Uang panai, yang dalam bahasa lainnya biasa disebut panaik atau panai', sebagai salah satu komponen biaya pernikahan di Suku Bugis dan Makassar kerap menjadi sorotan. Apa itu uang panai?
Budayawan Bugis-Makassar dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Burhan Kadir M.A menegaskan uang panai berbeda dengan uang mahar. Kendati sama-sama diberikan oleh calon pengantin pria kepada calon istrinya, panai dan mahar memiliki kedudukan berbeda pada tradisi Suku Bugis-Makassar.
"Uang panai adalah uang untuk membiayai pernikahan atau resepsi yang diberikan pihak laki-laki untuk perempuan. Sedangkan mahar adalah pemberian berupa uang atau barang kepada pihak perempuan dan menjadi milik mutlak sang perempuan," kata Budayawan Bugis-Makassar dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Burhan Kadir M.A seperti dikutip dari detikSulsel.
"Bagi masyarakat Bugis-Makassar panai ini kedudukannya sangat penting, bahkan bisa dikatakan wajib ada ketimbang mahar," dia menegaskan.
Uang panai, lanjut Burhan, bukan hanya sebagai uang belanja untuk membiayai kebutuhan pernikahan di pihak perempuan, tetapi juga menyimpan makna yang dalam pada proses pernikahan di suku Bugis Makassar.
Uang panai itu melambangkan perjuangan, keuletan, dan kerja keras dari sang mempelai pria untuk meminang seorang wanita Bugis-Makassar.
"Dalam tradisi perkawinan Bugis-Makassar pihak laki-laki yang menanggung pesta pihak perempuan inilah kemudian yang berwujud uang panai. Ada keuletan, ada kerja keras hingga panai itu tercapai, dan tentunya di situ pula ada wajah keluarga pihak laki-laki dan wajah keluarga pihak perempuan," ujar Burhan.
Selain melambangkan keuletan dan kerja keras dari sang mempelai pria, uang panai menjadi "penjaga" nilai status sosial keluarga. Untuk itu, besarnya uang panai ditentukan oleh keluarga dari kedua belah pihak.
Sehingga nilai uang panai yang disepakati biasanya lahir dari mempertimbangkan status sosial keluarga mempelai wanita. Nilai uang panai tinggi biasanya diberikan kepada keluarga dengan status sosial tinggi. Seperti anak bangsawan, pejabat, orang kaya, ulama atau berpendidikan tinggi.
"Penentuan uang panai itu biasanya dari rembukan keluarga. Nilainya terkadang lahir dari status sosial mereka. Jumlah besar dari uang panai karena biasanya status sosial perempuan, apakah karena bangsawan, pejabat, orang kaya, atau memiliki pendidikan tinggi," kata dia.
Sejalan perkembangan zaman, makna uang panai atau panaik atau juga panai' dalam tradisi pernikahan Suku Bugis-Makassar mengalami pergeseran.
Uang panai bukan lagi sekadar lambang keuletan mempelai pria ataupun menjaga nilai status sosial dari mempelai wanita, tetapi kini besaran uang panai untuk menjaga gengsi meskipun status sosialnya bukan kalangan atas.
Saat ini masyarakat latah akan nilai fantastis dari uang panai.
Bahkan, tidak sedikit pihak perempuan ikut menutupi nominal panai demi menjaga gengsi. Sehingga, uang panai justru menjadi ajang patungan agar terlihat fantastis.
"Ada sekarang yang sangat jauh berubah, ada 'main mata' dari pihak perempuan dan pihak laki-laki dalam hal uang panai.
Masyarakat Bugis-Makassar kian latah menerapkan uang panai tinggi. Padahal nilai uang panaik yang tinggi seharusnya dilatarbelakangi oleh strata sosial yang tinggi pula.
"Nilai fantastis itu adalah menjaga nilai secara status sosial budaya mereka. Yang banyak terjadi sekarang ini banyak yang latah dengan nilai uang panai' tanpa melihat status sosial budaya mereka sebagai pihak perempuan," ujarnya.
"Kemudian serampangan memberi nominal uang panai hanya karena mau ikut-ikutan fantastis nilai uang panaiknya, akhirnya ya pernikahan berujung seperti transaksional bahkan hingga batal pada akhirnya," kata Burhan.