TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Di tengah rimbunnya pepohonan Gunungpati, Kota Semarang, suara malam bersahutan dengan aroma kayu dan dedaunan basah.
Namun siapa sangka, dari sebuah rumah sederhana di Jalan Watusari, Kelurahan Pakintelan, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, lahir karya-karya batik alami yang kini mewarnai dunia dari Asia hingga Amerika.
Pemiliknya, Putri Merdekawati, bukan perancang busana atau pebisnis tekstil ternama.
Dia adalah mantan karyawan swasta yang memilih pulang kampung dan memulai segalanya dari nol dengan satu tekad, menciptakan batik yang ramah lingkungan, yang lahir dari akar budaya dan cinta pada bumi.
"Awalnya saya belajar dari teman, sekadar coba-coba."
"Tetapi lama-lama saya merasa ini bukan sekadar kain bermotif, ini adalah cara saya berdamai dengan alam," ujar Putri sambil menunjukkan lembaran batik yang baru selesai dijemur di teras rumah produksinya yang dikelilingi kebun, Minggu (25/5/2025).
Putri tak menggunakan pewarna kimia.
Dia meracik warna dari daun ketapang, batang kayu secang, kayu tegeran, dan aneka tanaman yang ditanam sendiri di pekarangan rumah.
Bahkan limbah dapur pun dimanfaatkan.
Untuk motif, dia gunakan daun jati, daun kelengkeng, bahkan daun alpukat semuanya dari alam.
Motif batik terus dia kembangkan setiap 2 hingga 3 bulan, mengikuti tren pasar yang dia riset sendiri.
Bagi Putri, motif bukan hanya soal estetika, tetapi cerita.
"Setiap pola ada kisahnya, ada harapan, ada doa untuk alam dan manusia," katanya.
Usaha yang dia rintis sejak 2017 itu kini memiliki 13 karyawan, dimana mayoritas ibu-ibu sekitar yang sebelumnya tak punya penghasilan tetap.
Mereka diajak belajar, diberi kesempatan, dan kini ikut menggerakkan roda ekonomi kecil dari pinggiran hutan.
Batik buatan Putri, yang dinamai Batik Warna Alam Si Putri, telah menjelajah dunia, mulai dari Jepang, Korea, Jerman, Kanada, hingga Amerika Serikat.
Bahkan pernah mendapat pesanan eksklusif dari Hotel Burj Khalifa di Dubai untuk pewarnaan bahan furniture bukan kain.
"Siapa sangka, dari daun-daunan yang jatuh di tanah, bisa sampai ke hotel tertinggi di dunia," ujarnya.
Harga batiknya berkisar dari Rp300 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung tingkat kerumitan dan motif.
Omzet per bulan Rp35 juta hingga Rp40 juta.
Tetapi bagi Putri, angka itu bukan segalanya.
"Yang lebih penting adalah semangat kami menjaga lingkungan tetap hidup dan para perajin bisa sejahtera tanpa harus merusak alam," ucapnya.
Bagi Putri, batik bukan hanya warisan budaya.
Ini adalah warisan hati yang merangkul bumi, manusia, dan masa depan.
Dari pinggiran Semarang, suara dedaunan kini berbicara ke dunia, lewat tangan-tangan kecil yang bekerja dengan cinta. (*)