TRIBUNSUMSEL.COM -- Tragedi meninggalnya Juliana Marins turis asal Brasil terjatuh di jurang Gunung Rinjani ternyata juga pernah dialami seorang turis asal Irlandi bernama Paul Farrell.
Bedanya Paul Farrel berhasil selamat setelah jatuh sejauh 200 meter di area curam dan berbahaya Gunung Rinjani.
Dalam ceritanya, Farrel memulai pendakian dari base camp pada pagi hari dan mengaku medan di bagian awal terasa mudah. Namun, jalur menuju puncak jauh lebih menantang.
“Tanah di sana berbeda, saya melangkah maju satu langkah tapi mundur dua langkah. Karena kami berada di gunung berapi, tanahnya berpasir dan kaki bisa tenggelam,” ujarnya mengutip Kompas.com, Jumat (27/6/2025).
Pendaki Irlandia Terseret Angin dan Tanah Longsor
Setelah berhasil mencapai puncak, Farrell merasa tidak nyaman akibat kerikil yang masuk ke dalam sepatunya. Ia lantas melepas sepatu dan sarung tangan untuk membersihkannya. Namun, embusan angin tiba-tiba menerbangkan sarung tangannya ke arah jurang.
“Pada saat itu, saya berlutut. Tanah tempat saya berdiri runtuh begitu saja,” kenang Farrell. Ia langsung terjatuh dari tebing dan merasa masuk ke dalam "mode bertahan hidup".
“Kecepatan saya jatuh makin cepat, adrenalin terpompa. Saya segera menyimpulkan bahwa saya bisa mati kapan saja,” katanya.
Farrell mencoba mencari pegangan di tengah laju jatuhnya dan akhirnya berhasil menghentikan diri dengan menabrak batu besar.
"Saya berusaha menancapkan kuku dan tangan ke permukaan apa pun demi memperlambat laju jatuh," ujar Farrell.
"Sampai akhirnya saya melihat batu besar dan mengarahkan tubuh saya ke sana sebagai satu-satunya harapan untuk berhenti."
“Saya menabrak batu itu, tetapi untungnya saya berhasil menghentikan laju jatuh,” tambahnya.
Bertahan di Jurang Selama Lima Jam
Setelah jatuh ke jurang sedalam 200 meter, Farrell masih sadar dan mengalami luka ringan. Namun, posisinya sangat berbahaya. “Meski begitu, saya tidak aman. Di tempat itu, saya bisa terpeleset kapan saja,” ujarnya.
Saat kejadian, hanya seorang perempuan asal Prancis yang berada cukup dekat untuk menyaksikan kecelakaan itu. Farrell berteriak meminta bantuan, dan wanita tersebut segera kembali ke base camp untuk melapor.
Farrell diperkirakan bertahan di tebing itu selama lima hingga enam jam hingga bantuan tiba. “Saya berdoa kepada Tuhan agar saya bisa keluar dari sana hidup-hidup, atau hanya dengan beberapa tulang yang patah,” katanya.
“Sejujurnya, saya rela mematahkan lengan, kaki, atau semua tulang saya untuk keluar dari situasi itu,” ungkapnya lagi.
Tim penyelamat akhirnya berhasil mengangkatnya menggunakan tali darurat yang mereka rangkai dari pakaian. Farrell mengaku merasa sangat bersyukur bisa diselamatkan.
“Saya sangat bersyukur dan bersemangat. Saya suka adrenalin dan olahraga ekstrem, tetapi situasi ini hampir membuat saya jera,” jelasnya.
Harapan Perbaikan Sistem Keamanan Gunung Rinjani
Farrell turut menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Juliana Marins dan mengajukan saran terkait peningkatan sistem keamanan pendakian.
“Pertama-tama, saya ingin berduka cita atas meninggalnya Juliana dan menyampaikan belasungkawa kepada keluarganya,” ujarnya.
Ia menyadari bahwa keterbatasan sumber daya menjadi tantangan, namun menyarankan agar investasi terhadap keselamatan ditingkatkan, salah satunya dengan menaikkan biaya pendakian.
“Atau memastikan setiap kelompok memiliki setidaknya dua pemandu, sehingga salah satu dari mereka tetap berada di belakang dan dapat menawarkan semacam dukungan,” tambahnya.
Tidak Kapok, Tapi Akan Lebih Waspada
Ketika ditanya apakah ia bersedia kembali mendaki Gunung Rinjani, Farrell menjawab dengan mantap. “Tidak diragukan lagi.
Tapi saya akan lebih berhati-hati saat mendaki kedua kalinya,” tegasnya.
Setelah insiden tersebut, ia mengaku cara pandangnya terhadap hidup berubah drastis. Kini, ia mencoba hidup lebih selaras dengan nilai spiritual.
“Sejak kecelakaan saya, hubungan saya dengan Tuhan menjadi jauh lebih baik. Sekarang saya mencoba menjalani hidup dengan lebih selaras dengan nilai-nilai yang benar-benar penting bagi saya,” pungkas Farrell.
(*)