TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada 2 Juli 2025, meninggalkan beragam cerita.
Hingga saat ini Tim SAR Gabungan masih mencari keberadaan korban.
Total 36 penumpang berhasil ditemukan. 30 di antaranya selamat, 6 orang meninggal dunia, sedangkan 29 orang masih dalam status pencarian.
Satu di antara korban yang selamat, Eka Toniansah (25) membagikan ceritanya saat tragedi tersebut terjadi.
Eka Toniansah bercerita bahwa ia bersama ayahnya Eko Sastrio (51), membawa truk tronton untuk mengirim semen ke Bali.
Pengiriman ini sering dilakukannya bersama ayahnya sebagai sopir, dan dirinya sebagai kernet.
"Kirim semen ke Bali," ujar pemuda asal Kelurahan Klatak, Banyuwangi ini, Sabtu 5 Juli 2025.
Sebelum kapal karam, kata Toni, seluruh penumpang panik dan berlarian mencari pelampung.
Utamanya, saat kapal sudah mulai miring ke kanan dengan posisi mesin mati dan ombak besar.
Toni dan ayahnya, juga salah satu yang panik mencari pelampung. Beruntung, ia mendapat dua buah pelampung yang berada di sampingnya di ruang penumpang.
"Kapal pertama diam, terombang-ambing, kemudian orang-orang panik. Akhirnya sempat miring. Tak lama miring, selang 3 menitan, langsung tenggelam. Mesin mati," jelasnya.
Tak terdengar tanda peringatan bahaya saat kapal miring.
Toni bersama ayahnya yang sudah menggunakan pelampung itu, berpegangan pada besi pinggiran kapal.
Saat kapal telah tenggelam, dirinya bersama almarhum Eko Sastrio juga ikut tenggelam.
Namun, selang beberapa detik ia langsung mengapung ke permukaan bersama ayahnya setelah melepas besi pinggiran kapal.
"Sekitar 5 detik-an naik ke atas," jelasnya.
Setelah naik ke permukaan laut, Toni melihat penumpang lainnya panik, menangis, dan menjerit meminta pertolongan.
"Saya tak begitu panik, ya pasrah, gimana lagi," urainya.
Saat awal naik ke permukaan, Toni dan ayahnya yang sama-sama tak bisa berenang itu masih berpegangan. Namun, kondisi ayahnya sudah semakin lemas.
"Kondisi bapak lemas, sempat masih hidup," jelasnya.
Kemudian saat ayahnya meninggal. Toni tetap bertahan sembari memeluk jasad ayahnya dengan satu tangan tanpa ada kapal yang melintas untuk membantu.
Ia hanya bisa pasrah mengikuti ombak dan arus sembari melihat sekeliling kemungkinan ada kapal melintas.
"Pas kejadian 1 jam 2 jam, tak ada bantuan kapal sama sekali," terangnya.
Barulah, sekitar 5 jam-an Toni yang memegangi jasad ayahnya itu ditemukan oleh nelayan yang melintas di sekitar Pantai Banyubiru, Bali. Dirinya teriak meminta tolong pada nelayan yang melintas.
"Teriak-teriak minta tolong," jelasnya.
"Saat ditemukan, kita naik kapal nelayan, bapak sudah tidak ada," ucapnya.
Tiba di daratan, Toni langsung meminta warga untuk menghubungi keluarga bahwa dirinya selamat