TRIBUNBANTEN.COM - Dalam kunci jawaban berikut, siswa diminta mengenal karya fiksi dalam Bab IV Mengulas Karya Fiksi.
Pertanyaan di atas merupakan materi Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VIII Kurikulum Merdeka.
Simak materi kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Kurikulum Merdeka halaman 116, 117, 118, 119, 120 dalam artikel ini.
Pada materi kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Kurikulum Merdeka halaman 116, 117, 118, 119, 120 siswa diminta menyebutkan jenis alur cerita dalam cerita "Parki dan Alergi Telur".
Simak pembahasan kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Kurikulum Merdeka halaman 116, 117, 118, 119, 120 selengkapnya berikut ini.
Kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Kurikulum Merdeka halaman 116, 117, 118, 119, 120
Parki dan Alergi Telur
Karya Maya Lestari Gf.
Ibu sangat ingin Parki tumbuh sehat dan tinggi. Untuk itu, Ibu menyuruh Parki makan telur setiap hari.
“… tetapi, Bu, …,” ujar Parki, “aku bosan makan telur setiap hari.”
“Ini peraturan!” kata Ibu tegas. “Kalau kamu ingin kuat, kamu harus makan makanan bergizi setiap hari.”
Parki ingin membantah kalau makanan bergizi itu bukan cuma telur, masih ada tahu, tempe, kacang, dan ikan, tetapi Ibu tidak ingin mendengarkan. Menurut Ibu, komposisi gizi dalam sebutir telur sangat sempurna. Telur memiliki kalsium yang dibutuhkan Parki agar tulang tulangnya kuat. Ibu ingin Parki tumbuh setinggi pemain-pemain basket profesional. Jadi, ia memasak telur setiap hari. Kadang telur itu direbus, kadang dibuat jadi telur mata sapi atau dijadikan telur dadar.
“Ibu memasaknya jadi bermacam masakan,” kata Ibu, “supaya kamu tidak bosan.”
Akan tetapi, tetap saja itu telur! Aarggh! Parki bosan, tetapi Parki tidak ingin membantah Ibu. Jadi, ia makan saja semua hidangan telur.
Kadang kalau sudah terlalu bosan, ia membawa telur ke kamarnya dan menyembunyikannya di bawah kasur. Sayangnya, Ibu selalu bisa menemukan. Entah bagaimana caranya.
Suatu pagi, ketika Parki bangun tidur, ia merasa matanya berat sekali. Dikucek-kuceknya matanya. Terasa ada sesuatu di kelopaknya.
Cepat ia menuju cermin. Astaga! Apakah itu? Kenapa ada bengkak di kelopak matanya?
“Ibuuu!” teriaknya. “Kenapa mataku seperti ini?”
“Ada apa?” tanya Ibu. Cepat-cepat Ibu berlari ke kamar Parki,
“Astagaaa! Parki! Ada apa dengan matamu?” teriak Ibu histeris. “Ayaaah!
Cepat kemari! Lihat mata Parki!”
Ayah yang saat itu sedang mengenakan kemeja kaget bukan main. Tidak biasanya Ibu berteriak histeris seperti itu. Cepat ia berlari ke
kamar Parki. Ayah lupa kalau ia belum memakai celana panjang.
“Ada apa? Ada apa?” Ayah ikut-ikutan panik. Ia takut sekali kalau sesuatu yang gawat terjadi.
“Mata Parkiii!” teriak Ibu.
“Kenapa mata Parki bisa bengkak seperti itu?”
Ayah memeriksa kelopak mata kanan Parki.
“Oh! Ini bintitan,” kata Ayah.
Ia merasa lega karena ternyata situasi tidak segawat yang ditakutkannya. Ayah beberapa kali juga pernah mengalami bintitan waktu kecil. Jadi, apa yang terjadi pada Parki tidak terlalu mengkhawatirkannya.
“Akan tetapi, ini bukan bintitan biasa!” Ibu masih histeris.
“Lihat, bengkaknya sebesar ujung kelingkingku! Warnanya merah. Pasti sakit sekali.”
“Biarkan saja, nanti juga hilang sendiri,” kata Ayah kalem.
“Bagaimana mungkin Ayah bilang begitu? Ini mata Parki! Bagaimana kalau bintitan itu sesuatu yang berbahaya? Dia harus dibawa ke dokter!”
“Astaga!” kata Ayah.
“Tenang, Bu! Ayah dahulu sering mengalaminya waktu kecil. Ini bukan hal yang gawat.”
“Tidak bisa! Ini pasti buruk! Parki harus dibawa ke dokter!”
Parki memandang kedua orang tuanya berganti-ganti. Sebenarnya, ia juga tidak terlalu paham apa yang terjadi. Ia merasa sependapat
dengan Ayah. Bintitan bukan hal yang gawat kok. Temannya, si Alex, juga pernah mengalaminya. Biasanya, bintitan itu hilang dalam
seminggu, tetapi Parki merasa ngeri dengan Ibu. Jika Ayah dan Ibu berdebat, Ibu pasti menjadi pemenang. Hal itu sudah terjadi berkali
kali.
“Baiklah,” kata Ayah kemudian, “nanti sore kita ke dokter.”
Tuh, benar, ‘kan? Pasti Ibu yang menang.
Akhirnya, sore itu mereka ke dokter. Dokter memeriksa mata Parki beberapa kali sebelum akhirnya bertanya.
“Pernah mengalami hal ini sebelumnya?”
“Tidak pernah,” jawab Ibu.
“Debu bisa menjadi penyebabnya,” kata Dokter.
“…, tetapi selama ini Parki selalu bermain di luar. Matanya pasti sering kemasukan debu,” kata Ibu, “tetapi mengapa sebelum ini matanya tidak pernah bengkak?”
“Hmm …,” Dokter mengangguk-angguk.
“Kemarin Parki makan apa saja?” tanyanya.
“Jeruk,” jawab Parki. Ia tidak suka jeruk. Ia berharap jeruklah penyebab matanya bintitan supaya besok-besok ia tidak makan jeruk lagi.
“Tadi malam dia makan nasi goreng,” kata Ibu.
“Siangnya?” tanya dokter.
“Siang dia makan …,” Ibu mengingat-ingat, “nasi dan telur dadar.”
“Paginya?”
“Pagi dia makan bubur kacang hijau.”
“Kemarinnya lagi?” tanya dokter.
“Apakah dia makan udang?”
“Tidak. Dia makan nasi dan telur rebus,” jawab Ibu.
“Oh, ya?” dokter memandang Ibu.
“Tiga hari lalu dia makan apa?”
“Telur dadar,” kata Ibu.
Karena Ibu memberi Parki telur setiap hari, makanan Parki yang dia ingat cuma itu.
“Empat hari lalu?” tanya dokter.
“Telur.”
“Telur lagi?” dokter itu melongo.
“Iya.”
“Seminggu sebelumnya?”
“Telur juga.”
Dokter itu membuka kacamatanya dan menghela napas.
“Mengapa ia makan telur setiap hari?” tanyanya.
“Karena telur itu bergizi. Parki membutuhkan gizi bagus supaya bisa tumbuh tinggi,” kata Ibu.
“Itu betul,” kata dokter, “tetapi sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sepertinya Parki alergi telur.”
“Alergi telur?” tanya Ibu heran.
Dokter mengangguk.
“Kompreslah kelopak matanya yang bengkak dengan air hangat dua kali sehari,” kata dokter. “Mudah-mudahan lima hari kemudian
bengkaknya hilang. Untuk sementara, jangan beri dia telur!”
“Apa?” Ibu tak percaya. “Apakah dokter baru saja mengatakan, Parki tidak boleh makan telur? Tidak mungkin.”
“Benar,” dokter mengangguk.
“…, tapi …, tapi …,” Ibu tidak setuju.
“Baiklah, kami pikir juga begitu,” kata Ayah tiba-tiba.
“Terima kasih atas nasihat Anda, Dokter. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Mereka lalu keluar dari ruang periksa. Ibu tidak mampu berkata kata. Wajahnya tampak sedih sekali. Sebaliknya, Parki justru merasa
gembira. Ingin rasanya ia melompat-lompat karena tidak perlu lagi makan telur. Ia merasa bengkak di kelopak matanya adalah suatu anugerah yang teramat istimewa. Ayah senyum-senyum memandangnya.
“…, tetapi gizi Parki, bagaimana? Aduh …!” Ibu menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Tenang, Ibu. Toh sesekali ia masih boleh makan telur,” kata Ayah sambil merangkul bahu Ibu.
“Baiklah,” kata Ibu.
Ia menurunkan tangannya. Wajahnya sangat nelangsa. Dipandangnya Parki dengan suatu cara yang membuat Parki
merasa baru saja divonis dokter tidak boleh membaca buku seumur hidup!
“Masalah selesai,” kata Ayah. “Ayo, pulang!”
Ayah menggamit tangan Ibu dan Parki, lalu bersiul-siul. Di sampingnya, Parki melompat gembira.
(Dikutip utuh dari Maya Lestari dalam SophieBook 2020, Yogyakarta)
Kegiatan 4:
Mendiskusikan Unsur-Unsur Karya Fiksi
Berdiskusi
Kalian sudah mempelajari unsur-unsur yang ada dalam sebuah cerita. Kalian juga sudah mempelajari cara menemukan unsur tersebut. Sekarang, duduklah berkelompok. Bacalah cerita “Parki dan Alergi Telur” secara mandiri, kemudian diskusikan hal-hal berikut dengan teman satu kelompok.
4. Apa jenis alurnya?
Kunci jawaban:
4. Jenis alur dari cerita pendek berjudul “Parki dan Alergi Telur” adalah alur maju.
Kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Kurikulum Merdeka halaman 116, 117, 118, 119, 120 ditujukan bagi orangtua untuk membimbing proses belajar siswa.
Diharapkan orangtua bisa membimbing kegiatan belajar siswa di rumah dengan semangat.
Rangkuman kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Kurikulum Merdeka halaman 116, 117, 118, 119, 120 hanya sebagai panduan, jawaban dari setiap soal tidak terpaku dari kunci jawaban ini.
Jawaban bisa berbeda dan tidak terpaku pada kunci jawaban yang disajikan dalam artikel ini.
Diharapkan siswa bisa mencari jawaban sendiri dari setiap soal yang disajikan.
Sumber: Buku Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VIII Kurikulum Merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
(TribunBanten.com/Vega)