TRIBUN-MEDAN.com - Seorang istri memutuskan untuk merekam secara diam-diam perilaku suaminya dengan memasang kamera tersembunyi di dalam rumah.
Niat awalnya adalah mengumpulkan bukti untuk proses perceraian.
Namun yang tidak ia duga, justru rekaman tersebut membuka kenyataan yang jauh lebih menyakitkan.
Wanita yang identitasnya dirahasiakan itu menyewa seorang teknisi untuk memasang tiga kamera tersembunyi di rumah mereka yakni di ruang tamu, kamar tidur utama, dan kamar tidur anak.
Ia tidak memberi tahu suami maupun anak-anaknya tentang keberadaan kamera tersebut.
Saat itu, ia mengaku sedang menyusun langkah hukum untuk mempersiapkan perceraian setelah bertahun-tahun mengalami kekerasan, baik fisik maupun verbal, dari sang suami.
Pada malam hari setelah pemasangan kamera, sang suami pulang dalam keadaan mabuk, seperti yang sering terjadi sebelumnya.
Ia sempat mondar-mandir di sekitar rumah, kemudian menuju kamar tidur di mana sang istri berada.
Tanpa alasan yang jelas, ia mulai memaki dan menyerang istrinya secara fisik.
Namun berbeda dari biasanya, kali ini sang istri tidak melawan. Ia diam dan menahan sakit, karena tahu seluruh kejadian terekam kamera.
Keesokan harinya, perempuan tersebut menonton ulang rekaman itu dari ponselnya. Ia merasa lega karena kini memiliki bukti visual atas perlakuan kejam suaminya.
Namun perasaannya hancur ketika membuka rekaman dari kamar anak mereka.
Anak laki-lakinya, yang saat itu sedang belajar, tampak panik begitu mengetahui ayahnya pulang dalam keadaan mabuk.
Ia tidak keluar menyambut, melainkan mencari tempat bersembunyi.
Anak itu akhirnya duduk meringkuk di bawah meja belajar, menutup telinganya dengan kedua tangan sambil menangis dan gemetar ketakutan. Ia tertidur di bawah meja dalam posisi yang sama.
Melihat rekaman tersebut, sang ibu menangis.
Ia mengaku tidak menyadari bahwa selama ini anaknya memahami dan merasakan semua kekerasan yang terjadi.
Ia selama ini mengira anaknya tertidur, atau tidak tahu, karena setiap kali mengalami kekerasan, ia selalu berusaha menyembunyikan luka-lukanya dan berbohong bahwa ia terjatuh secara tidak sengaja.
Kesadaran bahwa anaknya telah menjadi korban trauma emosional membuat perempuan tersebut menyesali keputusannya untuk menunda perceraian demi mengumpulkan bukti.
Ia mengaku terlalu fokus pada strategi hukum dan hak asuh, sampai lupa bahwa semakin lama ia bertahan, semakin besar luka yang diderita oleh anak mereka.
Pada hari itu juga, ia langsung mengajukan gugatan cerai ke pengadilan dan mulai mencari bantuan profesional untuk memulihkan kondisi psikologis anaknya.
Ia berharap kisahnya menjadi pelajaran bagi para orang tua lain agar tidak mengabaikan dampak kekerasan rumah tangga terhadap anak.
(cr31/tribun-medan.com)