Sumber informasi dari hasil riset luar negeri tidak selalu applicable untuk kondisi Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan kandungan nikotin yang terkandung pada perisa rokok elektronik yang ada di pasaran memiliki rata-rata kandungan yang lebih rendah dibandingkan dengan klaim jumlah nikotin pada label.
Dalam pengujiannya, sebanyak 60 sampel diambil dengan proporsi 53 sampel terbuka, tujuh sampel cair tertutup, dan satu sampel padat, dengan satu jenis rokok konvensional jenis Sigaret Putih Mesin (SPM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan SPM standar dari University of Kentucky, serta dilakukan di laboratorium independen terakreditasi Komite Akreditasi Nasional-International Laboratory Accreditation Cooperation (KAN-ILAC).
"Nikotin di dalam secara rata-rata lebih rendah hasil ujinya dibanding klaim pada label.
Ada yang mencapai hanya 50 persennya, bahkan lebih rendah," kata Peneliti Pusat Riset Teknologi Pengujian dan Standar BRIN Bambang Prasetya dalam acara Asia Pacific Harm Reduction Forum (APHRF) 2024 di Jakarta, Rabu.
Pihaknya juga menemukan sebanyak sembilan jenis toksikan yang terkandung pada sampel lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan rokok konvensional.
Selain itu pihaknya tidak menemukan kandungan karbonmonoksida (CO) serta kandungan sejumlah senyawa yang dinilai berbahaya seperti 1.3 butadiene, benzene, 4-(methylnitrosamino)-1-(3pyridyl)-1-butanone (NNK), N-nitrosonornicotine (NNN)yang berada di bawah Limit of Detection (LoD) pada semua sampel.
"Semua sampel vapemengandung benzo a pyrenerendah di bawah LoD.
Beberapa di bawahLimit of Quantification(LoQ) pada satu sampel tipe " paparnya.
Bambang juga menemukan sebanyak 16 dari 45 atau 35 persen sampel rokok elektronik dengan tipe mengandung formaldehydedi atas LoQ, dengan sampel bertipe salt-nicotine di atas LoQ, dan sampel bertipe di bawah LoQ.
Secara keseluruhan ia menyimpulkan terdapat perbedaan terhadap parameter yang disyaratkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan standar lain pada produk rokok konvensional, tembakau yang dipanaskan dan rokok elektronik.
Menurutnya, penelitian yang ada pada saat ini untuk produk turunan tembakau masih tidak proporsional dengan kondisi Indonesia, baik dari sisi produsen maupun konsumen.
"Sumber informasi dari hasil riset luar negeri tidak selalu untuk kondisi Indonesia," ucapnya.
Oleh karena itu Bambang menyarankan agar penelitian lebih lanjut terhadap produk turunan tembakau agar dilakukan, baik pengaruhnya untuk kesehatan maupun penciptaan standar baru, agar penentuan kebijakan yang terkait dengan produk turunan tembakau bisa tepat sasaran sehingga penggunaan produk turunan tembakau menjadi sesuai dengan yang diharapkan.