TRIBUNJATIM.COM - Kisah seorang pria bernama Hafid yang dulunya berprofesi sebagai dokter spesialis THT, tengah menjadi sorotan publik.
Menariknya, pria tersebut mengaku lulusan Universitas Indonesia dan meraih spesialis THT di Singapura.
Namun, kematian istri dan anaknya akibat kecelakaan membuat hidup pria tersebut berubah.
Ia kini memilih untuk tinggal menyendiri di sebuah rumah bedeng yang jauh dari hiruk pikuk aktivitas masyarakat.
Tepatnya rumah bedeng di bawah kolong jembatan yang tak jauh dari Bendung Sungai Kalijajar Demak di Jalan Sunan Kalijaga.
Rumah bedeng yang terbuat dari potongan bambu dan terpal bekas spanduk tersebut ternyata ditinggali seorang pria.
Menurut informasi yang diterima Tribun Jateng, aktivitas Hafid sehari-hari hanya tinggal di rumah bedeng miliknya dan sesekali pergi ke Masjid Kadilangu Demak.
Bahkan tersiar kabar bahwa ia memiliki sebuah pondok pesantren di Jember, Jawa Timur, yang dikelola oleh keluarganya.
Untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut, Tribun Jateng pada Senin (28/7/2025) siang, mencoba mendatangi rumah bedeng tempat Hafid tinggal.
Layaknya rumah pada umumnya, bangunan berukuran 2x4 meter yang cukup sederhana tersebut dilengkapi dengan dapur.
Terdapat teras yang hanya berisikan dipan sederhana diberi matras biru.
Tak jauh dari dipan, terdapat sebuah meja kecil yang berisi teko dan gelas untuk minum.
Ada pula kursi ala kadarnya yang mungkin digunakan Hafid untuk bersantai.
Namun, sayangnya saat itu penghuni rumah tidak menampakkan batang hidungnya.
Meskipun Tribun Jateng sudah berkali-kali mengucapkan salam, tak ada satupun balasan dari dalam rumah bedeng tersebut.
Tak jauh dari dapur yang ala kadarnya, terdapat tumpukan kayu yang digunakan Hafid untuk memasak.
Ada pula beberapa galon air, rak piring, dan ember yang digunakan untuk membersihkan peralatan dapur.
Tak jauh dari sana, juga masih terdapat rumah bedeng serupa yang berbentuk panggung.
Rumah bedeng tersebut terlihat lebih sederhana, namun dilengkapi dengan kandang yang berisi burung perkutut.
Tepat berada di sebelahnya, terdapat jemuran handuk merah dan sajadah hijau.
Karena tidak bertemu dengan sang penghuni rumah bedeng, Tribun Jateng mencoba menggali informasi dari warga sekitar.
Saat ditemui, pria yang akrab disapa Kroto mengatakan, warga sekitar lebih mengenalnya sebagai sosok Pak Kafid.
"Orang sini manggilnya Pak Kafid. Tapi saya baru tahu kalau dia dulunya seorang dokter."
"Warga sini tahunya ya cuma orang pelarian saja," ucap Kroto yang bertugas sebagai penjaga Bendung Sungai Kalijajar Demak.
Kroto mengatakan bahwa Kafid sudah tinggal di bawah kolong jembatan sejak tujuh tahun silam.
Ia mengaku ada beberapa orang yang mendatanginya untuk berobat.
"Sesekali ada yang mencari Pak Kafid buat berobat. Tapi saya tidak tahu berobat untuk penyakit apa."
"Sudah lama dia tinggal di situ sejak tujuh tahun lalu. Orangnya bisa diajak komunikasi, bukan orang stres (ODGJ)," tambahnya.
Menurut Kroto, aktivitas sehari-hari Hafid sehari-hari hanya berdiam di bedeng miliknya.
Sesekali, Hafid menumpang mengisi daya ponsel di warung yang tak jauh dari Bendung Sungai Kalijajar.
"Siang gini biasanya ya di rumah itu. Kalau malam numpang ngecharge di warung situ. Dia punya HP (ponsel). Bahkan punya dua setahu saya," ujar Kroto.
Kroto sempat membantu Tribun Jateng untuk kembali mendatangi rumah Hafid yang ada di kolong jembatan, namun hasilnya tetap saja nihil.
"Biasanya dia santai-santai di depan rumah ini. Tapi ini kok kebetulan pas tidak ada. Mungkin lagi pergi," ucapnya.
Sampai saat ini pun, Kroto dan warga sekitar masih bertanya-tanya, bagaimana cara Hafid bertahan hidup.
Pasalnya, Hafid bukanlah tunawisma yang mencari uang dengan meminta belas kasihan dari warga sekitar.
"Enggak pernah lihat dia minta-minta ke warga atau ke jalanan. Warga sini juga masih belum tahu, bagaimana dia bisa hidup. Mungkin ada yang mengirimkan uang atau makanan," tutupnya.
Kisah Hafid atau Kafid terungkap dalam sebuah tayangan di kanal YouTube bertajuk Sinau Hurip yang dipandu oleh Sukaryo Adiputro atau Adi.
Meski memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan karier cemerlang, Hafid kini memilih hidup sederhana di bawah kolong jembatan di kawasan Kelurahan Kadilangu, Kecamatan/Kabupaten Demak.
Keputusan ini diambil Hafid setelah mengalami tragedi besar dalam hidupnya.
Istrinya yang juga seorang dokter, serta anak semata wayangnya yang merupakan lulusan Jerman, meninggal dunia.
Peristiwa ini mengubah hidup Hafid secara drastis.
"Setelah mereka meninggal, saya tinggalkan semuanya. Apotek saya tutup, pekerjaan saya lepas," ujar Hafid.
Sehari-hari, Hafid menjalani rutinitas spiritual.
Dari tempat tinggalnya yang berada di bawah jembatan, ia berjalan ke Masjid Kadilangu untuk beribadah, kemudian melanjutkan perjalanan ke Makam Sunan Kalijaga.
Sisanya, ia habiskan waktu menyendiri di tempat tinggalnya yang sangat sederhana.
"Sudah sembilan tahun saya tinggal di sini," kata Hafid saat ditanya Adi dalam wawancara tersebut.
Meski masih memiliki keluarga besar dan pondok pesantren di Jember, Hafid mengaku tidak betah berlama-lama di rumah.
"Saya anak tunggal, tapi punya tiga adik angkat yang semuanya sarjana kesehatan," ujarnya.
"Kadang pulang ke Jember, tapi enggak kerasan, lalu balik ke sini lagi," imbuh Hafid.
Hafid menceritakan bahwa ia menempuh pendidikan spesialis THT di Singapura, kemudian melanjutkan studi selama empat tahun di Italia.
Sepulangnya ke Indonesia, ia membuka apotek di Jember bersama sang istri yang berasal dari Cianjur dan juga berprofesi sebagai dokter.
Namun, setelah kehilangan kedua orang tercintanya, Hafid memilih menjauh dari hiruk pikuk dunia.
Ia membangun tempat tinggalnya bersama warga sekitar dan menjalani hidup dengan penuh ketenangan.
"Saya merasa lebih tenang seperti ini," ucap Hafid singkat ketika ditanya alasan memilih hidup di bawah kolong jembatan.