DIIRINGI suara takbir dari sejumlah masjid di seputar desa kami di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, dini hari 17 Juni 2024, bertepatan dengan Hari Iduladha 1445 H, saya berangkat naik Kereta Api Gajahwong menuju Stasiun Pasarsenen, Jakarta.
Saya harus mengejar pesawat menuju Pekanbaru, Provinsi Riau, untuk mengikuti Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) 2024, sebuah pelayaran bersama Kapal Dewaruci yang legendaris melalui rute Dumai di Provinsi Riau, Aceh, Malaka di Malaysia, dan Tanjung Uban, Kepulauan Riau.
Sebelumnya, Kapal Dewaruci sudah menjalani rute Batch 1 dari Jakarta, melewati Provinsi Bangka-Belitung, dan tiba di Dumai. Jadi, saya mengikuri Batch 2. Nantinya, setelah sampai di Tanjung Uban, MBJR akan diteruskan Batch 3 melalui rute Tanjung Uban, Lampung, dan kembali Jakarta.
MBJR diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dengan tujuan antara lain menumbuhkan kebanggaan akan jati diri bangsa dengan memengaruhi persepsi masyarakat di daerah dan dunia internasional terkait peran Indonesia di masa lalu dan potensi peran Indonesia di masa depan.
Banyak kursi kosong di kereta api. Boleh jadi lebih banyak orang yang sedang bersiap-siap merayakan Hari Raya Kurban daripada bepergian. Setelah nyaris tidak bisa lelap tidur karena kedinginan di dalam kereta, saya tiba di Stasiun Pasarsenen selewat pukul 05.00 dan sempat sedikit meluruskan badan di ruang tunggu stasiun. Setelah sempat menimbang-nimbang naik apa menuju Bandara Soekarno-Hatta, saya memilih salah satu mobil taksi online.
Lalu lintas di Jakarta pagi di Hari Iduladha ternyata lengang. Tidak sampai setengah jam, mobil dengan leluasa bisa menempuh perjalanan menuju Terminal 1A Bandara Soekarno-Hatta. “Jakarta di hari Lebaran memang menyenangkan,” kata sang driver online.
Saya tiba di bandara pukul tujuh pagi dan langsung melakukan check-in. Meskipun mengalami masalah saat melakukannya secara online, proses check-in akhirnya berhasil dan saya sudah duduk di ruang tunggu pukul 07.40-an.
Artinya, saya harus menunggu hampir tiga jam sampai naik ke pesawat.
Lebih baik menunggu lama daripada ketinggalan pesawat. Kalimat seperti itulah yang sering saya tekankan jika hendak berpergian dengan kendaraan apa pun: kereta api, bus, dan sebagainya.
Pesawat Super Air Jet yang akan saya tumpangi dijadwalkan terbang pukul 10.38. Saya bisa mengisi perut kosong dengan bekal yang saya bawa dari rumah. Selain lebih murah daripada makanan di bandara, bekal itu saya yakin lebih sehat dan akan tetap mendekatkan saya secara batin dengan keluarga di rumah.
Saya tidak tahu mengapa saya mendapat undangan untuk mengikuti MBJR. Beberapa pekan lalu saya dihubungi Mas Wicaksono Adi, sastrawan yang namanya sudah lama saya kenal meskipun belum pernah berjumpa muka, yang menawarkan apakah saya tertarik kalau diajak ikut MBJR. Secara spontan saya menjawab tertarik kendati belum bisa membayangkan bagaimana cara saya meminta cuti ke kantor Tribun Jabar tempat saya bekerja. Begitulah, setelah melalui proses yang cukup panjang, termasuk melengkapi diri dengan bermacam dokumen, akhirnya saya tercatat sebagai salah satu peserta undangan MBJR 2024. Proses di Tribun Jabar seakan-akan dimudahkan karena ternyata saya segera memasuki masa persiapan pensiun.
Ya, saya menduga saya akan menjadi peserta tertua di MBJR 2024 ini.
Sambil menunggu, saya sempat menduga-duga apakah di antara calon penumpang pesawat yang juga sedang menunggu ada yang juga akan ikut MBJR. Sayangnya, karena saya tidak mengenal mereka, sampai naik pesawat dan selama penerbangan menuju Pekanbaru, saya merasa sendirian di antara puluhan penumpang yang rupanya didominasi oleh warga Tionghoa, yang sebagian di antara mereka berbicara dengan bahasa Mandarin.
Tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, saya (dan tentu saja teman-teman peserta MBJR lainnya) sudah ditunggu Pak Ganda, salah satu panitia MBJR di Dumai. Saya pun berkenalan dengan sejumlah peserta MBJR yang ternyata juga baru sama-sama turun dari pesawat yang sama. Sejumlah di antaranya adalah jurnalis majalah Tempo, National Geographic, Antara, dan Liputan6.com. Sebagian lainnya mahasiswa-mahasiswi berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Secara keseluruhan, peserta Batch 2 MBJR 2024 sekitar 50 orang, termasuk panitia.
Setelah makan siang di bandara, rombongan naik dua mobil jemputan Hi-Ace menuju Kota Dumai, menghabiskan sekitar dua jam perjalanan, antara lain melewati jalan tol yang relatif lengang. Rombongan tiba di Hotel Grand Zuri, sebuah hotel berbintang di Kota Dumai, sekitar pukul empat.
Setelah istirahat beberapa jam di hotel, peserta MBJR menghadiri undangan Festival Multikultur di Taman Bukit Gelanggang. Ada sejumlah penampilan kesenian di panggung besar. Uniknya, di antara tarian-tarian itu, terselip satu tarian Sunda yang dibawakan warga Sunda di Dumai.
Acara yang juga dihadiri Wali Kota Dumai H. Paisal, SKM, MARS, itu disaksikan ribuan warga yang tampak antusias. Inilah bedanya acara seni di Dumai dan di banyak tempat lain: Wali Kota dan jajarannya bertahan duduk menyaksikan acara setelah menyampaikan kata sambutan, sedangkan di banyak tempat lain para pejabat umumnya pergi setelah menyampaikan sambutan.
Saat pulang naik mobil, saya terkejut karena saya tidak memakai kacamata. “Kayaknya jatuh ketika saya terkantuk-kantuk di kursi penonton,” kata saya. Mobil balik lagi ke area acara dan saya menghampiri kursi yang sempat saya duduki, yang sudah diduduki seorang ibu.
“Maaf, Bu, barangkali ada kacamata di bawah kursi?”
Kacamata saya ditemukan di bawah kursi, dalam keadaan baik-baik saja, masih bersih dan tidak rusak. Alhamdulillah.
Saya masih akan bisa menyaksikan indahnya pemandangan laut dalam perjalanan sekitar 20 hari dengan Kapal Dewaruci mulai lusa. (*)