TRIBUNJOGJA.COM. KOTAGEDE - Tradisi Nawu Sendang Seliran di Kompleks Makam Raja Mataram, Kemantren Kotagede, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun ini akan digelar para Minggu Pahing, 2 Besar 1957 Tahun Jawa atau Minggu, 9 Juni 2024.
Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, arti kata “Nawu Sendang” adalah “Menguras Sendang”.
Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kbbi.kemdikbud.go.id, Sendang adalah kolam di pegunungan dan sebagainya yang airnya berasal dari mata air yang ada di dalamnya, biasanya dipakai untuk mandi dan mencuci, airnya jernih karena mengalir terus. Sendang juga didefinisikan sebagai sumber air.
Bagaimana sejarah Tradisi Nawu Sendang di Kompleks Makam Raja Mataram Kotagede?
Berikut penjelasan sejarah Tradisi Nawu Sendang di Kotagede, seperti dikutip Tribunjogja.com dari laman resmi Dinas Kebudayaan Provinsi DIY budaya.jogjaprov.go.id.
Tradisi Nawu Sendang Seliran merupakan tradisi membersihkan kolam yang berada di bekas lingkungan Kerajaan Mataram Awal di Kotagede.
Biasanya tradisi Nawu Sendang Seliran dilakukan oleh para abdi dalem Kraton Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta di Kompleks Makam Raja Mataram.
Tidak ada yang tahu pasti kapan Tradisi Nawu Sendang di Kotagede dimulai.
Namun, tradisi ini diyakini sudah ada sejak Kerajaan Mataram berdiri di Kotagede.
Lokasi situs ini berada di tiga kampung di Kemantren Kotagede, yaitu Kampung Jagalan, Kampung Wirokerten, dan Kampung Purbayan.
Semula, Nawu Sendang Seliran hanya tradisi yang sempat dilupakan karena tidak ada orang yang melestarikannya.
Barulah pada tahun 2009, Tradisi Nawu Sendang Selirang mulai dihidupkan lagi oleh sekelompok masyarakat di Kotagede.
Bahkan, tradisi ini mampu menarik minat wisatawan karena dikemas dengan konsep menarik sebagai pertunjukan.
Prosesi Nawu Sendang Seliran memiliki serangkaian acara pagelaran budaya yang berlangsung selama 5 hari.
Namun, tahun 2024, Tradisi Nawu Sendang Seliran dilaksanakan selama 2 hari yaitu pada 8-9 Juni 2024.
Berikut adalah prosesi dari Tradisi Nawu Sendang Seliran seperti dikutip Tribunjogja.com dari laman budaya.jogjaprov.go.id.
Prosesi pertama dari Tradisi Nawu Sendang Seliran adalah tahap persiapan pembuatan ubo rampe (sesajen) di Komplek Abdi Dalem yang berada di Kompleks Pasarean Mataram.
Ada dua bangunan di dalam Komplek Abdi Dalem yaitu Kompleks Abdi Dalem Mataram Yogyakarta dan Surakarta.
Ubo rampe sudah dipersiapkan 2 hari sebelum pelaksanaan Tradisi Nawu Sendang Seliran.
Ubo rampe yang dibuat sedikitnya memiliki dua gunungan, yaitu Gunungan Kakung dan Gunungan Putri. Ada pula replika Masjid Gede Mataram Kotagede, dan perlengkapan gayung untuk menguras sendang berupa siwur.
Prosesi selanjutnya, ubo rampe yang sudah siap disimpan di Pendopo Ijo yang letaknya di sebelah barat Sendang Seliran.
Keesokan harinya, atau sehari sebelum perayaan Tradisi Nawu Sendang Seliran, tepatnya pada pukul 09:00 WIB, seluruh peserta pawai dengan gunungan ubo rampe sudah siap di Kelurahan Jagalan.
Gunungan akan diarak oleh ratusan abdi dalem dari Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Gunungan yang berisi hasil bumi dan jajanan pasar nantinya akan diperebutkan oleh masyarakat untuk dimakan bersama-sama.
Arak-arakan dimulai dari Balai Desa Jagalan menuju Masjid Besar Mataram Kotagede.
Kirab budaya juga diikuti oleh para Bregodo (prajurit) yang membawa jodhang berisi miniatur Masjid Besar Mataram.
Prosesi ketiga adalah penyerahan siwur atau gayung secara simbolis oleh Kepala Lurah kepada pimpinan abdi dalem juru kunci Pasarean Mataram Kotagede.
Penyerahan tersebut dilakukan di Masjid Besar Mataram Kotagede.
Setelah penyerahan siwur secara simbolis, Tradisi Nawu Sendang Seliran akan dimulai.
Di sendang, para abdi dalem akan mengambil air secara simbolik sebanyak 3 kali menggunakan siwur, kemudian air tersebut akan dimasukkan ke dalam kendi dan dibawa kendi itu dengan jodhi yang dipikul.
Melansir laman resmi budaya.jogjaprov.go.id, Tradisi Nawu Sendang Seliran yang dilaksanakan di Kompleks Makam Raja Mataram, Kotagede, merupakan gambaran bersatunya Kraton dengan masyarakat.
Tradisi ini juga menjadi simbol manunggalnya ulama dan umaro atau pemimpin.
Tak heran, banyak warga dilibatkan dalam acara ini sebagai prajurit.
Meski begitu, Tradisi Nawu Sendang Seliran sempat menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Ada yang menganggap tradisi ini mengandung unsur kesyirikan.
Namun, pihak abdi dalem dan penyelenggara menegaskan bahwa kegiatan ini hanya bersifat simbolis dan jauh dari unsur mistis dan magis. (Tribunjogja.com/ANR)