TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Fenomena perundungan di media sosial kembali memantik perhatian publik.
Kali ini, Umi Pipik, istri mendiang Ustaz Jefri Al Buchori, mengambil langkah tegas dengan melaporkan dua akun media sosial ke Polda Metro Jaya.
Tindakan ini diambil sebagai bentuk perlawanan terhadap ujaran kebencian yang kian marak di dunia maya.
Dalam pernyataannya kepada awak media, Kamis (22/5/2025), Umi menegaskan bahwa keputusan tersebut bukan didorong oleh emosi semata.
Ia ingin memberikan efek jera bagi pelaku perundungan, sekaligus membentuk kesadaran hukum di tengah masyarakat.
“Kalau semua bisa mencuit, membully, lalu minta maaf dan selesai, orang akan anggap itu hal biasa. Tidak akan pernah ada jera,” ujarnya di SPKT Polda Metro Jaya.
Tak Lagi Beri Maaf, Demi Perlindungan yang Lebih Luas
Umi Pipik menyadari bahwa selama ini dirinya cenderung memaafkan, bahkan ketika menghadapi komentar kasar dan tuduhan tidak berdasar.
Namun, menurutnya, sikap pemaaf yang berulang justru bisa menormalisasi perilaku buruk netizen di ruang digital.
“Kalau terus dimaafkan, nanti akan diulang-ulang. Saya ingin biarkan hukum yang bicara, ini bukan hanya soal saya, tapi pembelajaran untuk semua,” tegasnya.
Ia menambahkan, laporan ini menjadi simbol bahwa publik figur juga berhak mendapatkan perlindungan hukum, sama seperti masyarakat umum.
Dukungan Abidzar: Proses Hukum Adalah Jalan Terbaik
Dukungan penuh diberikan oleh putra sulungnya, Abidzar Al Ghifari, yang juga ikut hadir dalam pelaporan tersebut.
Menurut Abidzar, ini bukan kali pertama keluarganya menjadi korban ujaran kebencian.
“Saya sudah pernah coba damai, tapi nggak ada efeknya. Proses hukum seperti ini memang harus dijalankan agar ada pelajaran,” ucap Abidzar.
Dengan pelaporan ini, keluarga Umi Pipik berharap publik semakin sadar bahwa media sosial bukan tempat bebas tanpa batas.
Sementara itu, kuasa hukum Umi Pipik, Rendy Anggara Putra, menjelaskan bahwa laporan sudah diterima pihak kepolisian dan akan diproses sesuai aturan.
Ia tidak menutup kemungkinan upaya restorative justice, tetapi hanya jika kasus sudah masuk tahap penyidikan.
“Kita tidak serta-merta menutup ruang damai. Tapi harus ada itikad baik dan proses hukum tetap berjalan. Jangan sampai ada impunitas digital,” ujar Rendy.
Ia menegaskan, laporan ini dilengkapi bukti tangkapan layar, meskipun akun pelaku sempat menghilang.
Kasus Umi Pipik menjadi peringatan bagi para pengguna media sosial agar lebih bijak dalam menyampaikan opini.
Menyebarkan ujaran kebencian, fitnah, atau melecehkan seseorang, apalagi tanpa bukti, dapat berujung pada proses hukum.
Di era digital ini, jejak digital tak pernah benar-benar hilang. Siapa pun bisa dimintai pertanggungjawaban atas ucapannya, baik dalam kolom komentar maupun postingan pribadi.
Kesimpulan: Langkah Tegas Umi Pipik Demi Ciptakan Media Sosial yang Sehat
Dengan melaporkan dua akun sosial media ke Polda Metro Jaya, Umi Pipik menunjukkan bahwa tidak ada toleransi bagi perundungan di dunia maya.
Langkah ini bukan sekadar reaksi pribadi, melainkan wujud kepedulian terhadap situasi yang lebih luas—dimana publik figur dan masyarakat umum sering menjadi sasaran komentar merendahkan tanpa dasar.
Proses hukum yang berjalan diharapkan bisa menjadi contoh dan memperkuat kesadaran bahwa media sosial adalah ruang publik yang juga tunduk pada hukum. (*)