Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Pada hari ini Selasa 25 Juni 2024 telah terjadi bencana likuifaksi di Basaan Dua, Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Sulawesi Utara.
Bencana tersebut mengakibatkan belasan rumah warga terdampak.
Walhasil mereka pun mengungsi di rumah-rumah warga yang lokasinya aman dari likuifaksi.
Tidak hanya itu, pantauan tribunmanado.co.id di lokasi kejadian, bencana ini juga mengakibatkan akses jalan di desa Basaan rusak.
Tim dari Dinas ESDM Pemprov Sulut langsung melakukan pemantauan dan mengecek dampak dari bencana likuifaksi tersebut.
Kaban BPBD Mitra Sandra Kindangen saat dikonfirmasi mengatakan tim Geologi dari Dinas ESDM Sulut sudah melakukan pengecekan.
"Tadi tim dari TRC BPBD Mitra mendampingi langsung proses pengecekan di desa Basaan Dua," kata dia.
"Tim Geologi mengatakan bencana likuifaksi ini jarang terjadi. Selanjutnya mereka akan berkoordinasi dengan pak Gubernur terkait langkah-langkah yang akan diambil," tegas dia.
Sandra mengatakan tim dari Dinas ESDM Sulut juga akan membuat laporan ke Litbang terkait hasil pemantauan ini.
"Kami berharap ada tindaklanjut dari Pemprov Sulut agar warga yang terdampak bisa direlokasi atau setidaknya mendapatkan solusi terbaik," tegas dia.
Dilansir Kompas.com dari Institut Teknologi Bandung (ITB), ahli geologi dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Dr. Eng. Imam Achmad Sadisun, mengatakan bahwa likuifaksi adalah perubahan material yang padat (solid), dalam hal ini berupa endapan sedimen atau tanah sedimen, menjadi seperi cairan (liquid).
Dr. Imam menjelaskan, fenomena likuifaksi sebenarnya hanya bisa terjadi pada tanah yang jenuh air (saturated).
Air tersebut terdapat di antara pori-pori tanah dan membentuk yang disebut sebagai tekanan air porii.
Dalam hal ini, tanah yang berpotensi mengalami likuifaksi umumnya tersusun dari material yang didominasi oleh ukuran pasir.
Ketika ada gempa bumi yang menghasilkan gaya guncangan yang sangat kuat dan tiba-tiba, tekanan air pori naik seeketika hingga terkadang melebihi kekuatan gesek tanah terseebut.
Proses inilah yang menyebabkan terjadinya likuifaksi dan material pasir penyusun tanah menjadi seakan melayang di antara air.
Menurut Dr. Imam, jika posisi tanah berada di suatu kemiringan, tanah dapat ‘bergerak’ ke bagian bawah lereng sehingga benda-benda di atasnya, seperti rumah, tiang listrik, pohon, dan lain-lain ikut terbawa.
Dr. Imam mengatakan, potensi likuifaksi pada suatu wilayah bisa diidentifikasi, bahkan dihitung.
Identifikasi ini bisa dilihat dari jenis tanahnya yang umumnya berupa pasir hingga pendekatan analitik kuantitatif, dengan menghitung indeks potensi lukuifaksi.
Secara umum, fenomena likuifksi terjadi pada wilayah yang rawan terjadi gempa bumi, muka air tanah dangkal, dan tanahnya kurang terkonsilidasi dengan baik.
Menurut Dr. Imam, likuifaksi biasanya terjadi pada gempa bumi di atas 5 SR dengan kedalaman sumber gempanya termasuk kategori dangkal.
Material yang terlikuifaksi ini berada pada kedalaman sekitar 20 meter, meski terkadang lebih dari 20 meter, bergantung penyebaran tanahnya.
Fenomena likuifaksi pun hanya terjadi di bawah muka air tanah dan tidak terjadi di atas muka air tanah.
Dilansir dari Teknik Geologi, Universitas Syiah Kuala, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai upaya mitigasi bencana likuifaksi, yakni:
1. Evaluasi kondisi geologi
Evaluasi kondisi geologi berguna untuk mengenali sifat fisik dari material pembentuk lapisan tanah dan umurnya.
2. Evaluasi kondisi kegempaan
Likuifaksi hanya terjadi jika ada eenergi dan durasi gempa bumi yang cukup untuk memicunya.
Besarnya energi dan durasi ini menjadi batas ambang dengan kemampuan lapisan tanah untuk meredamnya.
3. Evaluasi kondisi muka air tanah
Kondisi lapisan tanah yang jenuh air ketika terinduksi gelombang gempa bumi akan menunjukkan kerentanan yang sangat tinggi untuk terlikuifaksi.
Upaya konkret dalam bentuk koordinasi dan sinkronisasi data antar lembaga harus diinisiasi untuk memperoleh gambaran yang akurat akan ketiga kondisi tersebut. (Kompas.com/Tribunmanado.co.id)