TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Iftahurrahman alias Ifta seorang ibu tiri yang tega membunuh Nizam (6) kini rupanya sempat curhat kepada seorang dukun.
Bukannya lega, sang mamah muda berusia 24 tahun itu malah makin ketakutan setelah berbicara kepada seorang dukun yang ia percaya.
Seperti diketahui, jasad bocah SD tersebut ditemukan di dalam sebuah karung di belakang rumah ibu tiri dan ayah kandungnya yang berlokasi di Peristiwa mengerikan ini terjadi di Komplek Purnama Agung 7, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Usut punya usut rupanya korban tewas dihabisi ibu tirinya sendiri dengan cara keji.
Ibu kandung korban, Tiwi tak terima jika anak kandungnya dibunuh dengan cara keji oleh istri dari mantan suaminya.
"Saya enggak rela, saya menuntut seadil-adilnya. Saya sedih, yang tersisa di hati saya ini cuma rasa untuk membalas, berjuang untuk anak saya. Gimana caranya tersangka dapat vonis maksimal hingga dapat hukuman mati," imbuh Tiwi.
Tiwi pun menyerahkan bukti baru ke polisi agar pelaku mendapat hukuman berat.
Menurut Tiwi, pelaku sepat melakukan penggilan telepon kepada seorang dukun.
"Ada percakapan tersangka sama dukun. Jadi pada saat Nizam sudah kolaps seperti itu, dia (pelaku) menghubungi dukun. Jadi si tersangka menghubungi dukun untuk meminta saran kepada dukun itu bagaimana Nizam harusnya," kata dia saat diwawancara Denny Sumargo.
Menurutnya, diduga saat itu sang ibu tiri panik sehingga menghubungi seorang dukun.
"Pada saat Nizam itu sudah kayak gitu, dalam keadaan entah meninggal atau sudah tidak sadarkan diri. Dia (pelaku) panik, dia menghubungi dukun. Nah dukun itu pada saat dia (pelaku) menghubungi itu dia (dukun) merekam," kata Tiwi.
Namun, saa itu sang dukun melaah meminta tersangka Ifta untuk melapor ke polisi atau ke pengurus RT setempat.
"Saya ada rekamannya, jadi dia (pelaku) nanya 'gimana kalau misalnya Nizam kayak gini'. Si dukun sudah tahu 'wah kalau kayak gini namanya pembunuhan, silahkan kamu laporkan ke polisi atau RT untuk diproses lebih lanjut'. Tapi dia (pelaku) enggak mau," imbuh Tiwi.
Namun, mendengar kata polisi, membuat pelaku malah makin ketakutan hingga akhirnya mengakhiri pannggilan telepon dengan sang dukun.
"Kan (pelaku) ngasih tahu kronologinya, Nizam itu kenapa-napa. Dia (pelaku) ngurung Nizam di luar, Nizam enggak sadarkan diri. Dukunnya malah ngasih arahan 'kamu harus pergi ke kantor polisi atau RT setempat, itu sudah tidak bagus'.
Kepada Tiwi, IF mengaku memendam rasa cemburu karena suaminya, Ichn lebih sayang kepada korban Nizam dibandingkan kepada anaknya.
"Dia (tersangka) cemburu, kalau kasih sayang ayah Nizam itu lebih besar ke Ahmad Nizam dibandingkan dengan anaknya," kata Tiwi.
Menurutnya, pelaku dendam hingga dilampiaskan ke korban.
"Ada dendam terpendam yang dia lampiaskan ke anak saya," tambahnya.
Tiwi pun mengaku mendapat laporan dari guru sekolah anaknya, jika sang guru kerap melihat Nizam uka lebam di tubuhnya.
"Dari keterangan gurunya, dia sering kedapatan luka lebam. Tapi selama saya video call itu gak pernah dia mengadu begitu," katanya.
Menurut Tiwi, korban adalah anak yang penurut dan tidak nakal.
"Nizam itu sehari-hari anaknya baik, anaknya penurut, anaknya enggak nakal, itu karakter anak saya yang saya tahu," ujar Tiwi dilansir TribunnewsBogor.com dari video Instagram gosippontianak, Minggu (25/8/2024).
Kini, ia berharap aparat penegak hukum memberikan hukuman berat kepada pelaku.
Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Pol Raden Petit Wijaya mengatakan penganiayaan terjadi sejak Senin (19/8/2024) siang, saat korban baru pulang sekolah langsung dimarahin oleh ibu tirinya yakni IF.
Kemudian, korban Nizam dikurung di belakang rumah tanpa diberi makan semalaman dalam kondisi hujan.
Saat itu, ayah korban diketahui sedang bekerja di luar kota.
Keesokan harinya, korban berjalan sempoyongan lalu ia didorong oleh ibu tirinya hingga kepalanya terbentur lantai kamar mandi.
"Saat melihat korban berjalan dalam keadaan lemas dan sempoyongan, pelaku tidak sabar dan mendorong korban di depan kamar mandi, hingga korban terjatuh dan kepala korban terbentur ubin lantai kamar mandi," kata Kombes Pol Raden Petit Wijaya.