TRIBUNNEWS.COM - Mahasiswa bernama Pratama Wijaya Kusuma meninggal diduga karena mendapat penganiayaan seniornya saat mengikuti pendidikan dan latihan dasar (diksar) Unit Kegiatan Mahasiswa Ekonomi Pecinta Lingkungan (Mahapel).
Menanggapi hal tersebut, kuasa hukum Mahapel, Chandra Bangkit mengatakan, korban meninggal dunia bukan karena kontak fisik.
Ia menuturkan, kegiatan diksar yang diselenggarakan Mahapel sudah sesuai prosedur dan sudah mendapat izin dari pihak kampus.
Terkait sejumlah luka yang dialami peserta, ia menuturkan luka tersebut bukan dari penganiayaan atau tindakan kekerasan.
"Luka-luka seperti lebam itu timbul akibat benturan alami seperti terkena ranting pohon, atau saat merayap di medan yang berat,"
"Jadi tidak ada yang namanya kekerasan dalam bentuk fisik, tapi kalau push up, sit up, squat jump itu memang ada, dan itu dilakukan sesuai prosedur," ujar Bangkit, Selasa (3/6/2025).
Kepada TribunLampung.co.id, ia juga mengklarifikasi soal mahasiswa yang diminta minum spiritus.
"Memang insiden itu ada tapi kejadian tersebut adalah murni tidak sengaja, karena saat itu almarhum Pratama sempat mengambil botol yang dikira air minum, padahal itu adalah spiritus untuk memasak,"
"Tapi yang perlu diketahui, cairan (spirtus) itu tidak sempat diminum dan tidak menimbulkan dampak kesehatan apa pun," imbuhnya.
Bangkit juga menuturkan, Pratama juga sudah sakit sejak awal kegiatan.
"Jadi Pratama ini masih aktif mengikuti kegiatan kampus pada Februari, dan mulai sakit baru sekitar pertengahan Maret (antara tanggal 10-26), sehingga tidak dapat langsung dikaitkan dengan kegiatan Diksar di bulan November," kata dia.
Di sisi lain, Ketua Mahapel, Ahmad Fadilah juga menuturkan saat diksar ada kegiatan fisik.
Namun, pihaknya tak pernah melakukan kekerasan fisik terhadap para peserta.
"Untuk push up, sit up, dan yang lainnya itu merupakan aktivitas untuk menjaga stamina apalagi kegiatan tersebut memang berada di alam, jadi bukan sekedar dihukum," kata Fadilah.
Terkait long march yang disebut 15 jam, ia menyebutkan hanya lima hingga enam jam.
"Kemudian untuk isu yang long march itu sebenarnya efektifnya bukan 15 jam, karena di situ ada istirahat makan, solat, jadi efektifnya itu paling cuma 5-6 jam," imbuhnya.
Diketahui, korban tewas diduga dianiaya seniornya saat ikut diksar pada 10-14 November 2024 di Gunung Betung, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
Sementara korban dinyatakan meninggal dunia pada 28 April 2025.
Pihak Unila pun turun tangan dengan membuat tim investigasi.
Tim investigasi tersebut juga bekerja sama dengan Polda Lampung untuk mengungkap kematian Pratama.
Wakil Rektor Kemahasiswaan dan Alumni Unila, Sunyono mengonfirmasi hal tersebut.
Ia menuturkan, pihak kampus telah melibatkan berbagai unsur untuk melakukan investigasi.
"Tadi pagi tim kami juga sudah ke Polda Lampung dalam rangka koordinasi berkaitan dengan dugaan kekerasan yang berakibat pada meninggalnya Pratama," ujarnya, Selasa (3/6/2025).
Sunyono mengatakan, tim investigasi juga berisikan mahasiswa kampusnya.
"Di dalam tim ini juga, karena ini berkaitan dengan mahasiswa, tim juga melibatkan mahasiswa di dalam investigasi,"
"Mohon bersabar dan menunggu, semoga hasilnya secepat mungkin karena tadi kami meminta agar cepat diproses," terusnya.
(Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto)(TribunLampung.co.id, Hurri Agusto/Bayu Saputra)