TRIBUNSUMSEL.COM - Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi terkait penambahan rombongan belajar (Rombel)maksimal 50 siswa per kelas di sekolah berbuntut panjang.
Sebanyak delapan organisasi sekolah swasta jenjang sekolah menengah atas (SMA) menggugat Keputusan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang petunjuk teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) melalui penambahan rombongan belajar (Rombel) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Diketahui, aturan itu dikeluarkan pada 26 Juni 2025.
Adapun delapan organisasi sebagai penggugat dalam perkara ini yaitu:
1.Forum Kepala Sekolah Sma Swasta Provinsi Jawa Barat
2.Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Bandung
3.Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Cianjur
4.Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kota Bogor
5.Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Garut
6.Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kota Cirebon
7.Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Kuningan
8.Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kota Sukabumi.
Gugatan tersebut diajukan pada 31 Juli 2025 dan sudah teregistrasi dengan nomor perkara: 121/G/2025/PTUN.BDG dan akan dilakukan pemeriksaan berkas pada Kamis 7 Agustus 2025 pukul 10.00 WIB.
"Jadi, benar yang menjadi tergugatnya nanti adalah Gubernur dalam hal ini Gubernur Provinsi Jawa Barat. Nanti mereka biasanya akan diwakili ini oleh kuasa yang biasanya ini dari Biro Hukum," ujar Humas PTUN Bandung, Enrico Simanjuntak, Rabu (6/8/2025).
"Gugatannya ini diajukan tertanggal 31 Juli 2025 dan oleh ketua pengadilan telah ditetapkan majelisnya yang akan memeriksa, dan majelis hakim yang ditugaskan untuk mengadili perkara tersebut telah menetapkan jadwal persidangan," katanya.
PTUN Bandung, kata dia, akan melakukan pemeriksaan formalitas gugatan dari pihak penggugat untuk kemudian dimatangkan oleh majelis hakim.
Selain itu, nantinya penggugat akan dimintai informasi atau data-data terkait dengan adanya objek sengketa ini.
Pemeriksaan ini akan memakan waktu sekitar 30 hari, setelah itu masuk tahap pembacaan gugatan, jawaban dari tergugat, replik, duplik hingga pembuktian.
"Pembuktian dimulai dari bukti surat, bukti elektronik, menghadirkan saksi, ahli, dan, alat bukti lainnya yang terkait. Setelah pembuktian nanti kesimpulan, baru setelah kesimpulan dilanjutkan dengan tahap akhir yaitu putusan begitu," katanya.
Sebelumnya diberitakan, aturan Dedi Mulyadi terkait rombongan belajar satu kelas 50 siswa menuai kritik dari sekolah swasta.
Sejumlah sekolah swasta menyebut aturan ini membuat mereka tidak memiliki peminat.
Sejumlah sekolah swasta bahkan terancam tutup karena kebijakan ini.
Reaksi Dedi Mulyadi Digugat
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menanggapi gugatan delapan forum sekolah swasta terhadap kebijakan rombongan belajar (rombel) maksimal 50 siswa per kelas di SMA negeri.
Gugatan tersebut dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung oleh sejumlah sekolah yang merasa terdampak karena kebijakan itu dinilai menyebabkan turunnya minat pendaftar ke sekolah swasta.
Menurut Dedi, kebijakan tersebut tidak melanggar hukum, apalagi merugikan secara material seperti dalam kasus monopoli bisnis.
"Ini bukan keputusan tata usaha yang merugikan secara material. Ini soal pendidikan, bukan bisnis tender yang menyebabkan yang lain kalah bersaing. Sekolah yang menggugat harus bisa membuktikan bahwa mereka benar-benar dirugikan oleh kebijakan ini," ujar Dedi saat dikonfirmasi Kompas.com via telepon, Rabu (6/8/2025).
Dedi mengatakan, pihaknya mengeluarkan kebijakan rombel maksimal 50 orang per kelas di SMA negeri karena ia ingin semua anak di Jawa Barat mengenyam pendidikan tanpa terkendala masalah biaya.
Dengan demikian, ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari kewajiban negara untuk pendidikan masyarakat. Kemudian kewajiban negara itu kini jadi objek gugatan.
"Jadi ini saya digugat karena menjalankan kewajiban negara untuk mendidik anak bangsa," kata Dedi.
"Ini Kompetisi, Bukan Monopoli Pendidikan" tegasnya.
Dedi Mulyadi menyebut fenomena SMA swasta sepi bukan karena kebijakannya.
Ia menilai, hal ini lebih tepat disebut sebagai dampak dari kompetisi antar-sekolah, bukan dominasi yang kemudian bisa digugat.
Ia menilai, daya saing sekolah menjadi faktor utama menurunnya jumlah siswa di beberapa lembaga pendidikan swasta.
"Kalau SMA-nya menarik, orang pasti tetap sekolah di situ. Kenapa sampai 50 per kelas? Karena banyak yang minat, karena sekolahnya bagus. Minat masyarakat tinggi, bukan karena dipaksa," kata Dedi.
Ia mencontohkan sekolah-sekolah swasta favorit tetap penuh, bahkan tidak kekurangan murid, meskipun berada dalam lingkungan yang sama dengan sekolah negeri.
Menurut Dedi, banyak sekolah swasta yang justru menghadapi masalah karena kurang kompetitif, baik dari sisi biaya maupun kualitas.
Ia menyebut sebagian sekolah swasta lebih mahal namun tidak sebanding dengan fasilitas dan gengsi yang ditawarkan.
"Masyarakat juga berpikir, buat apa bayar mahal kalau kualitasnya biasa saja? Yang favorit (berkualitas) tetap penuh, bahkan rebutan murid," tegasnya.
Ia menyebut, sejak beberapa tahun terakhir, terdapat penambahan sekitar 64 sekolah swasta baru di Jawa Barat, yang turut memicu kompetisi antar-sekolah swasta sendiri.
(*)
Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com