TRIBUNJATIM.COM - Perselingkuhan bisa menjadi salah satu masalah besar dalam kehidupan berpasangan.
Sejatinya tidak ada wanita yang mau diselingkuhi atau pun pria yang diselingkuhi.
Namun kerap kali wanita jadi korban perselingkuhan pasangannya.
Baru-baru ini sosok wanita yang dimaksud adalah Dian Soediro atau Bidi.
Ada beberapa faktor yang membuat seseorang tetap bertahan dengan pasangannya, meskipun sudah sering diselingkuhi. Misalnya saja selebgram Dian Soediro atau Bidi Soediro.
Ia tetap setia kepada suaminya, Bams Pattikawa, dan kerap memaafkannya karena perasaan malu jika harus mengakhiri hubungan mereka, dan percaya bahwa suaminya akan berubah.
Menurut psikolog keluarga sekaligus konsultan pranikah yang berpraktik di Semarang, Jawa Tengah, Sukmadiarti, M.Psi., tidak semua perselingkuhan harus berakhir dengan perceraian.
Kendati demikian, ada waktunya ketika kita harus melepaskan pasangan.
Kapan harus melepaskan pasangan yang sering selingkuh?
Sukmadiarti mengatakan, kita harus melepaskan suami atau istri yang sering berselingkuh ketika sudah sama-sama tidak ada keinginan untuk belajar untuk kembali saling memahami.
“Ketika berhenti belajar, kita akan berlarut-larut dalam luka, dan itu yang membuat kita merasa putus asa dengan hubungan ini. Itu yang kemudian membuat banyak orang jadinya mundur (bercerai),” ujar dia, Jumat (25/7/2025).
Saat berhenti belajar untuk memperbaiki komunikasi
Belajar untuk memperbaiki komunikasi sangatlah penting. Komunikasi yang berjalan dengan baik bisa membuat setiap pasangan kembali saling memahami, jika sebelumnya sering berkonflik dan bermasalah.
“Perlu kita pahami bahwa adanya suatu permasalahan dalam rumah tangga itu sebabnya pasti kedua belah pihak. Hanya saja, poin salahnya adalah mana yang lebih besar. Kalaupun pasangan punya kekurangan, ya jangan selingkuh,” terang Sukmadiarti.
Namun, ketika perselingkuhan terjadi, ini bisa dimanfaatkan sebagai momen untuk saling belajar memperbaiki komunikasi.
Beri tahu apa yang belum diberikan oleh pasangan, yang membuat mereka memutuskan untuk mencari hal tersebut ke pihak di luar hubungan pernikahan.
“Ketika salah satu tidak mau belajar, misalnya tidak mau diajak konseling, diberi tahu (apa yang perlu diperbaiki) belum berubah signifikan, tapi pihak lain mau belajar, maka pihak yang tidak mau belajar akan berubah sikapnya,” terang Sukmadiarti.
Belajar mengatakan apa yang diinginkan
Belajar bukan berarti membaca buku atau mendengarkan podcast motivasi. Namun, sekadar melihat dan memahami sudut pandang satu sama lain, kebutuhan satu sama lain, dan bahasa cinta satu sama lain, perselingkuhan bisa diatasi.
Misalnya adalah suami yang berselingkuh karena tidak pernah diapresiasi sekecil apa pun oleh istri. Sepanjang menikah, yang diterima adalah keluhan.
Namun, ternyata istri sering mengapresiasi suami tanpa diketahui, yakni ketika membicarakan suaminya di depan banyak orang. Ia tidak segan untuk menyanjung suaminya.
Menilik kasus tersebut, suami harus belajar untuk mengatakan apa yang diinginkan, dan memahami bahwa sang istri malu untuk mengapresiasinya secara langsung.
Sang istri pun harus belajar untuk mendengarkan atau menanyakan apa yang diinginkan suaminya dan memahaminya, serta belajar bahwa tidak perlu malu untuk mengapresiasi suami secara langsung.
“Ketika yang berselingkuh atau yang menjadi korban selingkuh mau belajar, melihat sudut pandang dan kebutuhan satu sama lain, maka pihak lain akan berubah sikapnya,” tutur Sukmadiarti.
“Tapi kalau salah satu pihak selalu ingin mengubah pasangannya, sementara dia enggak berubah, itu yang bikin sulit,” sambung dia.
Kesimpulannya, ketika suami dan istri sudah sama-sama menyerah karena tidak ada yang ingin saling memahami dan melakukan komunikasi yang lebih terbuka, maka perselingkuhan bakal berujung pada perceraian.
Meskipun tidak ingin bercerai dan tetap melanjutkan pernikahan, korban perselingkuhan hanya akan menderita. Lambat laun, perasaan ini bakal berujung pada depresi.
Masalahnya, jika sudah memiliki anak, penderitaan karena bertahan dalam hubungan yang sudah tidak sehat bakal memengaruhi pola asuh. Korban bakal sering menyalurkan amarah ke anak.