nama sebenarnya). Fresh graduate alumnus perguruan tinggi di Pulau Jawa ini ini coba memasang banner tersebut pekan lalu, lalu dicopot dalam dua hari.
Tania menuturkan, ia tak lagi memakai banner #DESPERATE karena mendapat respons beragam dari sesama alumni kampus, mantan dosen, dan koneksi di LinkedIn. Kebanyakan di antaranya memberikan dukungan dan mendoakan agar lekas mendapat kerja.
Di sisi lain, ia juga memperoleh pertanyaan yang membuatnya kewalahan hingga pesan bernada kasihan.
"Ditanya kenapa kok berani pasang #DESPERATE, soalnya katanya #OpenToWork bikin perusahaan nggak mau nawarin interview. Ya kupikir, demi dapat kerja kan, apa saja yang baik, kulakuin. Tapi banyak yang bilang katanya, katanya, gitu, jadi malas juga," ucapnya pada detikEdu.
Namun, di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut, muncul sejumlah respons tambahan yang diharapkan Tania, yaitu tawaran dan informasi lowongan kerja.
"Jadi pada chat, DM (direct message), kirim-kirim loker (lowongan kerja), 'Kamu mau nggak? Nih coba', gitu," ucapnya.
Tania menuturkan, dari pengalaman singkat tersebut, ia setidaknya kini sudah dikirimi 20 lowongan kerja dari teman-teman, mantan dosen, dan kakak angkatannya.
"Ada yang nawarin project juga, nggak kerja tetap, tapi lumayan banget," katanya.
"Kuambil (tawaran project-nya)," imbuhnya.
\nSementara itu, Pratama (24 tahun, bukan nama sebenarnya) memutuskan tidak memasang banner #DESPERATE hingga saat ini. Ia memilih untuk memantau tren tersebut dan dampaknya pada pencari kerja dalam 1-2 bulan ke depan.
Alumnus perguruan tinggi di Pulau Jawa ini sendiri mengaku memang tengah mencari pekerjaan baru. Ia sudah bekerja di perusahaannya kini selama hampir 2 tahun.
Menurut Pratama, ada rasa sungkan jika pihak human resources development (HRD) di kantornya tahu jika ia menggunakan banner tersebut. Di sisi lain, ia menilai portofolio masih tetap memainkan peran penting untuk diterima di lowongan kerja yang ia harapkan.
"Nggak apa-apa kalau nggak ter-notice kalau misalnya nggak pakai banner (#DESPERATE) itu. Kan nanti juga kalau emang butuh, HR kantor yang kita lamar kan bakal lihat betul-betul portofolio yang kita cari. User juga. Kan kalau ada portfol palsu gitu, pakai AI (artificial intelligence), bakal ketahuan sama dia," kata lulusan prodi desain komunikasi visual tersebut.
Tania mengakui kemungkinan Gen Z tidak mengantongi skill dunia kerja dan dunia industri sebanyak Millennials. Namun, ia berharap para pemberi kerja juga membuka lebih banyak lowongan dan mengutamakan fresh graduate.
"Soal skill bisa jadi belum perfect, tapi aku rasa Gen Z juga mau belajar, mau cepat bisa di tempat kerja. Millennials juga kan dulu pernah masuk dari awal ya, pernah belajar dari awal di tempat kerja, aku harap peluang yang sama sekarang lebih banyak terbuka, jadi nggak down ketika yang dicari 'pengalaman minimal 2 tahun'," ucapnya.
"Ya ada pengalaman (sepanjang) itu. Tapi magang gitu, beberapa kali. Sedangkan bersaing dengan Millennials atau yang bukan, tapi pengalamannya lebih panjang, lebih banyak, aku jujur kesulitan. Tapi ya emang lagi banyak PHK (pemutusan hubungan kerja) juga sih buat Millennials yang udah kerja, ya mau nggak mau kadang saingannya sama yang udah jago ya," imbuhnya.
Sedangkan Pratama berharap pemberi kerja tidak menggunakan kondisi ini dengan memberi upah seminimum mungkin.
"Karena pada desperate, dikasi UMR (upah minimum regional). Kalau seleksi diperketat sih sering, kayak batas umur gitu ya, syarat pengalaman yang susah-susah, haha," ucapnya.
Detikers ingin menyuarakan protes terkait kesulitan mencari kerja? Sampaikan keluhan, pendapat, harapan, dan keinginanmu di detikEdu, klik DI SINI.