TRIBUNJATIM.COM - Seorang balita 14 bulan bernama Arumi, diduga menjadi korban malapraktik.

Ibunya, Marliana (34) menangis tiap malam karena kondisinya.

Pasalnya, tangan Arumi kini tak utuh lagi setelah diamputasi gara-gara pemasangan infus.

Belum lagi, Arumi juga kesakitan.

Marliana berasal dari Desa Tambe, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Marliana ingin keadilan ditegakkan setelah anaknya kehilangan tangan kanan, tepatnya dokter telah melakukan amputasi pada telapak dan jari tangan kanannya.

Bukan amputasi biasa, penyebabnya diduga karena malapraktik alias salah dalam memberikan penanganan menyuntik jarum infus.

Marliana mengungkap kronologi anaknya mengalami dugaan malapraktik tersebut. 

Pada 10 April 2025, Arumi dibawa ke IGD Puskesmas Bolo.

Awalnya, perawat memasang infus di tangan kiri, namun muncul pembengkakan.

Marliana melapor ke petugas, infus dicabut, dan beberapa jam kemudian dipasang kembali di tangan kanan.

Keesokan harinya, Arumi dipindahkan ke ruang rawat anak.

Empat hari berselang tanpa perbaikan kondisi, Marliana meminta rujukan ke RSUD Sondosia.

Tapi sebelum berangkat, perawat kembali menyuntikkan obat lewat infus di tangan kanan, meskipun Marliana sempat memperingatkan adanya pembengkakan. 

"Katanya itu cuma efek plester," kenang Marliana, melansir dari Tribunnews, Senin (2/6/2025).

Namun hanya beberapa jam setelah penyuntikan, Arumi mulai kesakitan.

Tangan kanannya membengkak hebat.

Infus dicabut.

Marliana berinisiatif mengompres dengan air hangat sambil menahan panik.

Di RSUD Sondosia, Arumi kembali diinfus di tangan kiri.

Meski kondisinya tampak membaik, tangan kanannya semakin parah—bengkak, menghitam, keras, hingga jari-jarinya kaku.

Marliana meminta rujukan ke RSUD Bima, namun ditolak. Ia hanya diberi salep dan suntikan.

"Akhirnya saya nekat ke IGD sambil menangis, gendong anak saya, minta dirujuk secara paksa," ujarnya.

Sesampainya di RSUD Bima pada 15 April malam, Marliana justru mendapat respons yang mengecewakan.

Dokter jaga menyepelekan kondisi Arumi.

“Dibilang hanya peradangan biasa, nanti juga kempes sendiri,” ujar Marliana, menirukan jawaban dokter.

Ketika ia mengungkapkan kekhawatiran akan risiko amputasi, perawat malah menanggapi dengan meremehkan.

“Tidak usah terlalu tinggi pikirannya, Bu. Anak Ibu baik-baik saja selama tidak menangis histeris,” katanya.

Padahal malam itu, Arumi demam tinggi dan terus muntah.

Tak ada pemeriksaan fisik yang berarti sampai keesokan harinya, 16 April pukul 11.00, Marliana menangis histeris. 

Barulah dokter spesialis datang, memeriksa, dan segera memutuskan operasi darurat.

Hasilnya sungguh menyayat hati: jari-jari Arumi tidak bisa diselamatkan.

Infeksi berat akibat bakteri dari bekas suntikan telah menyebar.

Pada 18 April malam, kondisi tangan Arumi makin memburuk.

Ia dirujuk ke RSUP Mataram, menempuh perjalanan darat sekitar 13 jam.

Di sana, dokter menyatakan bahwa satu-satunya cara menyelamatkan nyawanya adalah amputasi sebagian tangan.

Pada 12 Mei 2025, Arumi menjalani amputasi di bagian telapak dan jari tangan kanan. Sejak itu, ia harus menjalani rawat jalan intensif, kontrol setiap tiga hari, dan menanti operasi pencangkokan kulit tahap berikutnya.

“Sekarang Arumi masih sering demam, muntah, dan trauma pada bau obat. Bahkan untuk makan pun sulit, dia cuma mau susu,” ujar Marliana.

Marliana dan suaminya kini tidak bekerja.

Sejak awal masa pengobatan, mereka harus melepas pekerjaan demi mendampingi Arumi.

Biaya hidup ditopang dari donasi yang tak seberapa, sementara pengobatan belum bisa dipastikan kapan selesai.

Laporan ke Polres Bima sudah dilakukan.

Menurut Marliana, polisi telah memanggil saksi dari Puskesmas Bolo, RSUD Sondosia, dan RSUD Bima.

Namun hingga kini, ia belum mengetahui perkembangannya.

Ia juga telah mengadukan kasus ini ke Dinas Kesehatan, PPNI Kabupaten Bima, Ombudsman di Mataram, hingga MDP di Jakarta.

Semuanya belum memberi tanggapan.

Marliana tak ingin anaknya menjadi sekadar angka dalam catatan kasus medis. 

Ia ingin pertanggungjawaban, kejelasan, dan keadilan.

Ia tak menuntut balas, hanya ingin ada yang mengakui bahwa ada yang salah, dan memperbaikinya agar tak ada lagi anak lain yang mengalami hal serupa.

“Anak saya kuat karena doa orang-orang baik. Tapi saya mohon, bantu kami mendapatkan keadilan. Jangan sampai ini terjadi ke anak-anak yang lain,” tuturnya lirih.

Berita Lain

Viral kasus perut pasien anak 11 tahun berisi emas batangan.

Dokter syok saat mengetahui hal tersebut.

Kasus anak telan emas batangan ini viral di media sosial China.

Kondisi terbaru si anak pun terungkap.

Anak umur 11 tahun itu berasal dari Suzhou, provinsi Jiangsu.

Ia menelan sebatang emas murni seberat 100 gram, dan tindakannya memicu gelombang keheranan, kekhawatiran, dan perbincangan publik.

Menurut laporan dari Modern Express, anak laki-laki bermarga Qian itu awalnya sedang bermain di rumah seperti biasa. 

Tidak ada yang menyangka bahwa di tengah aktivitas polosnya, ia memutuskan untuk menelan batang emas yang entah bagaimana berada dalam jangkauannya.

Setelah kejadian, ia mengaku kepada orang tuanya bahwa perutnya terasa sedikit membengkak, meskipun tidak mengeluhkan rasa sakit atau gejala lain yang mencurigakan. 

Orang tuanya, diliputi kecemasan, segera membawanya ke Rumah Sakit Anak Afiliasi Universitas Suzhou, melansir dari TribunTrends.

Pemeriksaan X-ray mengungkap keberadaan benda logam padat dengan kepadatan tinggi yang tersangkut di saluran usus anak tersebut. 

Karena kondisinya relatif stabil, tim medis memilih pendekatan konservatif terlebih dahulu, yaitu dengan memberikan obat pencahar, berharap batang emas itu akan keluar secara alami.

Namun setelah dua hari tanpa hasil, dan setelah pemeriksaan lanjutan menunjukkan benda tersebut tidak bergerak, dokter mulai mempertimbangkan risiko komplikasi serius seperti penyumbatan atau bahkan perforasi usus.

Akhirnya, tim medis memutuskan untuk melakukan prosedur pengangkatan menggunakan teknik endoskopi, metode yang minim sayatan dan lebih aman dibandingkan operasi terbuka. 

Dua ahli bedah bekerja sama dalam operasi tersebut, yang berlangsung selama 30 menit. 

Meski tantangan teknis muncul akibat ukuran dan permukaan batang emas yang licin, operasi berjalan lancar, dan emas berhasil dikeluarkan dengan aman.

Anak tersebut menunjukkan tanda-tanda pemulihan cepat.

Ia sudah bisa makan secara normal hanya dua hari setelah prosedur dan dipulangkan tak lama kemudian setelah dokter memastikan kondisinya stabil.

Ketika berita ini tersebar di media sosial, publik merespons dengan campuran antara rasa tak percaya dan humor. 

Banyak yang mengomentari ukuran emas yang ditelan, dan bahkan ada yang bergurau, “Apa dia pikir itu cokelat batangan?” 

Tak sedikit pula yang mengungkapkan keheranan atas keberanian (atau keluguan) anak tersebut, dan mempertanyakan bagaimana bisa benda sebesar itu ditelan tanpa menimbulkan rasa sakit berarti.

Baca Lebih Lanjut
Sadis! Perampokan di Serang Banten, Istri Tewas dengan Tangan Terikat, Suami Dibungkus Karung, Anak Histeris
Ayu Wulansari K
Kisah Seorang Ibu Kesal Kursi Anaknya Direbut Penumpang Lain
Detik
Cara Ampuh Hilangkan Lem Korea di Tangan, Bukan Cuma Pakai Air
Konten Grid
Kata Terakhir Siswa SD yang Meninggal setelah Dikeroyok Rekan Sebaya, Tunjuk Bagian yang Kena Pukul
Tiffany Marantika Dewi
Cerita Santi dan Potret Pertamanya di Monas
Detik
Pegawai Kejagung Dibacok di Depok, Tak Ada Barang Korban yang Hilang
Detik
7 Manfaat Sehat Makan Buah Tiap Pagi, Selain Sehatkan Pencernaan
Detik
10 Minuman yang Bikin Awet Muda, Bagus Dikonsumsi Tiap Pagi
Detik
Jeritan Anak Korban Perampokan Sadis di Serang, Ibu Tewas Terikat dan Ayah Kritis Usai Dimasukkan dalam Karung
Irene Cynthia
Penerjun Payung Wanita Jade Damarell di Inggris, Tewas Setelah Diduga Sengaja Tak Membuka Parasut
Timesindonesia