TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Sejumlah kawasan di Kota Semarang kini menjadi destinasi baru untuk menikmati malam.
Selain Jalan Pahlawan yang telah lama hidup sebagai tempat nongkrong, kini muncul titik-titik baru tempat anak-anak muda berkumpul dan menikmati suasana, dengan kemasan street coffee.
Di Jalan Gajahmada, mulai dari depan SMK Theresiana sampai Perempatan Gendingan, bertebaran kafe-kafe kekinian.
Di depan kafe-kafe itu, di sepanjang trotoar anak-anak muda duduk kursi-kursi yang tersedia.
Kawasan belakang Stadion Diponegoro, juga menjadi jujukan anak-anak muda.
Kawasan yang semula sentra buku bekas, kini menjelma kedai-kedai estetik.
Yang terbaru, Jalan Pekojan, jalan tembus dari Jalan Agus Salim sampai Jembatan Gang Pinggir, Pecinan.
Setiap malam, jalan yang dulu sepi, kini benar-benar hidup.
Yang menarik, anak-anak muda itu tidak hanya datang untuk ngopi atau nongkrong.
Mereka datang dengan dandanan yang khas, dengan busana kekinian: outfit streetwear, ala hip-hop, dengan nuansa yang mereka sebut “skena”, singkatan dari sua, cengkrama, kelana.
Skena dimaknai sebagai ruang untuk bertemu, berbincang, dan berjalan bersama.
Pantauan Tribun Jateng, pada Jumat (3/10/2025) malam, suasana di Jalan Pekojan tampak ramai.
Tempat ngopi di jalan itu berupa ruko-ruko dengan arsitektur lawas yang tertutup rapat sepanjang jalan, menjadi latar yang selaras dengan tema street coffee.
Dari ruko-ruko yang tutup itu, di depannya tersaji pemandangan sederhana obrolan anak-anak muda yang duduk berkelompok dengan kursi plastik.
Di depan mereka terdapat meja dari krat minuman yang dibalik, tempat meletakkan cangkir kopi serta aneka camilan yang dijual di kawasan itu.
Busana kekinian
Semakin malam, kursi kecil atau dingklik makin sulit didapatkan.
Beberapa pengunjung akhirnya beralas lembaran plastik bekas baliho atau kerap disebut Material Media Teknik (MMT) untuk tetap bisa nongkrong bersama kawan.
Ridwan Muzaki (19), warga Genuk, yang tak kebagian kursi, meski begitu dia juga mengaku awalnya tahu ramainya kawasan Pekojan dari postingan Tiktok yang muncul di beranda gawainya.
“Pertama lihat di FYP, terus penasaran coba main. Eh, ternyata asik juga nongkrong di sini. Ini sudah ketiga kalinya saya ngopi bareng teman-teman,” ucap Ridwan, yang datang bersama tiga kawannya.
Ridwan mengaku nongkrong di pinggir jalan dengan pemandangan ruko yang tutup membuat kesan yang berbeda.
Apalagi anak-anak muda yang nongkrong berbusana pakaian dengan gaya kekinian.
Membuatnya merasakan hal yang berbeda.
“Biasanya kalau ngopi ya pakainya kaus sembarangan sama celana pendek seadanya,” kata Ridwan.
“Tapi di sini beda, anak-anak muda lainnya tu bajunya unik. Ada yang pakai topi, terus pakai kaus atau jaket yang longgar, celananya juga celana longgar gitu. Nggak cowok atau cewek juga pakaiannya ala-ala skena gitu,” jelasnya.
Sementara itu, Dini (26), warga Boja, Kabupaten Kendal, tampak heran ketika kali pertama nongkrong di kawasan Pekojan, Kota Semarang.
“Saya aslinya kan Semarang Barat, setahu saya ini daerah sepi, cuman jalan tembus aja,” kata Dini.
“Saya ke sini bareng sama suami. Suami tahunya (tentang tempat ngopi di Pekojan) dari medsos, terus kepo main ke sini,” sambungnya.
Harganya pun terjangkau, hanya belasan ribu rupiah untuk segelas kopi susu dan lainnya.
“Untuk harga murah sih dibandingkan dengan ngopi di kafe, tapi untuk rasa dari kopinya ya hampir mirip. Terus di sini juga ada yang jualan snack seperti kentang goreng, sosis bakar, dan lainnya,” tambah Dini.
Street coffee
Kawasan Pekojan yang dahulunya sepi ini, menjadi hidup usai anak muda menjadikannya basecamp di malam hari.
Kondisi itu justru dipandang sebagai peluang oleh kakak beradik warga setempat, Zamran (20) dan Zahir (16), membuka lapak kopi sederhana yang dinamai “Kopi Tersenyum”.
“Dulu jalan sini sepi banget. Saya lihat malah punya vibe beda kalau malam. Akhirnya, nyari referensi di Tiktok, Youtube, untuk buat kopinya terus juga nemu konsep street coffee. Dua bulan setelah itu langsung buka,” cerita Zahir.
Tak hanya kopi, kedai kecil mereka juga menawarkan dimsum dan makanan bakaran sebagai teman ngopi.
“Kalau soal berani buka, ya bermodal nekat aja. Untungnya banyak teman di sekitar sini yang support. Jadi kalau gagal, ada yang bantu,” jelasnya.
Untuk promosi, media sosial jadi senjata utama.
“Di Tiktok main, Instagram juga. Dari situ banyak orang yang tadinya enggak tahu jadi tahu,” tambah Zahir.
Zahir mengatakan, saat ini dalam kondisi normalnya mampu menjual puluhan cup kopi.
Namun kalau kondisinya ramai seratusan cup bisa ludes terjual.
“Kami buka kami tiap hari, mulai dari 18.30 sampai 00.00, liburnya masih belum nentu juga. Kalau pas ramai bisa pulang gasik (lebih cepat—Red),” ujarnya.
Anak-anak muda yang berjualan mulai dari usia 16 hingga 20 tahun.
Oleh karena itu, gaya berjualan mereka juga memiliki cara uniknya.
Tak jarang mereka bercanda dengan pembeli kopi mereka.
Nama Pekojan sendiri menyimpan jejak panjang.
Dari kata “Khoja”, dahulu kawasan ini dikenal sebagai tempat tinggal keturunan India Muslim.
Hingga kini, wajah-wajah berkarakter India dan Arab masih mudah ditemui di sekitar sini.
Bahkan, beberapa penjual kopi di kawasan ini masih menampilkan jejak keturunan tersebut.
Kini, tiap malam Pekojan bukan lagi sekadar jalan gelap yang dilintasi kendaraan.
Ia berubah jadi titik kumpul anak muda Semarang.
Dari dingklik sederhana, secangkir kopi, hingga obrolan yang gayeng, kawasan ini menegaskan satu hal nongkrong tak butuh mewah, yang penting suasana dan kebersamaan. (Rezanda Akbar D)