TRIBUNMANADO.CO.ID - Bentara Budaya menggelar Pameran Kartun Komunikasih vs Komunikacau di Bentara Budaya Art Gallery di Lantai 8, Menara Kompas, Jakarta.
Pameran berlangsung mulai 26 September - 08 Oktober Oktober 2024 (akan ada masa perpanjangan pameran).
Kurasi ditangani dua orang kurator Bentara Budaya, Frans Sartono dan Hilmi Faiq.
Puluhan seniman undangan menampilkan karya yang mengulas fenomena komunikasi masa kini. Mereka menyoroti masalah komunikasi secara lebih kritis, penuh satir, juga humoris. Memaknai dan menerjemahkan judul pameran dengan berbagai gaya, berbagai cerita dan dari sudut yang berbeda.
Pada saat pembukaan pameran, Kamis, 26 September 2024, digelar juga Pentas Repertoar "Lakon Tragedi tentang Otak yang Bermigrasi".
𝙋𝙖𝙢𝙚𝙧𝙖𝙣 𝙎𝙚𝙣𝙞 𝙍𝙪𝙥𝙖
“Komunikasih vs Komunikacau”
26 September 2024-8 Oktober 2024
Seniman yang berpameran:
M. Nasir, Thomdean, Rahmat Riyadi, Moh. MICE Misrad, Risangdaru, Hardiman Radjab,Aries Tanjung, Yusuf Susilo Hartono, Ade Rastiadi, Ula Zuhra, Saskia Gita Sakanti, Rahardi Handining, Moh, Ïfoed”Saeffudin, Jan Praba, Hanung Nugroho, Gideon K.Federic, Ajeng Martia Saputri, Beng Rahadian, Gatot Eko
Kurator: Frans Xartono & Hilmi Faiq
Paradoks Komunikasi Kita
Paradoks. Istilah itu tepat menggambarkan dinamika komunikasi manusia belakangan ini. Ketika teknologi informasi menyediakan sarana komunikasi yang kian canggih, manusia justru kerap mengalami masalah dalam komunikasi.
Soal kecanggihan peralatan komunikasi, Revolusi Industri 4.0 telah menawarkan berbagai kemudahan yang menakjubkan bagi kehidupan manusia.
Untuk bercengkrama bersama keluarga, kita bisa gunakan pesan, panggilan suara, atau panggilan video. Media sosial menyediakan berbagai fitur untuk simpan data, foto, video dan berbagai dengan jaringan pertemanan secara global. Terkait Hobi, Platform “marketplace” mempermudah kita untuk belanja pernak-pernik minat yang sangat khusus.
Demikian canggih alat komunikasi terkini sehingga kita senantiasa dibanjiri beragam informasi dari berbagai arah. Semua berjalan selama 24 jam penuh. Komunikasi tidak hanya bersifat dua arah, tetapi banyak arah, interaktif, dan berlangsung serentak dalam satu momen yang melibatkan banyak orang.
Dulu, siaran langsung dimonopoli media penyiaran konvensional yang menguasai frekuensi tertentu. Sekarang, semua orang bisa membuat siaran langsung yang terkoneksi jaringan internet global.
Kemajuan teknologi informasi jelas memberikan banyak keuntungan bagi kita semua.
Namun, kemajuan teknologi informasi juga berpotensi mendatangkan berbagai masalah. Dalam ranah sosial, sebagian masyarakat menikmati media sosial untuk memenuhi hasrat pameran (narsistik) dalam bermacam bentuk.
Semua hal dalam dirinya diumbar ke publik, "flexing", bahkan termasuk mengumbar data pribadi. Namun, sebaran data pribadi itu justru memicu kejahatan siber.
Oleh para kriminal, data itu diolah untuk operasi kejahatan, seperti "hacking" (pembajakan), “doxing” (pembongkaran data pribadi), "phising" (penipuan), peretasan, "stalking" (penguntitan), atau "bullying"(perundungan).
Semakin tenggelam dalam kemudahan jaringan "online", sebagian masyarakat menjadi tergantung, bahkan ketagihan untuk terus berselancar di kanal-kanal dunia maya yang menggoda. Berasyik-masyuk dengan alat komunikasi canggih, mereka malah terputus atau kehilangan keterampilan untuk berkomunikasi tatap muka langsung.
Akibat lanjutannya, banyak orang yang tidak lagi berinteraksi langsung dengan orang-orang terdekat, kerabat, atau anggota keluarga.
Saat bersamaan, banjir informasi membuat sebagian masyarakat tak sempat untuk memeriksa kebenaran berita sehingga semua ditelan begitu saja.
Pada sisi lain, untuk mencapai kepentingan jangka pendek dan pragmatis, banyak oknum yang memanfaatkan kanal-kanal informasi untuk menyebarkan kabar bohong atau “hoax”. Kabar yang menyesatkan itu rentan dilahap oleh publik lantaran literasi digital kita masih rendah.
Wal hasil, dalam dukungan teknologi komunikasi yang kian canggih, kita justru mengalami banyak masalah dalam komunikasi. Kondisi ini terasa demikian ironis, apalagi dibandingkan dengan masa lalu.
Ketika peralatan komunikasi masih sederhana, masyarakat malah lebih lancar berkomunikasi lantaran lebih mengandalkan interaksi langsung yang lebih intim. Inilah paradoks yang patut kita sadari dan antisipasi sekarang ini. (*)