TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Di antara kuliner legendaris yang masih bertahan di kawasan Pasar Gede Solo, Jawa Tengah, yang masih bertahan sampai saat ini adalah Tahok Pak Citro.

Tahok Pak Citro bukanlah usaha kuliner instan, kisahnya bermula dari Pak Citro selama beberapa dekade menjajakan Tahok di kawasan yang sama.

Kini usahanya itu diteruskan oleh putranya yang bernama Maryanto atau akrab disapa Pak Sentot.

Sejarah Tahok Pak Citro

Tahok Pak Citro ini terbilang cukup legendaris di Kota Solo, sebab disebut-sebut sudah ada sejak tahun 1968.

Awalnya, Tahok Pak Citro dijual dengan cara dipanggul dan berkeliling dari satu daerah ke daerah lain.

Nama Tahok Pak Citro diambil dari nama penjual tahok yaitu Citro Suwito.

Saat pertama kali berjualan, Tahok Pak Citro dijual seharga lima rupiah.

Nikmatnya Tahok, kuliner khas Solo.
Nikmatnya Tahok, kuliner khas Solo. (Kompas.com/Inadha Rahma Nidya)

Setelah itu, Tahok Pak Citro hanya mangkal di tepi jalan daerah Pasar Gede.

Tahok Pak Citro menetap di Pasar Gede selama lebih dari 20 tahun.

 Saat ini Tahok Pak Citro tidak lagi dipikul, melainkan menggunakan gerobak.

Tahok Pak Citro berlokasi di Jalan Suryopranoto No 21, Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Tahok Pak Citro buka setiap hari mulai pukul 06.00 WIB hingga sekitar pukul 11.00 WIB dan hanya berada di Pasar Gede dan tidak memiliki cabang.

Saat ini Tahok Pak Citro diteruskan ke generasi kedua yakni Maryanto.

Setiap malam pukul 00.00 WIB, Maryanto memulai aktivitasnya.

Kedelai direndam, digiling, disaring, lalu dimasak dengan takaran yang presisi: gula tiga kilogram, jahe satu kilogram, dan tambahan pandan serta sereh yang melimpah.

Kombinasi itu menghasilkan kuah manis-pedas yang menghangatkan, sempurna dipadukan dengan tekstur lembut Tahok yang terbuat dari sari kedelai murni.

Meski persiapannya menguras tenaga, Tahok milik Maryanto selalu ludes sebelum pukul 08.30 WIB. Dalam sehari, ia bisa menjual hingga 80 mangkok.

Namun, ia sengaja tidak menambah produksi demi menjaga kualitas dan menyisakan waktu untuk beristirahat.

Tahok: Kuliner Akulturasi yang Menyehatkan

Tahok sejatinya bukan kuliner asli Jawa.

Hidangan ini merupakan akulturasi budaya Tionghoa, yang dibawa oleh perantau Tionghoa ke kawasan Pasar Gede.

Nama Tahok berasal dari kata tao/teu (kacang kedelai) dan hoa/hu (lumat), yang secara harfiah berarti “kedelai lumat”.

Selain lezat dan menghangatkan, Tahok juga kaya manfaat.

Kandungan kedelainya berfungsi sebagai sumber kalsium alami, memperkuat tulang, serta membantu mencegah osteoporosis.

Bahkan, menurut studi, senyawa isoflavon dalam kedelai berpotensi menunda menopause dan mencegah kanker prostat.

(*)

Baca Lebih Lanjut
4 Kuliner Betawi yang Tetap Digemari dari Dulu hingga Kini
Detik
Minyak Ayam Goreng Widuran Tak Halal dan Makanan Haram di Solo
Detik
Lestarikan Ragam Kuliner, Summarecon Hadirkan Eksibisi The Gading Archive
Detik
5 Tempat Makan Lokal Terenak di Indonesia, Ada Mak Beng dan Yu Djum
Detik
Tahu Telur Bu Nanuk Malang, Pedasnya Bikin Nangis, Gurihnya Bikin Ketagihan
Timesindonesia
5 Kuliner Nonhalal Favorit di Malang, Ada Sate hingga Bakso
Detik
Museum Tionghoa di Sukabumi kisahkan masa lampau etnis Tionghoa
Antaranews
Mahasiswa BIIP Polinema Suguhkan Expo Wisata dan Kuliner Bertema Keberlanjutan
Timesindonesia
Kajoetangan Heritage: Romantika Tempo Dulu di Tengah Kota Malang yang Terus Bergerak
Timesindonesia
Warung Pondasi Blitar, Kopi Pinggir Jalan yang Jadi Simbol Kebersamaan dan Trendsetter Anak Muda
Timesindonesia