WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA--Kabar yang menyebutkan Bisphenol-A (BPA) menyebabkan diabetes, kolesterol tinggi, kanker, infertilitas dan penyakit lain, adalah mitos yang menyesatkan.
Hingga saat ini tidak ada satu kasus pun penyakit tersebut disebabkan oleh BPA.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. dr. Laurentius Aswin Pramono Sp.PD-KEMD dalam Diskusi Pakar Bersama Jurnalis Kesehatan: Forum Ngobras di Jakarta, Selasa (10/9/2024).
"Penyebab diabetes bukanlah BPA, melainkan penurunan produksi insulin akibat gaya hidup yang kurang baik, dan usia.
Demikian pula dengan kanker, infertilitas, obesitas, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya,” kata Aswin.
“Belum ada konsensus bahwa BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum ada sama sekali.
Belum ada bukti (penelitian ilmiah) pada manusia. Yang ada hanya penelitian di lab dengan hewan coba,” tandasnya.
Menurutnya, studi-studi terkait BPA belum konsisten dan belum cukup kuat. Ia melanjutkan, penelitian di Makassar menemukan, uji migrasi dari BPA pada kemasan pangan berkisar antara 0,0001 – 0,0009 mg/kg, jauh dari batasan BPOM 0,05 mg/kg.
“Selain itu, temuan yang dilakukan oleh peneliti ITB mengemukakan bahwa BPA tidak terdeteksi pada galon dari empat merk yang banyak dikonsumsi di Indonesia.
Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama Guru Besar Ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan, Teknologi Pangan IPB, Prof. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.T.P. DEA menjelaskan, BPA adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi.
BPA banyak ditemukan pada barang-barang di sekitar kita.
Tidak hanya pada kemasan pangan, melainkan juga pada barang-barang lain misalnya thermal paper yang digunakan pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.
“BPA diproses dengan bahan lain untuk menjadi polikarbonat. Kalau sudah jadi polikarbonat, dia menjadi material yang kuat.
Kandungan BPA-nya sudah hampir tidak ada lagi, dan yang tersisa pun tidak mudah luruh,” papar Prof Nugraha.
Lebih jauh Prof. Nugraha menjelaskan, sisa BPA yang ada pada kemasan polikarbonat atau epoksi baru dapat berpotensi bermigrasi hanya pada kondisi ekstrim.
“Polikarbonat itu sangat tahan panas; melting point-nya (titik leleh) 200 derajat Celcius.
Sebagai catatan, proses distribusi pun misalnya terkena panas dan sinar matahari selama perjalanan, tidak akan lebih dari 50 derajat. Jadi risiko migrasi sangat kecil,” imbuhnya.
Batas aman BPA
Di Indonesia, batas aman toleransi atau TDI BPA belum diatur, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan batas migrasi maksimum BPA 0,05 mg/kg.
Ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.
Sementara di Eropa, EMA (European Medicines Agency) dan BfR (Federal Institute for Risk Assessment - Jerman) misalnya, memiliki nilai referensi yang lebih tinggi, yaitu 50 mikrogram/kg berat badan per hari.
Adapun BfR menetapkan batas 0,2 mikrogram kg BB/hari.