Kerja Sepi, Hati Letih: Fenomena Quiet QuittingKumparan | 2025-06-18T15:20:02+08:00
Pernah nggak sih kamu merasa hadir secara fisik di tempat kerja, tapi secara batin rasanya kosong? Kamu tetap datang setiap hari, menyelesaikan tugas yang diberikan, tapi hanya sebatas itu.
Tidak ada antusiasme lebih, tidak ada semangat untuk berkembang, dan bahkan, kamu mulai kehilangan keinginan untuk terlibat dalam dinamika kantor.
Kalau iya, bisa jadi kamu sedang mengalami quiet quitting diam-diam tetap kerja, tapi hati dan pikiranmu sebenarnya sudah mundur perlahan.
Fenomena quiet quitting mulai ramai dibicarakan sejak pandemi COVID-19, ketika banyak orang mulai mempertanyakan ulang makna “kerja keras”. Tapi jangan salah kaprah. Quiet quitting bukan berarti benar-benar resign atau malas bekerja. Ini adalah bentuk perlawanan yang diam-diam terhadap ekspektasi kerja yang berlebihan tanpa penghargaan yang sepadan. Ini adalah strategi bertahan hidup dari mereka yang merasa terjebak dalam sistem yang tak lagi sehat.
Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya melihat bahwa fenomena ini bukan sekadar soal kehilangan semangat, apalagi bentuk pembangkangan. Quiet quitting adalah gejala dari sesuatu yang lebih dalam: rusaknya komunikasi dalam lingkungan kerja. Banyak karyawan yang merasa tidak punya ruang untuk menyuarakan ide, apalagi kritik. Hubungan antara atasan dan bawahan terasa kaku, bahkan dingin. Semua berjalan formal dan penuh jarak. Dalam situasi seperti ini, tidak heran kalau semangat kerja mulai memudar.
Sering kali, yang dilupakan perusahaan adalah bahwa karyawan bukan hanya mesin produksi. Mereka punya emosi, harapan, dan kebutuhan untuk merasa dihargai. Ketika mereka tidak lagi merasa didengar atau dianggap penting, perlahan mereka akan berhenti menunjukkan inisiatif. Mereka tidak akan keluar secara terang-terangan karena mungkin masih butuh gaji atau takut kehilangan pekerjaan tapi mereka berhenti “hadir sepenuhnya”.
Cerita-cerita seperti ini bukan fiksi. Di Indonesia, kita bisa dengan mudah menemukannya di linimasa Twitter, utas di LinkedIn, atau obrolan santai di grup pertemanan. Ada karyawan yang merasa tak pernah dilibatkan dalam keputusan penting, meskipun ia orang yang paling tahu kondisi lapangan. Ada yang berkali-kali mengajukan ide, tapi selalu dipatahkan tanpa alasan jelas. Ada juga yang ingin memberi masukan, tapi takut dianggap pembangkang. Semua ini menumpuk menjadi kelelahan emosional yang tak bisa disembuhkan hanya dengan bonus akhir tahun atau outing kantor ke puncak.
Padahal, semua ini bisa dicegah—bahkan diubah—kalau organisasi mau memperbaiki satu hal mendasar: iklim komunikasi. Komunikasi di tempat kerja bukan hanya soal menyampaikan instruksi, tapi juga soal menciptakan ruang yang aman untuk berdialog. Ketika komunikasi berjalan dua arah, kepercayaan mulai tumbuh. Karyawan merasa mereka bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mereka merasa punya nilai. Dan ketika seseorang merasa dihargai, mereka akan memberi yang terbaik, bukan karena disuruh, tapi karena ingin.
Sayangnya, banyak perusahaan masih terpaku pada struktur hierarkis yang kaku. Komunikasi lebih mirip monolog daripada dialog. Atasan berbicara, bawahan mendengarkan. Ide datang dari atas, lalu disuruh dijalankan di bawah, tanpa ruang untuk mempertanyakan atau memperbaiki. Ketika karyawan mulai menarik diri dan kehilangan semangat, mereka disalahkan. Dicap “tidak loyal”, “kurang motivasi”, atau bahkan “manja”.
Padahal, loyalitas tidak muncul dari tekanan. Ia tumbuh dari rasa dimiliki dan didengarkan. Perusahaan yang benar-benar ingin membangun budaya kerja yang sehat harus mulai membuka mata bahwa kepuasan kerja bukan hanya soal uang, tapi juga soal hubungan antarmanusia. Karyawan tidak butuh atasan yang sempurna, tapi mereka butuh atasan yang mau mendengarkan. Mereka tidak minta semua idenya diterima, tapi mereka ingin merasa bahwa suara mereka punya arti.
Karena itu, quiet quitting seharusnya bukan dianggap sebagai masalah karyawan semata, tapi sebagai cermin bagi organisasi. Jika semakin banyak orang yang memutuskan untuk “hadir secara fisik tapi tidak secara emosional”, maka ada sesuatu yang salah dalam sistemnya. Ini bukan soal malas, tapi soal lelah yang tak pernah diberi ruang untuk bicara.
Di akhir hari, semua kembali pada satu pertanyaan: apakah tempat kerjamu adalah ruang untuk tumbuh atau sekadar tempat untuk bertahan hidup? Jika jawabannya yang kedua, mungkin sudah saatnya bukan karyawan yang dievaluasi melainkan budaya komunikasinya.
Baca Lebih Lanjut
5 Fenomena Aneh yang Pernah Terjadi di Indonesia
Detik
Fenomena Gunung Baru di Jawa Tengah, Kenapa Bisa Muncul?