Fenomena 'joki Strava' menjadi perbincangan hangat di kalangan warganet dalam beberapa hari terakhir. Sesuai namanya, layanan ini memberikan jasa untuk menggantikan orang lain menjalankan aktivitas olahraga, tetapi tetap menggunakan akun Strava dari penyewa jasa.

Bagi yang belum familiar, Strava adalah aplikasi kebugaran sosial yang dapat melacak hasil olahraga, seperti aktivitas lari, bersepeda, dan hiking dengan memanfaatkan data GPS. Strava mencatat data aktivitas pengguna, yang kemudian dapat dibagikan kepada pengikut pengguna atau dibagikan secara publik.

Informasi rekaman aktivitas dapat mencakup ringkasan rute, ketinggian (bersih dan searah), kecepatan (rata-rata, minimum, maksimum), waktu (total dan waktu pergerakan), tenaga, dan detak jantung atau heart rate. Saat ini, Strava memiliki lebih dari 88 juta pengguna di hampir setiap negara di seluruh dunia.

Tren joki Strava sendiri menuai cukup banyak komentar dari para netizen dan pakar olahraga. Kebanyakan menilai para penyewa jasa joki Strava sebagai orang yang haus akan pengakuan sosial, hingga rela 'memalsukan' informasi kebugarannya.

Berikut fakta-fakta mengenai tren joki Strava yang dirangkum oleh detikcom.

1. Layanan dan Biaya Joki Strava

Layanan yang ditawarkan seorang joki Strava cukup beragam. Selain jarak tempuh, pengguna jasa joki Strava juga bisa meminta kebutuhan yang lebih spesifik, seperti pace dan elevation gain.

Salah satu penyedia jasa joki Strava, Niko, mengaku mematok harga yang berbeda-beda tergantung permintaan pace dan elevation gain dari klien.

"Kalau pace di bawah 5 kena biaya 6-7 ribu/kilometer. Kalau pace di atas 5 kena biaya 5 ribu/kilometer," kata Niko (21), seorang mahasiswa yang menawarkan 'open joki Strava' di media sosial, saat berbincang dengan detikcom.

"Ada juga joki elevasi gain di atas 1.000 meter bisa di 10 ribu/kilometer karena track-nya bisa di bukit atau bisa saja di gunung," lanjutnya.

Niko menambahkan biaya joki juga bisa berubah tergantung kondisi, seperti permintaan jarak tempuh tertentu dengan durasi waktu yang juga ditentukan.

2. Validasi atau Pengakuan Sosial

Fenomena joki Strava turut menarik perhatian pakar olahraga. Spesialis kedokteran olahraga dr Andi Kurniawan, SpKO, mengungkapkan munculnya jasa joki Strava tidak terlepas dari orang-orang yang haus akan validasi sosial.

"Pengin dapat validasi, itu ya satu. Juga, sekarang kan ramai virtual running. Daftar biar dapet kaos, medali tapi malas larinya," ucapnya kepada detikcom.

dr Andi mengatakan penggunaan Strava idealnya untuk mencatat data penting, seperti jarak tempuh, kecepatan atau pace, hingga detak jantung. Tapi jika datanya palsu karena menggunakan joki, justru yang rugi diri sendiri.

"Aplikasi Strava atau aplikasi kebugaran dipakai tujuannya menilai tubuh sendiri, kapasitas seseorang berlatih kemudian dinilai hasilnya, itu kan monitoring hasil latihan kita. Tapi kalau dijokiin, jadi meaningless, buat apa?" ucapnya.

Next: Sisi kejiwaan dan risiko menggunakan joki Strava

3. Sisi Kejiwaan

Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi mengungkapkan dorongan untuk menggunakan jasa joki Strava tidak hanya untuk mendapatkan pengakuan sosial saja.

"Jadi kalau dibilang haus validasi, sebenernya bisa juga sih. Tapi bisa juga ada faktor-faktor lain," ujarnya.

"Faktor kedua bisa juga konformitas, di mana dalam psikologi sosial sesuatu yang dilakukan oleh banyak orang maka bisa saja itu dianggap sebagai sesuatu yang normal dan wajar," ungkapnya.

Menurutnya, perilaku seperti biasanya diawali dengan rasa ingin tahu tentang sensasi dan kepuasan yang dirasakan oleh orang lain. Meskipun begitu, Anastasia mewanti-wanti dampak hidup dalam 'kepalsuan'.

"Efeknya kalau dibiarkan lama jika validasi itu terus menerus diberi makan, menurut saya akan kurang baik untuk dirinya sendiri. Berarti dia hidup juga dengan 'kepalsuan', jadi dia merasakan sensasi-sensasi yang palsu," katanya.

4. Risiko 'Membohongi Diri Sendiri'

Selain buruk secara kejiwaan, penggunaan joki Strava juga bisa menyebabkan risiko secara fisik. Misalnya, menyewa joki Strava untuk memalsukan rute lari.

dr Andi mengungkapkan lari memang olahraga yang tergolong ringan, tapi bukan tanpa risiko. Sudah banyak kasus pelari kolaps karena memaksakan diri.

"FOMO lari tapi nggak ngerti kualitasnya sendiri. Jadi pas lari, mereka cedera, exhausted, heat stroke, dan nggak sadarkan diri, itu ada kasusnya. Lari itu tujuannya sehat. Itu dulu," tutur dr Andi.

"Buat apa kita kelihatan fit sedangkan di datanya bukan dia sendiri. Sehingga tujuan aplikasi itu dibuat tidak berguna, ini sih yang disayangkan," imbuhnya.


Baca Lebih Lanjut
Tren Joki Strava Viral, Dianggap Gerus Nilai Sportivitas dalam Olahraga
Sindonews
Viral Joki Strava, Netizen Sebut Haus Pengakuan
Detik
Pace 'Menyala' tapi Pakai Joki Strava? Hati-hati, Ini Risiko Membohongi Diri Sendiri
Detik
Pengakuan Joki Strava, Terima Request Pace hingga Elevation Gain
Detik
Viral Joki Strava, Dokter: Malas Lari tapi Pengin Validasi
Detik
Soal Joki Strava, Psikolog Wanti-wanti Risiko Hidup dalam Kebohongan
Detik
Fenomena Joki Strava, Dokter Tirta Buka Jasa Lari dengan Bayaran Rp1 Juta per 1 Kilometer
Sindonews
Loker di Riau, Peluang Berkarir untuk Posisi Administrasi Umum Hingga Room Control di Forgold Utama
Ariestia
Pengalihan Penahanan Dikabulkan, Terdakwa Joki CPNS Ratna Tampil tanpa Rompi Tahanan
Reny Fitriani
360 Degree padukan gaya hidup sehat dan penampilan
Antaranews