TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Setiap sore sepulang kerja, Ahmad Manshur punya satu rutinitas sederhana yang tak pernah absen: duduk di tepi kolam, menaburkan pakan, dan memanggil nama-nama ikan koi peliharaannya.
Ikan-ikan itu berwarna merah, putih, kuning, jingga bergerak lembut di air, seolah tahu betul siapa pemiliknya. Beberapa bahkan menepi dan jinak, membiarkan Manshur mengelus tubuh mereka pelan-pelan.
"Awalnya cuma buat ngilangin stres," ujar pria yang memulai hobi ini pada 2019, sebelum pandemi Covid-19 melanda.
"Kolam kecil pakai terpal, pompa sederhana, ikan cuma beli Rp50.000-an. Tapi ternyata bikin tenang banget." sambungnya saat ditemui Tribunjateng, Rabu (18/6/2025).
Ketenangan itu perlahan berubah jadi ketertarikan lebih dalam. Ia mulai membeli satu, dua ekor koi lagi.
Tapi seperti kisah para penghobi sejati, koleksi yang terus bertambah akhirnya menimbulkan percakapan serius dengan sang istri. Solusinya mulai dijual saja.
Tak disangka, saat pertama kali Manshur mencoba menjual koi lewat media sosial, langsung laku.
"Dari situ saya mulai mikir, ini bisa dibikin brand," kenangnya.
Brand Ammaurkoi pun lahir nama usaha yang kini dikenal di kalangan pencinta koi seantero Indonesia.
Belajar Sambil Jualan
Tak punya latar belakang bisnis ikan hias, Manshur membangun usahanya dengan metode klasik belajar sambil jalan.
Dia mendesain logo sendiri, memotret ikan-ikannya, lalu memposting di media sosial. Setiap kali ada yang laku, hasilnya diputar untuk beli ikan lebih bagus. Laku lagi, putar lagi.
Kini, Amor Koi bukan sekadar nama. Tempat budidayanya tidak hanya ada di rumah, tapi juga berkembang di Magelang kota berhawa sejuk yang jadi lokasi ideal untuk memelihara koi.
"Kita udah pernah kirim sampai ke Malaysia. Tapi dalam negeri juga udah hampir semua pulau besar dari Aceh sampai Papua," katanya bangga.
Ikan-ikannya tak hanya indah, tapi juga berkualitas. Satu ekor bisa dihargai hingga Rp35 juta. Bahkan ada pembelian borongan yang menyentuh angka ratusan juta rupiah.
Manshur mengenali karakter ikan-ikannya. Mulai dari yang jinak, penakut dan doyan disentuh.
Setiap pagi dan sore, ia memberi makan sendiri. Tangannya perlahan menabur pakan, kadang menyentuh air, mengelus kepala koi yang mendekat.
"Koi itu sensitif. Kalau kita sabar dan konsisten, mereka bisa kenal dan dekat," ucapnya.
Namun bukan berarti jalan selalu mulus. Tahun 2025 ini, menurut Manshur, kondisi pasar sedang lesu.
"Memang semua sektor agak turun. Tapi peluang tetap ada, tergantung kita bagaimana menjualnya, bagaimana menyampaikan nilai produk ke konsumen." keluhnya.
Meski agak menurun dibanding 2022–2023, Manshur masih bisa menjual rata-rata 10 hingga 30 ekor per bulan. Nominalnya bervariasi, tergantung ukuran dan kualitas ikan dari yang Rp15.000-an hingga jutaan rupiah.
Salah satu tantangan terbesar dalam budidaya koi adalah perubahan cuaca ekstrem dan masa karantina ikan baru.
"Kalau musim pancaroba, harus ekstra hati-hati. Ikan gampang stres. Dan kalau ada ikan baru yang belum dikarantina baik, bisa jadi masalah buat semua," terangnya.
Siapa sangka, semuanya bermula dari sembilan ekor koi angka yang menurut kepercayaan Tiongkok melambangkan keberuntungan.
Kini, sembilan itu telah berkembang jadi ratusan. Dari kolam terpal sederhana menjadi tempat budidaya profesional.
Dari hobi pelepas stres menjadi sumber penghidupan dan inspirasi. (Rad)