Oleh: Willy Kumurur
Penikmat Bola

KETIKA dunia menjadi obyek persepsi kita, kita berasumsi bahwa dunia itu diam di sana: mati dan tak berarti.

Namun dunia tidak hanya ada, ia muncul dan menampilkan dirinya kepada kita melalui lapisan-lapisan interpretasi.

Filsuf William James berbincang tentang pengalaman kita terhadap dunia sebagai sesuatu yang 'tebal' – penuh dengan lapisan-lapisan makna, pemahaman, konseptualisasi, interpretasi, maksud, dan sebagainya.

Dunia tak hanya diam di sana dan dipersepsikan secara pasif. Ia terbungkus dalam selimut interpretatif yang aktif dan terus berubah.

Apa yang kita persepsikan sebagai dunia bukanlah permukaan realitas yang tipis. Kita selalu menyentuh dunia melalui ketebalan makna yang menyelimutinya.

Demikianlah yang terjadi dengan Paris Saint-Germain (PSG), klub sepakbola Prancis, yang berusaha mewujudkan mimpi untuk menjadi juara Liga Champions demi memeteraikan diri sebagai klub top Eropa bahkan dunia.

Klub ini menganggap bahwa jalan ke arah puncak adalah dengan merekrut para bintang top dunia.

Maka pada tahun 2021 direkrutlah Lionel Messi sehingga pada musim itu PSG memiliki trio pemain depan yang hebat: Kylian Mbappe, Neymar Jr dan Lionel Messi.

Hasilnya? Jauh sebelum final PSG sudah tersingkir dari gelanggang.

Apalagi, mereka diasuh oleh pelatih-pelatih medioker seperti Mauricio Pochettino dan Christophe Galtier yang didikte oleh Mbappe.

Lalu bagaimana tim yang dahulu dikenal dengan ego dan bintang-bintang individualnya menjelma menjadi skuad paling tidak egois dan terstruktur yang pernah dikenal Paris?

Adalah Luis Enrique yang datang dan membuka selubung dan selimut interpretatif yang membungkus 'dunia' PSG.

“Ligue 1 Prancis sering diejek sebagai liga yang lemah oleh komentator Inggris. Liga kita dijuluki liga petani, bukan? Kita adalah liga petani," ujar Luis Enrique.

Dengan sistematis, Enrique membuka lapis demi lapis ketebalan 'dunia' kubu PSG. Enrique 'mendamprat' Kylian Mbappe,

"Anda berpikir bahwa yang harus Anda lakukan hanyalah mencetak gol. Namun bagi saya, itu tidak cukup. Pemimpin sejati adalah seseorang yang jika tidak dapat membantu mencetak gol, harus bisa membantu dalam pertahanan. Jika Anda tidak bisa melakukannya silakan minggir."

Inilah inti filosofi Luis Enrique, seperti yang dikatakan oleh bek Lucas Hernández kepada wartawan tentang gaya pelatihnya.

"Jika Anda tidak melakukan apa yang dimintanya, Anda tidak akan bermain. Dan karena kami semua ingin bermain, maka kami semua melakukan persis apa yang dia katakan."

Sebelumnya, PSG adalah tim yang dijalankan dan dikelola secara efektif oleh para pemain bintangnya.

Jika pemain seperti Zlatan Ibrahimovic (bintang PSG, 2012-2016) tidak ingin melakukan sesuatu, pelatih tidak berkutik.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Neymar, Messi, Mbappé dan lainnya. Para pemain selalu merasa berada di atas para pelatih.

Berbeda dengan Luis Enrique. Sebagai bos, dia bisa sangat keras kepala -- membangun tim ini menurut citranya, sesuai dengan prinsip-prinsip pergerakan, fluiditas, struktur, dan etos kerjanya.

Tidak ada seorangpun pemainnya yang bisa mendikte dia, termasuk Mbappe (sebelum ia hijrah ke Real Madrid). Enrique ingin agar PSG bermain sebagai sebuah tim yang sebenarnya.

Inilah hasil transformasi PSG. Saat mereka tertinggal 2-0 dari Manchester City di Parc des Princes setelah gol dari Jack Grealish dan Erling Haaland dalam 10 menit pertama babak kedua.

Namun kemudian PSG menghajar balik Manchester City dengan skor 4-2.

Setelah itu PSG menyingkirkan klub-klub top Inggris masing-masing Liverpool, Aston Villa dan Arsenal untuk melaju ke final.

Surat kabar terkemuka Prancis, Le Monde, menulis: Luis Enrique, l'architecte de la transformation du PSG (Luis Enrique, arsitek transformasi PSG).

Lawan PSG di final Liga Champions adalah Inter Milan yang diarsiteki oleh Simone Inzaghi.

Inzaghi masih merasa sakit hati atas kekalahan Inter dari Manchester City di final Liga Champions 2023 yang digelar di Istanbul.

Pelatih itu memperingatkan Enrique bahwa PSG ‘harus waspada terhadap Inter’ di final Liga Champions.

“Saya tahu PSG mempunyai pelatih yang sangat saya kagumi. Kami harus agresif dan bekerja keras. Jika kami ingin masuk dalam buku sejarah, maka Inter Milan harus memenangkan laga melawan PSG,” pungkas Inzaghi.

Kedua filsuf bola itu -Enrique dan Inzaghi- berada dalam ambisi yang sama yaitu menulis sejarah.

Dengan kondisi seperti itu, mereka memimpin pasukannya memasuki gelanggang pertempuran,

Allianz Arena di Munich - Jerman. Mereka sama-sama berada dalam alam mimpi indah menjadi juara Liga Champions.

Impian mereka berisi harapan. Fyodor Dostoevsky, seorang novelis Rusia, menulis, hidup tanpa harapan berarti berhenti hidup. Siapakah yang berhasil masuk dalam buku sejarah?****

 

Baca Lebih Lanjut
Ousmane Dembele Senjata Rahasia PSG Hadapi Inter di Final Liga Champions
Timesindonesia
Final Liga Champions: PSG Dijagokan karena...
Detik
Jelang Final Liga Champions, Ousmane Dembele: PSG Miliki Mentalitas Pemenang
Liga Olahraga
Final Liga Champions: Inter Milan Pilih Seragam Kuning Emas Lawan PSG
Timesindonesia
PSG Vs Inter: Iniesta Singgung soal Mentalitas
Detik
Final Liga Champions: PSG Mengharap 'Tuah' Munich
Detik
Iniesta Merasa PSG Vs Inter Bakal Berjalan Menarik
Detik
Final Liga Champions Jadi Momen Penebusan Inter Milan
Timesindonesia
Juara Piala Prancis, Modal Berharga PSG Jelang Final Liga Champions
Timesindonesia
Final Liga Champions: Lautaro Martinez Ditunggu 2 Torehan
Detik